“Anak-anak bagaikan tunas di taman dan harus dirawat dengan hati-hati serta penuh kasih sayang, karena mereka adalah masa depan bangsa dan warga negara di masa depan.” (Jawaharlal Nehru)
Fatherless menjadi salah satu fenomena sosial di Indonesia yang semakin lama grafiknya semakin meningkat. Tentu saja ini menjadi sebuah alarm bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Fenomena fatherless berpotensi menjadikan anak-anak yang lahir tanpa figur ayah kehilangan arah dalam menentukan jati diri saat perkembangan mereka kelak.
Padahal, sosok figur seorang ayah sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak untuk mempersiapkan mereka menghadapi kehidupan dengan berbagai norma yang ada di masyarakat.
Kompas melaporkan pada 25 Mei 2023 bahwa Indonesia menempati urutan ketiga sebagai “Fatherless Country” di dunia. Selaras dengan volume fatherless yang semakin meningkat, anak-anak yang berhadapan dengan hukum juga semakin meningkat.
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023.
Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana.
Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, mengatakan bahwa kurangnya peran ayah menyebabkan anak memiliki emosi yang tidak matang sehingga tidak mampu meregulasi emosi baik dalam mengekspresikan maupun mengendalikan emosi.
Ketidakmampuan anak mengendalikan emosi ini akan mendorong kecemasan dan depresi (perilaku internalisasi) serta kontrol diri yang rendah, berperilaku berlebihan, dan agresif (eksternalisasi).
Harusnya ini menjadi refleksi bersama bahwa keluarga tanpa bonding orang tua dengan anak menjadi sebuah ancaman serius bagi tatanan kehidupan. Tidak hanya membuat resah, mereka juga bahkan berpotensi menjadi kriminal.