Terjadi lagi peristiwa kekerasan terhadap guru, kali ini seperti diberitakan oleh KOMPAS, siswa di Lamongan tega menganiaya guru di kelas hanya karena ditegur soal sepatu. Peristiwa ini sudah terjadi sekian kalinya di dunia pendidikan, konflik antara siswa dan guru, atau guru dengan orang tua siswa.Â
Bahkan, insiden semacam ini semakin meningkat tiap tahunnya. Sebagai seorang guru, saya merasakan bahwa kewibawaan profesi ini seolah-olah telah hilang, terkikis oleh berbagai tindakan kekerasan yang menimpa rekan-rekan guru, baik dari siswa maupun orang tua siswa.Â
Sebagai seorang guru, saya pun tidak terhindar dari pengalaman yang demikian, saya pernah diajak "duel" oleh seorang siswa, meskipun dengan nada cengengesan, seakan-akan ini sebagai bentuk manifestasi kewibawaan guru yang tidak lagi menakutkan.Â
Ada pula kejadian ketika seorang orang tua hadir di sekolah, bertemu langsung dengan saya, dan mempertanyakan tata tertib sekolah yang dilanggar oleh anaknya. Saya sering kali bertanya-tanya mengapa fenomena penurunan marwah kewibawaan guru semakin merajalela. Sebaliknya, bukannya berkurang, berbagai kasus baru justru terus muncul dari waktu ke waktu.
Jika situasi ini terus diabaikan, generasi muda berpotensi melihat profesi guru sebagai sesuatu yang rendah, tanpa wibawa, dan penuh risiko. Saya ingin menegaskan bahwa maksud saya bukanlah merendahkan kewibawaan profesi guru, tetapi ini adalah ungkapan kekesalan saya sebagai seorang guru yang melihat rekan-rekan kami menjadi korban kekerasan hanya karena masalah sepele.Â
Mulai dari masalah sepatu, seragam, nilai kecil, hingga masalah kewajiban sehari-hari yang seharusnya tidak perlu diingatkan lagi seperti sholat, jangan merokok, dan berbagai permasalahan lain seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara guru dan orang tua siswa.
Namun, belakangan ini, logika terbalik terjadi, di mana guru selalu berhadapan dengan siswa atau dengan orang tua siswa. Guru yang seharusnya mendapat dukungan malah menjadi korban, dianggap sebagai tersangka oleh siswa yang seharusnya mendapat bimbingan. Ini sangat menyakitkan bagi kami, sesama pendidik.
Melalui tulisan ini, saya berharap dapat menyampaikan pesan yang menjadi pemantik perubahan, tidak hanya bagi kami sebagai guru, tetapi juga bagi orang tua, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Setiap pihak perlu menyadari peran masing-masing yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Untuk itu, berikut adalah beberapa aspek yang seharusnya menjadi kesadaran bersama agar konflik semacam ini tidak terus berulang setiap tahunnya.
Berbagi Peran Pengasuhan
Orang tua siswa dan siswa harus menyadari bahwa ketika berada di sekolah, terjadi pembagian peran dalam pengasuhan. Saat anak berada di rumah, orang tua benar-benar menjadi orang tua, sementara guru menjadi pengganti orang tua saat anak berada di sekolah.Â
Penting bagi pola pikir ini untuk senantiasa terpatri dalam benak siswa, orang tua, dan para guru. Anak, sebagai subjek langsung yang berinteraksi dengan guru, harus menyadari bahwa tugas pengasuhan orang tuanya digantikan oleh guru ketika mereka berada di sekolah. Pemahaman ini menciptakan rasa hormat, ketaatan, dan keterbukaan untuk menerima pengajaran dari para guru.
Kesadaran orang tua tentang berbagi peran dalam pengasuhan kepada guru di sekolah sangatlah penting. Pola pikir ini membantu orang tua menyetujui berbagai tindakan dan layanan asuhan bimbingan yang diberikan oleh guru kepada anak mereka.Â