Kita sering menyaksikan bagaimana lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi, tampaknya memilih untuk berdiam diri ketika kasus perundungan muncul di antara siswa dan mahasiswa mereka. Apakah itu rasa malu atau takut yang membuat mereka terpaku dalam keheningan?Â
Sorotan semakin tajam ketika kita melihat kisah perundungan di dalam lembaga pendidikan. Kasus yang baru-baru ini dilaporkan oleh sumber berita menggambarkan bagaimana individu yang menjadi korban perundungan di lembaga pendidikan dihadapkan pada dua pilihan: berdiam diri atau memberanikan diri untuk berbicara.
Lembaga pendidikan yang terlibat dalam kasus ini justru merespons dengan meminta individu yang menjadi korban untuk membuat surat pernyataan bersalah, mengklaim bahwa tindakan individu tersebut merusak citra lembaga.Â
Pertemuan antara individu yang mengalami perundungan dan pelaku berujung pada sanksi dan pernyataan bersalah. Ironisnya, korban yang menjadi individu yang harus meminta maaf.
Mengapa lembaga-lembaga pendidikan sering memilih untuk bungkam ketika perundungan terjadi di antara siswa dan mahasiswa mereka? Apakah mereka benar-benar takut atau malu? Padahal, kasus perundungan di dalam lembaga-lembaga pendidikan seharusnya memicu respons yang tegas dan proaktif untuk melindungi para korban dan mencegah perundungan berulang.
Keheningan lembaga dalam menghadapi perundungan tidak hanya merusak rasa kemanusiaan para korban, tetapi juga menciptakan ketidakadilan.Â
Kasus perundungan bukanlah sekadar fenomena sesaat; kita melihatnya terjadi berulang kali di berbagai tempat. Dalam beberapa kasus, korban justru menjadi sasaran tuduhan dan kesalahan, sementara pelaku perundungan tampaknya luput dari hukuman.
Kisah yang baru saja diungkapkan adalah cerminan terbaru dari masalah ini. Individu yang menjadi korban harus meminta maaf dan mengaku bersalah atas tindakannya yang membongkar perundungan yang dialaminya.Â
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah kita akan terus membiarkan perundungan terus berlangsung di balik kebungkaman? Bagaimana masa depan para korban perundungan jika masalah ini tetap terkubur dalam keheningan?
Mengapa dilarang bungkam?
Saat kita memandang perundungan di lembaga-lembaga pendidikan, kita tidak hanya berhadapan dengan kasus yang merusak kemanusiaan para korban, tetapi juga dengan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip yang mendasari Sustainable Development Goals (SDGs).
Kita harus memahami bahwa ketika lembaga dan institusi memilih untuk berdiam diri dalam menghadapi perundungan, mereka secara tidak langsung menyumbang pada ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan kerusakan hak asasi manusia yang mendasari berbagai tujuan SDGs.
Sebagai masyarakat, kita harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari perundungan dan mendukung pencapaian SDGs. Ketika lembaga pendidikan berbicara, mereka tidak hanya melindungi para korban, tetapi juga memastikan bahwa mereka berperan dalam mendukung berbagai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Dalam upaya mewujudkan lingkungan pendidikan yang manusiawi dan berkelanjutan, terdapat beberapa alasan yang kuat mengapa lembaga-lembaga pendidikan harus berbicara ketika perundungan terjadi di antara siswa dan mahasiswa mereka.Â
Pertama, Kebungkaman Lembaga Merusak Kemanusiaan Korban
Ketika lembaga pendidikan memilih untuk berdiam diri, mereka seakan-akan mengabaikan rasa kemanusiaan korban perundungan.
Mereka lupa bahwa di hadapan mereka ada manusia yang telah menderita dan bahwa keadilan harus ditegakkan. Hal ini adalah kontradiksi terhadap prinsip-prinsip SDGs, terutama SDG 4 tentang Pendidikan Berkualitas.
SDG 4 menekankan perlunya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif, di mana setiap individu memiliki hak untuk belajar tanpa rasa takut, tekanan, atau perundungan.
Mengabaikan rasa kemanusiaan korban perundungan juga berarti melupakan komitmen SDGs untuk mencapai keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Kita tidak bisa mencapai SDGs jika kita tidak memperhatikan dan melindungi hak-hak dasar manusia setiap individu, terlebih lagi di lingkungan pendidikan.
