Kupegang undangan yang basah oleh air mata
kenangan masa lalu kembali terbanyang
sewaktu aku belajar disebuah pesantren
Aku mengagumi seorang ustadz
begitu pula sebaliknya
aku mengerti sahabatku juga mengaguminya
Hingga suatu hari ustadz menemuiku
"Sejak pertama melihatmu aku mengagumimu
dan berharap bisa memilikimu dalam ikatan suci"
Sebelum aku meminta kepada orang tuamu
aku ingin mendengar jawabanmu terlebih dahulu
"Ustadz, maaf aku belum berfikir kearah sana"
Aku sendiri tak mengerti dengan keputusanku ini
sekalipun aku juga mengharapkannya namun,
keinginan melihat sahabatku bahagia memaksaku
berkata demikian
Tiga tahun berlalu sejak pernikahan sahabatku
kami seakan terpisah oleh jarak dan waktu
suatu hari aku menerima telepon dari teman
sekamar waktu di pesantren dulu
Mengabarkan kalau sahabatku itu sedang sakit
dan saat ini sangat mengharap kehadiranku
Kupacu langkahku, memasuki ruang ICU
kudapati sahabatku dengan banyaknya selang
yang menancap di tubuhnya yang ringkih
Sahabatku berkata lirih, "Aku mohon, kembalilah
kepadanya dia sangat sedih saat kau pergi...
untuk itu tolonglah aku, terima dia kembali demi aku" Â
"Maafkan aku sahabat aku tak bisa!
aku sudah berkeluarga, dan memiliki anak serta suamiku
sekali lagi maafkan aku sahabat"
"Ini memang sudah takdir Allah
mari kita terima pasangan kita sebagai jodoh kita
aku yakin ustadz mencintaimu karena kau pilihan Allah
untuknya, bukan aku!"
"Lupakan semua yang pernah terjadi
jangan pernah ada perasaan macam-macam
semoga kita menjadi istri yang didambahkan suami.
* Singosari, 5 Oktober 2020 *
@jbarathan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H