Bahkan sebelum munculnya fakta bahwa profesi guru menduduki posisi paling banyak yang terjerat oleh pinjaman online (pinjol), saya selalu memberikan peringatan kepada diri sendiri dan istri agar bijaksana dalam pengelolaan keuangan.Â
Kami berusaha untuk tidak tergoda oleh keinginan untuk membeli barang-barang yang pada akhirnya tidak terlalu esensial dan mendesak.
Peringatan tersebut bukan tanpa alasan. Di lingkungan sekolah, tempat di mana kami bekerja sebagai guru, seringkali muncul berbagai penawaran pembelian barang dengan sistem kredit.Â
Seringkali, saya menggoda istri dengan berkata, 'Itu kan produk yang ditawarkan di sekolah tadi, dek,' dengan maksud mengajukan pertanyaan mengapa kita perlu membeli barang tersebut, terutama jika barang tersebut bukan kebutuhan mendesak.Â
Bagi kami, dan mungkin saya sendiri, tawaran pembelian barang secara kredit ini terasa menggoda, terutama karena gaji guru cenderung berada pada tingkat yang cukup standar.Â
Meskipun cukup, namun tidak berlebihan, terutama jika dibandingkan dengan profesi lain yang juga mendapat gaji dari pemerintah.Â
Apalagi bagi rekan-rekan guru yang belum bersertifikasi, gaji hanya sebatas gaji pokok, ditambah tunjangan kinerja yang belum sepenuhnya mencukupi mengingat berbagai tanggung jawab tugas yang harus diemban.
Fakta menarik yang tidak dapat disangkal, dan mungkin menjadi indikator bahwa gaji guru masih belum memadai, adalah bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling banyak terjerat oleh pinjol.Â
Pada November 2023, berdasarkan data dari OJK, Kompas melaporkan bahwa sebanyak 42 persen dari mereka yang terjerat pinjol adalah guru.Â
Indikator ini seharusnya menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah untuk meninjau kembali besaran gaji guru, mungkin sebagai bahan kajian untuk perubahan ke depannya.
Tidak hanya terjerat oleh pinjol, realitas di lapangan menunjukkan bahwa 98 persen pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah menggadaikan SK mereka ke bank, alias mengajukan pinjaman.Â