Penerapan pasal 19 ayat 1 juga membatasi anak saat memilih sekolah. Anak tidak bisa memilih sekolah pada dua jalur yang berbeda dalam zonasi yang sama.Â
Padahal, jika batasan-batasan ini dibuka, masalah justru akan minim. Misalnya, pada jalur zonasi tidak ada batasan zonasi (contoh: sekolah A yang bisa mendaftar adalah kecamatan A, B, C, dan D) tetapi tetap menggunakan persyaratan jalur zonasi yang sama dengan regulasi yang berlaku yaitu kartu keluarga. Ini justru akan membuat siswa lebih luas dalam memilih sekolah.
Faktanya, dengan ditetapkannya zonasi ini dari tahun ke tahun, masih ada sekolah yang kekurangan siswa setelah PPDB. Lalu, apa yang menjadi masalah sehingga harus dibatasi?Â
Mereka juga tetap akan tereliminasi sebab beradu jarak dengan pendaftar lain, kan? Apalagi untuk siswa dengan dua tiket PPDB, yaitu siswa yang memenuhi syarat untuk mendaftar jalur zonasi dan juga prestasi, mengapa mereka harus dibatasi untuk tidak boleh mendaftar sekolah pada zona yang sama?Â
Sehingga terjadi kasus di mana ada anak yang terkatung-katung sebab tidak mendapatkan sekolah karena telah mendaftar melalui jalur prestasi dalam zonanya sehingga hak jalur zonasinya hilang.
Saya berharap, PPDB ini menjadi sarana anak-anak Indonesia mendapatkan hak pendidikan yang layak. Jangan justru menjadi preseden buruk pendidikan yang selalu terulang tiap tahunnya.Â
Jangan malah mengebiri hak anak-anak dalam memilih pendidikan yang mereka inginkan pada setiap tahunnya.
Dengan memperbaiki kebijakan zonasi PPDB, kita bisa memastikan bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang adil dan layak untuk mengakses pendidikan.Â
Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, dan sistem penerimaan yang ada seharusnya mendukung, bukan menghalangi, tercapainya tujuan tersebut. Mari kita wujudkan pendidikan yang inklusif dan adil bagi seluruh anak Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H