Kelemahan pada PPDB zonasi adalah adanya tahap validasi dengan berbagai item persyaratan yang rentan untuk dibuat-buat.Â
Kalau jaman dulu indikatornya hanya satu, yaitu DANEM, daftar nilai ebtanas murni, sangat gampang untuk melakukan shorting dengan cara mengurutkan nilai tertinggi sesuai dengan jumlah siswa yang akan diterima.Â
Indikatornya jelas, bisa dilihat, diukur, dan dibuktikan. Bagaimana dengan PPDB zonasi? Banyak seabreg yang harus divalidasi secara manual dengan potensi ketidakakuratan yang juga besar, sebab indikatornya ngambang.
Apakah kita bisa memastikan bahwa pendaftar yang mendaftar melalui zonasi ini adalah benar-benar pendaftar yang berdomisili pada zona sekolah yang dituju?Â
Atau mampukah kita untuk benar-benar mengukur apakah benar pendaftar yang melalui jalur afirmasi ini adalah benar-benar siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu?Â
Atau mampukah kita memastikan keabsahan surat keterangan yang menyatakan bahwa orang tua dari siswa pendaftar memang benar-benar melakukan pindah tugas?
Pengalaman di lapangan membuktikan, bahkan orang tua pendaftar dengan sangat pede menyatakan berkas memang lengkap dan sesuai syarat.Â
Secara otentik, persyaratan memang lengkap, namun jadi tanda tanya besar jika kita melakukan pendekatan dengan makna dari PPDB itu sendiri.Â
Harusnya zonasi ya untuk penduduk asli, KIP ya untuk yang gak mampu, SK pindah tugas ya benar-benar bagi pendaftar yang memang benar-benar pindah tugas.
Untuk saat ini sulit rasanya jika kita berharap hanya pada kejujuran para pendaftar. Semuanya dilakukan atas alibi sebagai perjuangan demi mendapatkan pendidikan yang terbaik.Â
Harapannya catatan ini dijadikan panduan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi ulang atas regulasi yang dikeluarkan. Bahkan revisi sangat diharapkan.Â