Dalam mewujudkan SDGs, lembaga pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan harkat dan martabat manusia. Mereka harus berbicara dan bertindak untuk melindungi para korban perundungan, memastikan bahwa setiap siswa dan mahasiswa merasa aman, dihormati, dan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.Â
Kedua, Kebungkaman Lembaga Memperpanjang Rantai Perundungan
Keheningan lembaga pendidikan dalam menghadapi perundungan sebenarnya berkontribusi pada perpanjangan rantai perundungan itu sendiri.Â
Hal ini bertentangan dengan semangat SDGs yang mencita-citakan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hak asasi manusia.Â
Ketika lembaga pendidikan memilih untuk berdiam diri ketika kasus perundungan terjadi, mereka sebenarnya memberikan perlindungan kepada pelaku perundungan. Dengan tidak bertindak, lembaga-lembaga tersebut membantu menciptakan pola di mana perundungan dibiarkan dan menjadi perilaku yang diterima.Â
Ketidakadilan terus berlanjut, dan para pelaku perundungan merasa bahwa tindakan mereka tidak akan mendapatkan sanksi apa pun.Â
Ketika lembaga pendidikan membiarkan perundungan terus berlanjut, mereka tidak hanya gagal melindungi hak asasi manusia para korban perundungan, tetapi juga berkontribusi pada ketimpangan dan ketidakadilan yang lebih besar.
Ketiga, Kebungkaman Lembaga Menciptakan Budaya Perundungan
Ketika lembaga-lembaga pendidikan memilih untuk berdiam diri, mereka tanpa sadar ikut menciptakan budaya di mana perundungan dianggap wajar.Â
Ini bertentangan dengan semangat SDG 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat, yang menekankan pentingnya membangun institusi yang responsif dan adil.Â
Dengan tidak adanya respons terhadap perundungan, lembaga-lembaga pendidikan secara tidak langsung memberikan lampu hijau kepada para perundung. Mereka merasa bahwa tindakan mereka tidak akan mendapatkan konsekuensi apa pun, dan ini menciptakan pola di mana perundungan menjadi perilaku yang diterima.Â
Ini adalah pelanggaran terhadap semangat SDG 16, yang menyerukan kepada kita untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan responsif.Â
Lembaga-lembaga pendidikan harus berbicara dan bertindak, mereka harus menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan adil. Dengan melakukan ini, mereka memainkan peran penting dalam mendukung SDGs, terutama SDG 4 tentang Pendidikan Berkualitas, SDG 10 tentang Pengurangan Ketimpangan, dan SDG 16 tentang Perdamaian, Keadilan, dan Institusi yang Kuat.Â
 Wasana Kata
Sekolah dan perguruan tinggi bukan hanya tempat untuk belajar akademik, tetapi juga lingkungan di mana keselamatan, rasa hormat, dan keadilan harus dijaga. Keheningan lembaga pendidikan dalam menghadapi perundungan adalah ketidaksetujuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Saat kita melihat kasus perundungan di lingkungan pendidikan, kita tidak boleh berdiam diri. Masyarakat, lembaga pendidikan, dan semua individu memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang bebas dari perundungan.Â
Dalam proses ini, lembaga pendidikan juga wajib bersuara dan tidak boleh bungkam. Dengan bersuara dan bertindak, kita dapat mengakhiri perundungan dan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan, belajar, dan perkembangan tanpa rasa takut atau tekanan.
Perundungan adalah masalah yang melibatkan kita semua, dan kita harus bekerja sama untuk mengakhiri siklus ketidakadilan ini. Dengan bersama-sama melindungi para korban, memberikan pendidikan kepada pelaku, dan menghentikan keheningan lembaga pendidikan, kita akan menjadi garda terdepan dalam menciptakan dunia yang lebih manusiawi dan adil.Â
Jadi, mari bersatu dalam tekad untuk mengakhiri perundungan dan mendukung pendidikan yang aman, inklusif, dan bermartabat bagi semua, sebagai bagian dari komitmen kita terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).Â
Dengan bersama-sama, kita akan membantu mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan dan mewariskan dunia yang lebih baik kepada generasi mendatang dengan tanpa perundungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya