Menyimpan Aib
Saya pernah membaca sebuah kisah disebuah majalah agama yang menceritakan seorang Ulama, sebuah cerita bagaimana sang Ulama yang begitu kuatnya memegang dan menyimpan sebuah Aib seseorang,walau sebenarnya aib itu bukanlah sebuah aib yang begitu berat, setidaknya untuk zaman sekarang ini, tapi rupanya bagi sang Ulama, Aib tetaplah aib dan pantang (dosa) untuk membuka aib tersebut.
Dikisahkan pada suatu hari sang Ulama sedang mengisi materi pada majlis ta'lim, yang jamaahnya mayoritas ibu-ibu.
Setelah sang ulama memberikan materi selanjutnta diteruskan dengan  tanya jawab,tapi sebelum ada yang bertanya,tiba-tiba ada seorang jamaah buang angin, ntuuuttt.
Mendengar suara aneh itu jamaah saling pandang dan suasana mulai sedikit berisik.
Dan suara itu cukup jelas tertangkap oleh pendengaran sang Ulama, darimana dan siapa sang Empu suara tanpa bentuk tapi memabokan tersebut berasal.
Sungguh mulia akhlak sang Ulama,Apa yang dilakukan Sang Ulama?
Ternyata sejak detik itu sang Ulama pura-pura agak sedikit tuli,pada saat ada jamaah bertanya tentang agama,dia sang Ulama minta suara sang penanya dikeraskan,karena menurutnya ada masalah pada pendengarannya,hal itu dilakukannya demi menjaga rasa malu si ibu pembuang angin,dia tidak ingin ibu tersebut merasa malu.
Sikap pura-pura Tuli sang Ulama akhirnya menyebabkan beliau kemudian dikenal dengan sebutan si Ulama Tuli, sang ulama terus mempertahankan ketuliannya sampai si wanita tersebut meninggal dunia beberapa tahun kemudian setelah peristiwa tersebut.
Nah kisah tersebut juga terjadi beberapa hari yang lalu,tepatnya akhir bulan Januari yang lalu,tentu dengan versi yang berbeda.
Ceritanya begini,hari itu saya kedatangan tamu,tamu saya waktu itu semuanya wanita kecuali satu orang, sang supir mubil ibu-ibu tersebut.
Ibu-ibu ini adalah Kepala Sekolah Taman Kanak -Kanak Dharmawanita Se Kecamatan,ada delapan orang dari delapan desa yang berbeda,yang salah satunya adalah Kepala sekolah TK dimana anak perempuan saya saat ini sekolah,dan dulu Waktu saya masih menjadi Kepala Kampung,saya pernah sebagai pembina Sekolah tersebut.
Hari itu ibu-ibu tersebut ada rapat di Dinas Pendidikan Kabupaten dan setelah acara selesai, sebelum mereka pulang mereka mampir untuk menengok saya,kebetulan juga salah satu diantaranya adalah kakak Ipar saya,isteri dari kakak kandung saya.
Singkat cerita setelah mendengarkan keluhkesah dan curhat ibu-ibu ini tentang keadaan sekolah dan juga berkenaan masyarakat secara umum dimasing-masing desa mereka, karena waktu yang terbatas,akhirnya ibu-ibu wanita tanpa tanda jasa ini undur diri,pamit pulang.
Saat bepamitan pulang ini ada salah satu ibu yang menyerahkan sebuah amplov (envelope) tentu dengan pengantar basa-basi seperti sudah sebuah kebiasaan kalau ada seserahan.
Tentu saya tidak berusaha menolak pemberian ini,karena memang mereka ingin sekedar membantu saya dan saya menghargai ketulusan mereka.
Sepulang mereka ibu-ibu ini, saya membuka amplop tersebut,saya mengucap Hamdalah dan tersenyum karenanya, kemudian saya membayangkan kegemparan yang akan terjadi terhadap ibu -ibu itu tadi,saya lantas teringat kisah sang Ulama tersebut diatas,seraya hati ini bertanya bisakah saya menjaga sebuah rahasia ini seperti sang Ulama?
Segera kuletakan dan kusimpan amplov tersebut kedalam tas, saya harus segera ke masjid,karena waktu Ashar hampir tiba,dan kulupakan saja apa yang barusan terjadi,tentu setelah sholat ,saya selalu mendoakan orang-orang yang telah berbuat baik kepada saya dan kepada keluarga saya, Saya doakan kebaikan mereka semoga bernilai ibadah disisi Alloh SWT,tentu juga saya memohon kepadaNya agar membalas kebaikan mereka dengan kebaikan dari sisiNya.
Sehingga beberapa hari kamudian isteri saya telpon,beliau bercerita bahwa barusan saja dia ditelpon salah satu Kepala Sekolah TK yang beberapa hari yang lalu telah mengunjungi saya,dan isteri saya bertanya,
Apa yang terjadi setelah kunjungan ibu-ibu guru beberapa hari yang lalu?seolah penuh selidik.
Saya berusaha mengklit,...gk ada ah,kenapa emang?saya balik bertanya.
Isteri saya meneruskan ceritanya,bahwa ibu-ibu guru yang telah mengunjungi saya merasa sangat malu,mereka menangis,mereka merasa gak enak,mereka minta maaf betul,karena salah seorang ibu-ibu itu salah kasih amplop,amplop yang telah disiapkan tidak dikasihkan yang dikasihnya justru amplop kosong,hehehehe.
Dan ternyata saya tak bisa menyimpan aib ini,karena akhirnya kuceritakan dalam tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H