Bias
Sayangnya tidak ada ketentuan yang benar-benar mengikat dan rinci tentang ketentuan zonasi ini. Jadi ketika ada orang tua yang pindah KK atau menitipkan anaknya ke KK keluarga lain yang dekat dengan sekolah yang akan dituju, maka ini akan dianggap sah.Â
Regulasi hanya mengatur durasi, yaitu minimal satu tahun ber-KK pada zonasi sekolah yang akan dituju. Mencari keabsahannya juga sulit, satu-satunya jalan mencari keabsahan tepat atau tidaknya hanya melalui interview.Â
Indikator yang akan diukur juga abstrak, yaitu "niat", trus bagaimana coba kita akan melihat niatan mana yang benar diantara masing-masing pendaftar sedangkan yang hanya akan kita lihat adalah kartu keluarga saja.
Sekolah sebagai penyelenggara PPDB justru akan disalahkan ketika menolak berkas lengkap, dengan alasan bahwa pendaftar ngakali (pindah KK) kependudukannya hanya untuk lulus PPDB. Kalau gini yang salah siapa coba?
Sistem Belum Siap
Kalau tidak salah pada PPDB tahun 2020, sistem salah mengidentifikasi lokasi rumah tinggal pendaftar. Dan ini jadi preseden buruk bagi PPDB sekolah kami.Â
Padahal sistem yang salah tapi sekolah kami yang kena getah. Kami dianggap curang dan seolah menyingkirkan pendaftar yang saat itu kebetulan siswa yang berasal dari rumah tangga kurang mampu.
Berbagai opini muncul di masyarakat. Peristiwa ini juga jadi konsumsi segar bagi para pewarta pada saat itu.Â
Saya termasuk salah satu tim yang diterjunkan sekolah saat itu untuk turun ke lokasi mengecek keadaan yang sebenarnya.Â
Setelah kami telusuri lebih lanjut ternyata sebab tidak lolosnya pendaftar pada jalur zonasi walau jarak rumah lumayan dekat dari sekolah kami adalah kesalahan sistem pelacak lokasi yang saat itu tidak akurat dalam menunjukkan lokasi tinggal pendaftar pada situs pendaftaran PPDB.
Pendaftar juga tidak melakukan croscheck ulang, sebab merasa yakin, kan rumahnya sangat dekat dengan sekolah yang dituju.
Semangat Kejujuran
Lalu bagaimana dengan kondisi bangsa kita kelak, jika masuk sekolah saja dilakukan dengan cara yang picik?