Ada rasa haru sekaligus bangga yang terperangkap di sanubariku saat itu. Rona biru di sekitar mata dan luka di pelipisnya menggambarkan betapa pada hari itu Gagah benar-benar mengalami pertarungan yang dahsyat. Tidak hanya menghempaskan segala ketakutannya, tetapi dia juga belajar bertahan untuk menjadi seorang laki-laki sejati.
"Kamu pukul mereka atau ayah yang memukulmu, jadilah anak yang pemberani, jangan pengecut!"Â
Dengan wajah nanar dan jantung yang berdegup kencang, tangan mengepal erat, itulah cara terakhirku mencoba menegur Gagah setelah berulang kali menasehatinya.
Dia adalah putra sulungku, yang hanya berjarak tiga tahun saja dengan putri kami yang kedua. Mungkin, karena jarak yang terlalu dekat dengan adiknya, ada bagian dalam dirinya yang kurang.
Beberapa dekade lalu, aku teringat betul bagaimana aku menangis sejadi-jadinya setelah berkelahi dengan salah satu kakak kelas saat di sekolah dasar. Luka yang aku dapatkan bukan hanya fisik, tetapi juga mental.Â
Aku juga teringat betapa kerasnya masa SMP-ku dulu. Penuh dengan kekerasan, perundungan, dan bahkan ditampar oleh guru. Iya, aku ditampar oleh guru setelah beliau melihatku menendang salah satu temanku di kelas.Â
Padahal, waktu itu aku hanya sekedar membalas tendangannya, sialnya, yang tertangkap mata beliau adalah saat aku balik menendang temanku itu setelah dia menendangku dulu.
"Udahlah Yah, gak perlu marahin Kakak seperti itu. Gagah sudah bener, dia gak mau nyari masalah di sekolah,"Â
sergah istriku yang membela Gagah.
"Ini gara-gara ibu yang selalu memanjakan Gagah setiap waktu, sehingga dia menjadi pengecut! Jadi seperti perempuan!"Â