Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan atau Penindasan? Menggali Aturan Cukur Rambut di Sekolah

9 September 2023   23:00 Diperbarui: 10 September 2023   21:27 1754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: batam.tribunnews.com dari groupon.com

Banyak yang menggugat tentang esensi penetapan panjang rambut siswa di sekolah. Dari siswa sendiri sebagai objek dalam peraturan ini juga banyak menimbulkan tanya dalam benak mereka. 

Tak luput juga penulis pernah bertemu dengan orang tua siswa yang protes kepada sekolah sebab anaknya tidak boleh berambut panjang di sekolah. Mereka banyak beralasan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara panjang rambut dengan proses pembelajaran di kelas. 

Penegakan disiplin masalah rambut juga cukup pelik, sebagaimana dikutip dari news.detik.com, Iwan Himawan membalas mencukur guru anaknya Aop Saopudin gara-gara Aop mencukur anaknya. Selain itu, Iwan mengintimidasi Aop dan melakukan tindak kekerasan. 

Masalah ini dipicu hanya gara-gara Iwan Himawan tidak terima anaknya dicukur rambutnya setelah diadakan razia cukur rambut oleh Aop. THS,anak dari Iwan Himawan melaporkan kejadian tersebut kepada Iwan, lalu terjadilah tindakan cukuran balasan yang dilakukan oleh Iwan kepada Aop.

Masih dikutip dari news.detik.com, kasus ini bergulir panjang, tidak hanya berhenti sampai aksi cukur balasan, Iwan juga melaporkan Aop ke pengadilan dengan tuduhan diskriminasi terhadap anak seusai dengan UU Perlindungan Anak dan perbuatan tidak menyenangkan sesuai KUHP. 

Atas aduan ini, warga Majalengka bergejolak dan melaporkan balik Iwan dengan delik perbuatan tidak menyenangkan. Keduanya lalu sama-sama diadili. 

Tetapi pada akhirnya justru Iwan lah yang mendapatkan hukuman, sebab tindakan yang dilakukan Aop adalah tindakan wajar yang dilakukan seorang guru dalam mendidik siswanya.

Sekolah dimana penulis mengajar juga merupakan sekolah yang juga menetapkan ketentuan tentang panjang rambut siswa di sekolah. Di sekolah kami panjang rambut bagi siswa laki-laki disepakati tidak boleh melebihi 5 cm, dan maksimal panjang rambut disetiap sisi tidak boleh melebihi 1 cm. 

Rambut juga tidak boleh diwarnai baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan. Seringkali pertanyaan yang menggelitik tentang ketentuan panjang rambut ini juga hadir di ruang-ruang diskusi pada berbagai media sosial, apa sebenarnya esensi sekolah sehingga masalah rambut pun harus di atur-atur. 

Tulisan ini akan berusaha menjabarkan beberapa alasan mengapa sekolah menetapkan ketentuan tentang panjang dan warna rambut bagi seluruh siswa. Berikut adalah beberapa alasan tentang ketentuan penetapan panjang rambut siswa di sekolah. 

1. Pendidikan Bertujuan Membentuk Watak

Sumber gambar: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI
Sumber gambar: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI

Setidaknya ada dua hal yang seharusnya diperoleh dari proses pendidikan yang ada di sekolah, yang pertama adalah kemampuan akademik dan yang kedua adalah pembentukan watak. 

Dua hal tersebut senada dengan tujuan nasional pendidikan Indonesia menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 3 sebagaimana dikutip dari liputan6.com dengan bunyi sebagai berikut:

"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Ada tanggung jawab sekolah sebagai media dalam mencapai tujuan nasional pendidikan Indonesia. Sebab sekolah adalah media yang langsung bersentuhan dengan siswa. 

Bahkan porsi waktu kehidupan anak sebagian besar juga berada di sekolah. Apalagi dengan kebijakan full day school seperti di sekolah kami, siswa-siswi masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 15.30, hampir satu hari anak-anak berada di sekolah. 

Artinya bahwa lingkungan sekolah juga merupakan lingkungan yang memiliki porsi besar selain lingkungan keluarga dalam pembentukan watak anak. 

Di sekolah lah anak melakukan berbagai aktifitas dan menemukan jati diri. Dan sekolah juga merupakan salah satu tempat yang juga memiliki kemampuan untuk tetap di patuhi oleh anak. 

Kesan yang terbangun dewasa ini sekolah hanya tempat untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sebagai tempat guru dalam menyampaikan berbagai materi pelajaran kepada siswa. 

Sekolah hanya dimaknai sebagai segala kegiatan yang berada di kelas. Segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar dianggap tidak penting dan hanya sebagai unsur tambahan. 

Padahal sejatinya makna pendidikan yang diampu oleh sekolah lebih dari itu. Sekolah harus menjadi tempat untuk pengembangan kemampuan berpikir melalui berbagai materi yang disampaikan oleh guru di kelas dan berikutnya sekolah juga harus menjadi tempat penggemblengan watak anak-anak bangsa agar tujuan nasional pendidikan Indonesia tercapai.  

Rambut sebenarnya hanyalah salah satu instrumen dalam penggemblengan watak. Banyak instrumen lain yang biasanya sekolah tentukan dalam rangka penggemblengan pembentukan watak anak di sekolah. 

Sebagaimana yang sering penulis lakukan sesaat sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, penulis sering kali melakukan cek kelengkapan atribut siswa. 

Dari cek dasi, nama, bed sekolah, ikat pinggang, kaos kaki, sepatu dan tak lupa panjang rambut. Semua yang penulis lakukan tersebut penulis sadari sebagai salah satu media penggemblengan watak agar membiasakan jiwa-jiwa muda mereka senantiasa taat dan patuh terhadap tata tertib sekolah.

Semua instrumen yang penulis sebutkan tadi dari dasi sampai dengan panjang rambut memang tidak secara langsung mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar. 

Tidak ada dasi, tidak ada nama, tidak ada bed sekolah, tidak ada ikat pinggang, tidak ada kaos kaki dan sepatu serta rambut panjang pun tidak mempengaruhi proses kegiatan belajar mengajar di kelas. 

Dan disinilah beda dimensi antara pengembangan kemampuan materi pengetahuan dengan dimensi penggemblengan watak terlihat. 

Pengembangan pengetahuan hanya diperoleh melalui serapan materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru di sekolah dan penggemblengan watak diperoleh melalui ketaatan dan kepatuhan terhadap tata tertib yang berlaku di sekolah.

Anak harus belajar bagaimana mereka menahan diri untuk tetap patuh terhadap tata tertib yang berlaku di sekolah. 

Memang benar bahwa rambut panjang tidak berkaitan langsung dengan proses belajar mengajar di kelas, tetapi mampu menahan diri untuk tetap patuh terhadap tata tertib sekolah dengan tetap memotong rambut sesuai dengan ketentuan sekolah adalah proses pembelajaran menuju watak bermartabat.

Sebab watak merupakan hasil dari kebiasaan yang terus menerus terjadi sehingga menjadi sesuatu yang terpatri di dalam jiwa dan sanubari. 

Ada proses pembelajaran dalam perwujudan menuju watak bermartabat melalui pembiasaan-pembiasaan yang harus diterapkan untuk membentuk sebuah watak, dan potong rambut sesuai ketentuan sekolah adalah salah satu instrumen pembiasaan tersebut. 

2. Pembelajaran Delayed Gratification

Sumber gambar: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI
Sumber gambar: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI

Selain pembentukan watak, ketentuan tentang panjang rambut juga merupakan sebuah pembelajaran delayed gratification yang merujuk pada sebuah istilah psikologis yang akhir-akhir ini populer tentang bagaimana seseorang dapat mengontrol diri dalam menunda keinginan. Dikutip dari rsj.babelprov.go.id, istilah delayed gratification dikenalkan oleh Walter Mischel dan timnya dari Stanford University dengan eksperimen marsmallow yang dilakukan pada 165 orang balita di akhir 1960-an dan awal 1970-an.

Memotong rambut sesuai dengan ketentuan adalah bentuk pembelajaran delayed gratification bagi seorang anak di sekolah. Apa sebab disebut juga sebagai delayed gratification? Sebab pada kepatuhan memotong rambut sesuai dengan ketentuan sekolah maka dapat diartikan anak menahan diri menunda kepuasan untuk tidak berambut panjang sesuai keinginannya. 

Ada proses pergulatan batin di dalam sanubari siswa antara keinginannya untuk tetap berambut panjang ataupun memotong sesuai dengan aturan sekolah.

Delayed gratification sebenarnya sudah sering juga diterapkan oleh para orang tua dirumah. Seperti saat orang tua memohon si kecil untuk tetap bersabar menunggu tabungan terkumpul baru membeli apa yang si kecil inginkan. 

Ataupun saat orang tua tetap tidak bergeming ketika si kecil tantrum karena meminta sesuatu yang diinginkannya. Jadi pembelajaran delayed gratification sebenarnya tanpa sadar sering orang tua terapkan dirumah, pembelajaran tersebut bertujuan agar anak mampu mengontrol emosinya saat anak menginginkan sesuatu. 

Dengan pembelajaran delayed gratification diharapkan anak mampu mengontrol emosi, memahami proses, dan mampu menghargai aturan ataupun pendapat orang lain. Delayed gratification juga sering dikaitkan dengan kesuksesan anak di masa yang akan datang. 

Dari hasil pengamatan penulis pribadi, anak-anak yang bermasalah saat remaja beberapa sebab diantaranya adalah kurangnya pembelajaran delayed gratification saat mereka berada di usia tumbuh kembang sebagai anak-anak.

Dan kembali pada point awal, kewajiban memotong rambut sesuai dengan tata tertib sekolah masuk dalam pembentukan watak. Delayed gratification juga masuk dalam ranah pengemblengan watak, sebab didalamnya terkandung pembiasaan-pembiasaan agar anak mampu menahan diri dan menunda kepuasan. 

Dikutip dari rsj.babelprov.go.id, kemampuan menunda kepuasan di masa kanak-kanak awal dikaitkan dengan berbagai hasil positif pada masa remaja dan seterusnya, termasuk kemampuan akademik dan skor SAT yang lebih tinggi, memiliki berat badan ideal, kemampuan mengatasi stres yang lebih baik, serta memiliki tanggung jawab sosial dan hubungan yang positif dengan teman sebaya (Carlson dkk, 2018). 

Masih dalam situs yang sama, Mischel, (Twito dkk; 2019) melalui penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa delayed gratification dapat menjadi faktor protektif terhadap permasalahan psikologis dan fisik yang serius, seperti gangguan perilaku, perilaku anti sosial, hiperaktif, adiksi, serta obesitas pada anak.

Maka penentuan tentang panjang rambut dan warna rambut disekolah adalah langkah yang tepat dalam pembentukan watak anak di sekolah, sebab di dalamnya terkandung pembelajaran delayed gratification yang memiliki banyak manfaat dalam pembentukan watak anak saat dewasa kelak.

3. Menghilangkan Perbedaan Memupuk Persatuan

Sumber gambar: biz.kompas.com
Sumber gambar: biz.kompas.com

Rambut adalah mahkota bagi setiap manusia, tak luput juga bagi anak yang juga merupakan peserta didik di sekolah. Rambut sering kali kadang menjadi identitas bagi masing-masing pribadi sesuai dengan lingkungan tumbuh kembangnya. Penetapan ketentuan panjang rambut anak ketika berada di sekolah adalah salah satu langkah yang ditempuh sekolah untuk mereduksi berbagai perbedaan yang ada di sekolah. 

Sekolah merupakan tempat berkumpulnya anak dari berbagai latar belakang yang berbeda. Berasal dari daerah yang berbeda, asuhan orang tua yang berbeda, sampai pada beragamnya kekuatan finansial masing-masing orang tua yang juga tidak sama. Kadang kala berbagai perbedaan-perbedaan itu mengerucut menjadi perbedaan dalam penampilan ketika anak berada di sekolah. 

Menyeragamkan rambut adalah sebuah hal yang dipandang mampu mereduksi berbagai perbedaan-perbedaan yang hadir di tengah-tengah anak. 

Dengan kewajiban yang diterapkan untuk seluruh siswa yang berada di sekolah membuat siswa merasakan bahwa tidak ada siswa yang memiliki hak istimewa di sekolah.

Tidak ada siswa yang memiliki privilige di sekolah, semua sama, harus patuh dan taat terhadap ketentuan yang berlaku di sekolah. Rambut harus dipotong sesuai dengan ketentuan tata tertib sekolah.

Hal ini juga seharusnya semakin mengokohkan rasa persatuan dan jiwa korsa anak di sekolah, sebab semua anak akan merasa senasib dan seperjuangan.

Sama-sama bersekolah, sama-sama harus patuh dan taat pada tata tertib sekolah, dan sama-sama harus memotong rambut sesuai dengan ketentuan tata tertib yang berlaku di sekolah, sehingga tindakan diskriminasi yang mengarah pada perundungan seharusnya juga bisa dicegah.

Wasana Kata

Sumber gambar: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI
Sumber gambar: KOMPAS.com / ANDREAS LUKAS ALTOBELI

Banyak yang menganggap bahwa rambut adalah bagian dari hak mereka yang tidak bisa diganggu gugat. Razia cukur rambut dianggap sebagai pelanggaran atas hak anak. Padahal ada banyak makna yang terkandung di dalam ketentuan tentang panjang rambut anak di sekolah.

Tiga alasan di atas seharusnya menjadi dasar yang semestinya dipahami bersama oleh berbagai kalangan yang berkecimpung di dalam dunia pendidikan. 

Kadang kala ada kesenjangan harapan antara sekolah, siswa dan juga orang tua serta masyarakat. Banyak juga loh ternyata para orang tua yang kerap menanyakan apa esensi sekolah sampai harus ngopeni rambut anak di sekolah.

Pilihan untuk razia cukur rambut adalah pilihan terakhir sebagai evaluasi pelaksanaan sosialisasi dan himbauan tata tertib sekolah yang rutin didengungkan. Jangan tiba-tiba tanpa sosialisasi, tanpa informasi dan tanpa himbauan kepada orang tua tiba-tiba sekolah melakukan razia cukur rambut, jelas ini adalah pelanggaran. 

Atau tiba-tiba guru mendatangi siswa lalu mencukur siswa dengan potongan yang tanpa bentuk bahkan sampai botak, ini juga tidak diperbolehkan. 

Sekolah tetap berkewajiban menjalankan tata tertib dengan semangat yang humanis dan bermartabat, jangan sampai penegakan disiplin justru menjadi tindakan yang melanggar hukum.

Sebagai orang tua siswa, mari kita dukung penegakan tata tertib yang ada di sekolah. Awasi juga setiap point tata tertib dan juga penegakan disiplin yang dilakukan oleh sekolah. 

Sebagai seorang siswa, sadarilah bahwa pendidikan adalah proses "memanusiakan manusia", dan di dalam sebuah proses ada berbagai suka dan duka terpampang. 

Ikhlaskan diri kalian untuk menerima segala materi pembelajaran dan mematuhi segala tata tertib sekolah. Karena apa yang kalian lewati sekarang adalah sebuah proses menuju kedewasaan berpikir dan watak. 

Bagi masyarakat mari kita dukung dan awasi pemberlakuan kebijakan sekolah. Karena sesungguhnya sekolah tidak hanya sebagai tempat pemberian materi pembelajaran dari para guru tetapi lebih dari itu sekolah adalah tempat untuk pengemblengan watak siswa. 

Jangan gembosi kebijakan sekolah dengan berbagai opini yang bersumber dari sudut pandang pribadi. Tapi hormati dan awasi setiap kebijakan yang disusun dan diberlakukan oleh sekolah dengan bijak. 

Sekali lagi penulis katakan, bahwa sekolah bukan hanya tempat transfer materi pembelajaran tetapi tempat penggemblengan watak menuju manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi tidak melulu hanya masalah nilai di rapot ataupun kecakapan dalam menyelesaikan soal-soal mata pelajaran. 

Sekolah seharusnya menjadikan anak-anak Indonesia juga menjadi manusia yang berakhlak mulia. Dan dimensi antara pembelajaran tentang mata pelajaran dengan watak ataupun perwujudan akhlak mulia adalah dimensi yang berbeda. 

Materi pelajaran yang disampaikan di kelas membuat anak-anak cakap dalam pengetahuan, sedangkan tata tertib yang ada di sekolah membuat anak-anak cakap dalam mengontrol diri sebagai salah satu penggemblengan watak menuju manusia Indonesia yang dicitakan dalam tujuan nasional pendidikan.

Jadi dengan berbagai alasan di atas masih yakinkah razia cukur rambut disebut sebagai penindasan anak di sekolah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun