Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tukang Cukur Tradisional Tetap Eksis di Metro

24 Januari 2025   20:54 Diperbarui: 25 Januari 2025   04:14 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjamurnya barbershop di Metro bahkan terjadi jauh sebelum para konten kreator pangkas rambut ramai hilir mudik di beranda media sosial.

Pada masanya, barbershop cukup menyedot perhatian masyarakat Metro, terutama anak-anak SMA dan mahasiswa. Bahkan saya, yang kala itu sudah menjadi bapak-bapak, juga cukup tertarik dengan kehadiran barbershop di Metro.

Namun sayangnya, realita tidak selalu sejalan dengan ekspektasi publik. Saya kira, di awal kehadirannya, barbershop akan cepat booming dan menggantikan pangkas rambut biasa. Nyatanya, itu tidak sepenuhnya terjadi di Kota Metro.

Value for Money

Paling hanya sekitar enam kali saya memilih barbershop untuk memangkas rambut pada tahun 2016. Setelah itu, saya kembali ke pilihan awal pangkas rambut di tukang cukur tradisional.

Ada peran besar istri dalam keputusan ini (hehehe). Istri selalu bilang, “Sama saja lo Kak, potongannya ya gitu-gitu aja.” Sampai akhirnya, biaya pangkas rambut pun mulai jadi bahan perbandingan antara barbershop dan tukang cukur tradisional.

Sebenarnya, dengan kalimat sederhana itu, istri hanya ingin mengatakan, “Eman, kalau hasilnya sama, ngapain pilih yang mahal.” Maklum, kami adalah keluarga menengah ke bawah. Jadi, uang lebih dari pangkas rambut di barbershop itu lumayan bisa dipakai untuk jajan yang lain. Minimal, bisa beli mi ayam, haha.

Setelah dipikir-pikir, apa yang dikatakan istri memang benar. Hasil akhirnya sama saja. Bedanya hanya di fitur pelayanannya.

Sepertinya istri saya cukup kritis, sehingga sampai cukur rambut saja sampai menggunakan pendekatan value for money yang mendasarkan setiap uang yang dikeluarkan dipastikan bijak, hasil maksimal dan tentu saja targetnya tercapai, hasil potongannya bagus, wkwk, sampe-sampe nya istri sampe pake evaluasi dengan pendekatan value for money, cakep dah!

Di tukang cukur tradisional, tidak ada acara pijat-pijat kepala. Tidak ada juga sesi keramas setelah rambut dipotong. Apalagi taburan bedak di rambut sesaat setelah pangkas selesai.

Jadi, wajar saja kalau barbershop lebih mahal dibandingkan tukang cukur tradisional. Tapi ini memang soal selera. Sayangnya, tampaknya selera istri saya mewakili selera sebagian besar penduduk Metro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun