Semua siswa terus melaju ke tingkat berikutnya, bahkan dengan nilai yang memenuhi, sama atau melebihi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Mana ada sekarang nilai merah? Mana ada nilai di rapor di bawah 70? Mungkin masih ada, tetapi sangat jarang, dan biasanya nilai terendah di rapor mentok di angka 70.
Konsep pendidikan saat ini memang berbeda dengan zaman dulu. Dulu, ada kemungkinan seorang siswa tidak naik kelas. Sekarang, jangankan nilai buruk, berita tentang seorang siswa yang tidak naik kelas akan langsung menjadi topik heboh, dan wali kelasnya pasti menjadi sasaran gunjingan.
Kondisi inilah yang merusak mental siswa. Sekolah seakan kehilangan wibawa di mata para siswanya. Guru dianggap tidak penting. Tidak ada lagi siswa yang merasa khawatir tentang nilai atau tentang kemungkinan tidak naik kelas.
Mereka percaya bahwa mereka akan selalu naik kelas dengan torehan nilai yang fantastis, meskipun kenyataannya tidak demikian.
Bahaya jika budaya ini terus diwariskan dari generasi ke generasi. Mau jadi apa generasi muda kita jika nilai mereka adalah nilai palsu, dan kenaikan kelas mereka hanyalah kenaikan kelas semu?
Sekolah Unggulan Itu Pengkastaan Sekolah
Dulu, setiap siswa pasti mendambakan menjadi bagian dari sekolah favorit. Ada rasa senang dan bangga ketika nama kita tercantum dalam pengumuman penerimaan siswa baru di sekolah unggulan.
Setiap siswa termotivasi untuk berlomba-lomba meraih nilai terbaik agar bisa diterima di sekolah impian. Sayangnya, hal ini tidak lagi berlaku di zaman sekarang.
Kini, prinsipnya telah bergeser menjadi "siapa yang dekat, dia yang dapat." Prestasi bukan lagi faktor utama; selama rumah berada di dekat sekolah, penerimaan seolah menjadi otomatis.
Narasi yang mengkastakan pendidikan dengan adanya kategori sekolah favorit dan non-favorit seolah merusak berbagai aspek dalam dunia pendidikan.