Tulisan ini berkaitan dengan tulisanku yang sebelumnya. Aku merupakan orang paling cerewet soal konsumsi obat-obatan di keluargaku. Bila tubuh tidak nyaman, entah karena pegal, pusing, meriang, masuk angin, bagiku obat bukan satu-satunya solusi. Maksudnya obat di sini adalah obat-obatan kimia. Karena aktivitasku yang sering pergi pagi, pulangnya bisa larut malam, atau bahkan sampai subuh, masuk angin merupakan hal yang lumrah.Â
Kadang terasa mual, pusing, lemas, meriang, dan sebagainya, itu adalah gejala masuk angin.Â
Dalam beberapa hal obat-obatan akan sangat membantu untuk mengatasi banyak masalah kesehatan. Namun, kebiasaan mengatasi masalah kesehatan dengan menggunakan obat bisa jadi candu.Â
Kebiasaan untuk tidak secara gamblang memilih obat-obatan sebagai solusi masalah kesehatan ini tentunya berdasarkan apa yang kuketahui dan juga dari pengalaman/cerita orang. Aku sering membaca/menonton/berdiskusi bahwa menngonsumsi obat-obatan kimiawi dapat mengatasi masalah kesehatan. Namun, konsumsi yang berkelanjutan dapat merusak organ ginjal dan hati. (rujukan informasi: AloDokter)
Mengetahui dan paham akan hal ini tentu aku berpikir ulang dan berulang untuk mengonsumsi obat-obatan. Kebiasaanku untuk tidak memilih obat sebagai langkah tunggal diperkuat dari pengalaman salah satu keluarga jauhku, yakni mendiang tanteku. Ketika tanteku meninggal dunia ada pembicaraan dalam keluarga mengenai tanteku yang dulu punya kebiasaan minum obat ketika sakit kepala. Tak tanggung-tanggung sekali teguk ia mengonsumsi dua pil sekaligus. Kerusakan fungsi organ tubuhnya disinyalir menjadi faktor lain menurun dan sakitnya. Tentu saja ini faktor ekternal yang memperkuatku untuk tidak dikit-dikit minum obat.Â
Lantas apa solusiku? Jawabannya, kerokan/kerikan.Â
"Suatu upaya pengobatan tradisional Jawa dengan cara menekan dan menggeserkan secara berulang-ulang benda tumpul pada kulit dengan pola tertentu, sehingga terjadi bilur-bilur berwarna merah. Biasa digunakan uang logam benggol" - Didik Tamtomo
Dari kecil aku sudah familiar dengan kerokan. Biasanya aku dikerok kalau masuk angin, atau saat demam. Meski rasanya tidak begitu nyaman bagiku, tapi kerokan cukup efektif membuat tubuh terasa lebih baik, dan tentunya tanpa perlu mengonsumsi obat-obatan.Â
Pengobatan dengan kerokan ini bisa dikatakan 4M: mudah, murah, mesra, dan manjur. Hanya perlu benda tumbul sebagai alat kerokan dan pelicin (balsem, minyak urut, minyak herbal, minyak angin). Untuk pelicinnya menyesuaikan kebutuhan, umumnya menggunakan Balsem Lang sebagai pelicin, karena sensasi panas di awal dan hangat kemudian membuat metode pengobatan dengan kerokan ini lebih cepat kerjanya. Â Karena alat-alat yang diperlukan untuk kerokan ini sangat sederhana tentunya membuat metode ini terbilang murah. Selain itu ada juga sentuhan dan kedekatan interpersonal antara yang melakukan kerokan dan yang diberi kerokan. Meski murah dan mudah, metode ini majur loh.Â
WASPADA!
Bersumber dari hipwee, tidak sembarang kondisi boleh melakukan kerokan. Meski tergolong aman, pada ibu hamil kerokan dapat menyebabkan kelahiran prematur. Dan menurut materi presentasi Prof. Dr. dr. Didik Gunawan Tamtomo. PAK, MM, MKES. mengenai "Kerikan", ada bagian yang tidak boleh dikerok, yakni leher bagian depan. Alasannya kenapa? untuk hal ini aku juga belum tahu pasti. Pokoknya jangan aja lah ya, buat keamanan diri juga, hehe :) .Â
Pada dasarnya, kerokan masih menjadi primadonaku untuk mengobati masuk angin yang lumrah itu :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H