Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Yuk, Pesta Pernikahan Tanpa Utang!

22 November 2024   14:36 Diperbarui: 22 November 2024   14:47 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan, pengantin. (Kompas dari PEXELS/TRUNG NGUYEN) 

Tentu sangat tidak bijak jika kita rela berutang hanya untuk pesta sehari. Pernikahan memang momen yang diharapkan terjadi sekali seumur hidup. Namun, apakah pantas kita mempertaruhkan masa depan keuangan hanya demi sebuah kemewahan sesaat? Jika tidak mampu, mengapa harus memaksakan pesta mewah dengan berutang?

Kalaupun ada alasan terpaksa, terpaksa karena apa? Mahar? Tekanan sosial? Keinginan dianggap "wah"? Padahal, menikah sejatinya dipermudah oleh agama dan negara. Pernikahan adalah sebuah kesepakatan antara dua insan, bukan keterpaksaan, apalagi titik awal bencana bagi keluarga atau rumah tangga kita.

Opini ini lahir dari berbagai pengalaman nyata di sekitar saya, sahabat dan tetangga. Melalui tulisan ini, saya mengajak kita semua, termasuk diri saya sendiri, untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial. 

Jika utang bukan untuk situasi darurat atau kebutuhan mendesak, melainkan hanya demi memenuhi keinginan sesaat yang sebenarnya bisa kita hindari seperti untuk pesta pernikahan yang notabene memang kita gak punya uang untuk menggelarnya, bukankah lebih baik menghindari utang sama sekali?

Sebuah Permintaan 

Kisah seorang sahabat karib yang batal menikah karena syarat yang diajukan calon mertuanya. Entah apa alasannya, mereka meminta mahar yang jelas-jelas berada di luar kemampuan sahabat saya. Pada akhirnya, rencana pernikahan itu kandas karena sahabat saya memutuskan untuk tidak memenuhi permintaan tersebut.

Cerita serupa juga terjadi pada sahabat lainnya. Kali ini bukan hanya soal mahar, tetapi juga berbagai permintaan lain yang tidak masuk akal, pernak-pernik yang sebenarnya bukan kewajiban calon suami untuk disediakan. 

Lagi-lagi, sahabat saya memilih mundur dari rencana pernikahan. Bukan karena dia tidak mampu, tetapi karena dia berpikir jauh ke depan.

Bayangkan saja, baru jadi calon pasangan sudah meminta sesuatu yang selangit. Lalu bagaimana nanti setelah resmi menikah? 

Apakah kehidupan rumah tangga akan terus dibayangi tuntutan materi? Ini bukan semata soal cinta atau tidak cinta, tetapi soal kesiapan menjalani kehidupan setelah pernikahan yang seharusnya lebih diutamakan.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika kita sampai harus berutang untuk memenuhi permintaan calon pasangan atau keluarganya. 

Apakah ini benar-benar sepadan? Terlepas dari adat istiadat atau tradisi yang memang sah dan legal, tetap saja, kalau tidak mampu, mengapa harus memaksakan?

Pernikahan adalah awal membangun masa depan bersama, bukan panggung pamer atau ajang pemaksaan materi. Maka, mari berpikir realistis. 

Utamakan kesiapan emosional, mental, dan finansial, bukan sekadar memenuhi ekspektasi orang lain yang kadang tidak masuk akal.

Mewah Sesaat

Jangan sampai kita mengalami nasib seperti beberapa tetangga saya yang harus merelakan rumah dan tanah dilelang setelah menggelar pesta pernikahan megah. 

Semua itu dilakukan hanya demi melunasi utang yang digunakan untuk membiayai pesta yang ironisnya hanya berlangsung satu hari.

Yang lebih memilukan, bahkan genteng rumah mereka sampai dijual secara terpisah. Saya masih ingat malam itu mereka mengadakan pesta yang sangat meriah, lengkap dengan pertunjukan Janger (pertunjukan drama tradisional diperankan di panggung). 

Namun, keesokan paginya, genteng rumah mereka diturunkan untuk dijual. Bagi siapa pun yang mengira ini hanya cerita karangan, saya tegaskan, salah besar. Kisah ini nyata.

