PKH (Program Keluarga Harapan) telah melalui berbagai pasang surut. Baik dari hal perubahan sistem pencairan, media Pertemuan Bulanan, hingga dalam hal situasi peralihan kepemimpinan tertinggi.
Dalam hal penamaan, tak banyak Program yang mampu bertahan dengan sebutan yang sama. Bahkan tak jarang, "gulung tikar" jika Hakikat dari Tujuan program tersebut tak lagi sejalan dengan kebutuhan rakyat dimasanya.
PKH yang lahir sejak 2007, kini telah menapaki usianya yang kian menanjak di Tahun 13 Tahun. Saat ini telah mencover kurang lebih 10jt Kk Penerima Manfaat, dan kurang lebih 40 ribu SDM PKH yang tersebar Di Seluruh Indonesia.
Terobosan demi terobosan terus dilakukan sejak dilahirkannya. Sebut saja semisal Pencairan Bansos yang sejak 2016 beralih fungsi dari via Kantor Pos menjadi Sistem perbankan, dengan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sebagai penanda Identitas sekaligus ATM.
Dalam perjalanannya, PKH pun kian berkembang pesat dengan meluncurkan sistem aplikasi penginputan yang bisa dengan mudah dilakukan di Handphone masing-masing. Aplikasi ini akrab disapa e-PKH.
Jika sebelumnya, para petugas lapangan (baca: Pendamping PKH) mesti menyetor ke Operator PKH Kabupaten di Kantor, dan lalu di input via SIM - PKH berbasis jaringan terbatas. Kini, dengan hadirnya e-PKH, kegiatan Pemutakhiran/ Pembaharuan data yang ditemui di lapangan, sudah sangat efektif dilakukan kapan dan dimana saja, karena berbasis Web - Internet umum.
Dalam capaian tersebut, kini, eksistensi PKH banyak dilirik. Sebut saja oleh para pelamar kerja yang nampak setiap tahun selalu membanjiri rekrutmen Kementerian Sosial dengan harapan ingin menjadi bagian dari SDM PKH. Baik karena sedang serius mencari pekerjaan, hingga mencari pekerjaan "tambahan" (Dalam situasi tertentu, pertanyaan tentu akan muncul, apakah Sdm yang juga memiliki kegiatan lain semacam ini mampu melakukan/menunjukkan totalitas "Ber-PKH" ?).
Dimasa yang kian berkembang ini, tentu setiap organisasi/lembaga/pemerintah tak ingin melihat identitas SDMnya hanya nampak sebagai simbol, karena lebih mengutamakan eksistensi daripada esensi. Melainkan membutuhkan SDM yang berintegritas, loyal, dan tak henti meningkatan kapasitas dan pengembangan dirinya, mengikuti perkembangan demi kemajuan program secara umum, serta kemajuan dan keterampilan sesama sdm.
Sebab ketika organisasi/lembaga hanya sebagai tempat untuk mencari eksistensi bukan konstribusi, aka organisasi/lembaga tersebut hanyalah sebuah nama dan simbol, yang di dalamnya dihuni oleh orang-orang yang tidak paham terhadap tupoksinya serta tidak ada niat untuk berjuang dan mengabdi.
Sebagai contoh yang paling nyata saat ini, bahwa bersamaan dengan peralihan akses Pemutakhiran Data sdm dari SIM PKH ke e-PKH, maka beberapa tugas utama seorang APD/Operator di Kabupaten cukup terkuras, sebab telah diambil alih oleh masing-masing Petugas Lapangan/Pendamping PKH.
Ketika hal ini dimaknai sebagai beban oleh oleh Pendamping, maka peluang untuk meningkatkan kapasitas diri akan sulit terbuka. Juga sebaliknya, ketika APD/Operator melihat ini sebagai "peluang" lebih santai, maka saat itu juga "pintu" untuk saling membantu meningkatkan kapasitas selaku sdm pkh tertutup, dan akan lebih banyak "bersantai".