Kota Metro, pernah bergantung pada angkot sebagai moda transportasi utama. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari, angkot menjadi saksi bisu perjalanan warga, mulai dari anak sekolah hingga pekerja kantoran. Namun, seiring berjalannya waktu, angkot perlahan menghilang, meninggalkan ruang kosong yang kini diisi kendaraan pribadi. Â
Metro, kota kecil di Lampung, dulunya bergantung pada angkot sebagai satu-satunya transportasi publik. Namun, nasib angkot kini bisa dibilang sama seperti dinosaurus, punah, hehe. Tidak ada lagi angkot yang berseliweran di jalan-jalan besar kota Metro.
Dulu, angkot menjadi satu-satunya moda transportasi publik yang setia mengantarkan penduduk kota Metro untuk beraktivitas setiap hari.
Saya pernah menulis tentang betapa lengkapnya kota Metro sehingga sangat cocok untuk slow living. Penduduk Metro, dari berbagai tingkatan usia, mayoritas menjalankan aktivitasnya hanya di dalam kota.
Baik bekerja maupun bersekolah, semuanya dilakukan di Metro. Dengan jarak tempuh yang relatif dekat, tidak lebih dari 15 kilometer dari ujung ke ujung transportasi publik yang tersedia saat itu ya hanya angkot.
Kalah dengan Kendaraan Pribadi
Di kota Metro, transportasi publik perlahan tapi pasti akhirnya punah. Saya masih ingat, sekitar tahun 2004, untuk menempuh jarak 3 kilometer saja bisa menghabiskan waktu hingga satu jam.Â
Bukan karena macet, lo, tapi karena angkot yang sering ngetem atau parkir lama menunggu penumpang di terminal.
Kadang saya berpikir, "Ah, jalan kaki saja," toh jaraknya hanya 3 kilometer dari terminal ke rumah. Kalau memang sedang buru-buru, saya lebih memilih berjalan kaki daripada menunggu angkot yang tak kunjung jalan.
Pada era 90-an hingga awal 2000-an, angkot sempat menjadi primadona di kota Metro. Animo masyarakat untuk menggunakan angkot masih tinggi. Dulu, angkot bahkan menjadi simbol gaya hidup anak-anak sekolah. Naik angkot berarti anak gaul!