Kemungkinan besar, orang-orang yang menurunkan genteng adalah mereka yang kecewa karena tagihannya tidak terbayar setelah pesta selesai. Lihatlah, betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah kemewahan sesaat.

Maka, mari berpikir bijak. Daripada menanggung malu setelah pesta usai, lebih baik kita memilih pernikahan yang sederhana namun penuh makna. 

Pernikahan bukan tentang seberapa megah pestanya, melainkan bagaimana kita mempersiapkan kehidupan rumah tangga yang stabil dan bahagia di masa depan. Jangan sampai kesenangan sesaat berujung pada penderitaan berkepanjangan.

Bisikan Kerabat

Kadang, ada andil dari kerabat atau sahabat yang "empunya gawe" yang malah memengaruhi keputusan kita. Ucapan seperti, 

Masa mau diem-diem aja, tanpa pesta?”, 

Nanti dikira hamil di luar nikah, loh,”, atau 

Tenang, nanti aku yang bayarin semua” 

sering kali menjadi pemicu untuk menggelar pesta yang sebenarnya di luar kemampuan. 

Tidak semua omongan orang harus kita turuti. Orang-orang di luar kita tentu tidak tahu kekuatan finansial yang kita miliki. 

Mereka bicara dengan mudah tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan kita. Ujung-ujungnya, kitalah yang harus bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil, termasuk jika keputusan itu berujung pada konsekuensi pahit.

Seperti yang terjadi pada salah satu tetangga saya. Awalnya, saudaranya berkata, 

Aku saja yang tanggung dulu, nanti bayar pakai uang sumbangan.” 

Namun, kenyataannya, uang sumbangan tidak cukup untuk menutupi biaya pesta yang sudah digelar. Akibatnya, mereka terpaksa menjual rumah untuk melunasi utang yang membengkak.

Sayangnya, kisah ini tidak berhenti di situ. Setelah rumah terjual, mereka harus pindah ke tempat lain, dan yang lebih miris, keluarga mereka menjadi berantakan akibat tekanan ekonomi. 

Jika sudah begini, mau menyalahkan siapa? Bukankah semua bermula dari keputusan kita sendiri yang memaksakan sesuatu di luar kemampuan? 

Maka, mari belajar dari pengalaman ini. Jangan biarkan pendapat orang lain memengaruhi keputusan yang sebenarnya hanya kita yang memahami risikonya. 

Pernikahan seharusnya menjadi awal kehidupan baru yang bahagia, bukan pintu masuk menuju keterpurukan.

Wasana Kata

Berdasarkan pengalaman yang saya tulis di sini, dan ini pengalaman nyata, bukan kiasan atau cerita rekayasa. Saya menyarankan agar tidak berutang hanya demi menggelar pesta pernikahan. 

Pengalaman banyak membuktikan bahwa pesta yang diawali dengan utang sering kali berakhir dengan pahit. Ingat, pesta pernikahan hanya berlangsung sehari. Apakah kita rela menanggung derita seumur hidup hanya karena satu hari itu saja?

Lebih baik kita bersikap bijak. Sedia payung sebelum hujan, cegah penderitaan sebelum terjadi. Utang, terutama yang dipakai untuk hal konsumtif seperti pesta, sering kali menjadi sumber masalah yang membawa derita berkepanjangan.

Bagi yang ingin menikah, ingatlah bahwa kita tidak akan kenyang hanya dengan cinta. Jangan terbuai oleh perasaan hingga rela berutang dengan dalih, “Nanti utangnya kita tanggung bersama.” 

Percayalah, kekuatan ekonomi setelah menikah itu sangat penting, terutama di awal pernikahan. Ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, rumah, kendaraan, pendidikan anak, dan lain sebagainya. 

Bagaimana mungkin berbagai agenda tersebut dapat terlaksana jika kondisi ekonomi setelah menikah sudah sulit akibat utang pesta sehari?

Jika tetap ingin menggelar pesta pernikahan yang meriah, mulailah menabung dari sekarang. Jangan mengandalkan utang untuk momen yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan, bukan sumber kesengsaraan.

Cerita dan pandangan di atas semoga dapat menjadi refleksi bagi siapa pun yang akan melangsungkan pernikahan. Intinya, ukur badan sendiri. Jika memang tidak mampu, kenapa harus dipaksakan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun