Apa jadinya jika dalam gereja tidak memiliki bahasa yang satu dalam beribadah? Lazimnya penggunaan bahasa dalam beribadah disesuaikan dengan kebutuhan jemaat yang ada. Misalnya, gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang menetapkan penggunaan dua bahasa dalam peribadahan: bahasa Batak dan Indonesia.Â
Penggunaan kedua bahasa ini tentunya sudah melalui kesepakatan dan terjadwal, sehingga orang dapat beribadah sesuai dengan bahasa di mana ia merasa lebih cocok. Dengan begitu, ini menjadi salah satu cara dalam merekatkan jemaat dalam peribadahan di gereja.
kita tidak boleh melupakan tinjauan alkitabiah mengenai penggunaan bahasa dalam satu perkumpulan atau komunitas. Setidaknya ada dua perspektif yang dapat kita lihat, baik dalam Perjanjian Lama (PB) maupun Perjanjian Baru (PB). Dalam PL ada peristiwa pengacauan bahasa yang dilakukan Allah dalam proses pembangunan menara Babel. Menurut Kejadian 11:9 istilah Babel itu sendiri berasal dari peristiwa itu, di mana Allah mengacaukan seluruh bangsa, dan membuat mereka berserak di seluruh bumi.Â
Sedangkan dalam PB, peristiwa Pentakosta. Para rasul Ketika dipenuhi Roh Kudus, mereka dapat berbicara berbahasa asing, padahal mereka orang Galilea (Kisah Para Rasul 2:1-13), sehingga membuat orang-orang di sekitar mereka menjadi bingung dan tercengang melihat peristiwa itu. Melalui ini, dapat dilihat bahwa tidak adanya penggunaan bahasa yang satu dalam satu komunitas, akan membuat komunikasi menjadi terganggu dan tidak efektif.
Lalu bagaimana gereja menanggapi ini? Gereja sebagai komunitas (baca: persekutuan) umat percaya tidak lepas dari penggunaan bahasa dalam komunitas itu. Buku Harta dalam Bejana tulisan Thomas van Den End dapat dilihat latar historis kata gereja, di mana gereja memiliki tiga istilah yang terkenal: igreja (Portugis), kuriakon dan ekklesia (Yunani).Â
Ketiga bahasa ini berasal dari kata ekklesia, berarti yang dipanggil keluar (van Den End, 2019: 1). Ini tampak pada peristiwa pemanggilan para murid Yesus yang kemudian diutus menjadi rasul, memberitakan Kabar Baik kepada seluruh bangsa di muka bumi. Mereka keluar dan membentuk satu komunitas orang percaya.
Demikian pula halnya dengan gereja Batak seperti HKBP. Dalam bukunya yang berjudul Adat dan Injil,, Lothar Schreiner menuliskan bahwa I. L. Nommensen yang dikenal sebagai apostel Batak mendirikan Huta Dame (Kampung Damai) sebagai tempat untuk menampung orang-orang yang diusir karena memilih menjadi Kristen. Ia dengan arif bertindak kepada pribumi, hingga ia dipandang sebagai raja di kampung Kristen itu (Schreiner, 2010: 44).Â
Pola ini sama seperti pengertian gereja ekklesia, di mana ada komunitas yang baru yang tidak lepas dari penggunaan bahasa. Jubil R. Hutauruk juga menuliskan dalam bukunya Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus bahwa Nommensen dibantu para penginjil pribumi dalam pelayannya (Hutauruk, 2011: 49). Dengan begitu, aspek bahasa sebagai pemersatu dalam berkomunikasi juga diperhatikan Nommensen.
Lebih lanjut menurut Robert O. Reid dalam tulisannya yang berjudul Toward a Theology of Communication, ia melihat bahwa gereja sebagai saluran dan fasilitator komunikasi memberikan diri untuk mendengarkan dan melihat apa yang dibutuhkan oleh dunia. Ada dua peran penting yang harus diperankan oleh gereja, yaitu peran profetik (kenabian) dan peran imam.Â
Dalam peran profetik, gereja harus berusaha memahami secara mendalam apa yang terjadi pada manusia. Hal serupa juga dilakukan para nabi untuk memahami apa yang sedang terjadi pada zaman mereka kala itu. Sedangkan peran imam memberikan pengertian gereja memahami dan menguasai media sehingga dapat mengkomunikasikan titik-titik persimpangan yang dibahas.Â
Kedua peran ini memiliki persamaan, yaitu memikul tanggung jawabnya di bawah tuntunan Roh Kudus yang berusaha menjadi saluran atau fasilitator tersebut. (Reid, 1974: 360). Selain itu, HKBP dalam salah satu dokumen teologinya, Konfessi HKBP 1996 pasal 7, memberikan pengertian gereja sebagai saluran komunikasi, yang mana diutus untuk memberitakan Kabar Baik bagi seluruh bangsa di dunia agar mau hidup kudus dan taat kepada Yesus Kristus (HKBP, 1996: 22-24).