Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tantangan dan Harapan Transformasi KTP Digital sebagai Identitas Kependudukan

17 Agustus 2023   17:19 Diperbarui: 22 Agustus 2023   04:40 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) menggalakkan pembuatan Kartu Tanda Penduduk Digital atau KTP Digital. KTP Digital adalah identitas kependudukan dalam bentuk aplikasi yang dapat diakses melalui ponsel pintar atau smartphone, seperti dikutip dari kompas.com.

Masih dalam sumber yang sama Direktur Jenderal Dukcapil Teguh Setyabudi menjelaskan, KTP digital atau yang bernama resmi Identitas Kependudukan Digital (IKD) telah diterapkan secara bertahap mulai 2022, dan sampai dengan opini ini ditulis aktivasi identitas kependudukan digital ini telah mencapai 4,1 juta. Jumlah yang masih jauh dari jumlah harapan aktivasi identitas kependudukan digital ini. 

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari dataindonesia.id, bahwa penduduk Indonesia mencapai 273,88 juta jiwa per 31 Desember 2021. Dengan data usia penduduk 0--19 tahun adalah 90,87 juta jiwa. 

Jadi ada sebanyak kurang lebih 183 juta jiwa yang harus migrasi dari KTP elektronik fisik ke KTP digital atau identitas kependudukan digital (data tersebut hasil perhitungan penulis secara kasar melalui data yang penulis ambil dari dataindonesia.id).

Jika kita kurangkan dengan jumlah aktivasi identitas kependudukan digital yang telah mencapai 4,1 juta jiwa sebagaimana pernyataan Direktur Jenderal Dukcapil Teguh Setyabudi yang dikutip dari kompas.com, berarti masih ada sekitar 178, 9 juta jiwa penduduk yang harus bermigrasi ke identitas kependudukan digital.

Jumlah ini adalah jumlah yang besar dan merupakan pekerjaan rumah yang berat dan menarik bagi pemerintah. Berat karena melihat faktor jumlah, menarik karena aplikasi identitas kependudukan ini dilaksanakan secara bertahap sehingga tersirat pengguna aplikasi pertama bisa dijadikan sebagai pengguna trial untuk mengatasi bug sekaligus memperkaya inovasi dari aplikasi ini. 

Dari berbagai fakta dan data di atas, penulis menghimpun beberapa tantangan dalam penerapan aplikasi identitas kependudukan digital dan juga beberapa gagasan harapan saat aplikasi identitas kependudukan digital ini diterapkan, sebagaimana berikut di bawah ini.

1. Keamanan Data

KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR 
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR 

Beberapa rekan penulis mengaku enggan melakukan migrasi ke KTP digital atau tepatnya identitas kependudukan digital, mereka khawatir data tentang kependudukannya dicuri dan disalahgunakan oleh pihak lain demi sebuah keuntungan. 

Banyak sekali loh kasus-kasus pengambilan data ilegal oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Ada yang melakukannya hanya untuk pamer saja, atau ada juga loh yang melakukannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 

Masih ingat tentang Bjorka, dalam kompas.id disebutkan sebanyak 44,2 juta data yang diduga dikelola melalui aplikasi MyPertamina dipasarkan akun Bjorka dengan harga sebesar 392 juta. Nah loh, ini lembaga negara loh, sekelas Pertamina pun bocor. 

Tidak hanya itu, masih pada kompas.id data sebanyak 1,3 milyar dari pendaftaran kartu SIM juga bocor. Bahkan data-data yang bocor ini adalah termasuk ke dalam data vital, sebab data yang bocor tersebut mencakup data NIK, nama, nomor kartu keluarga, nama lengkap, alamat lengkap, tempat tangga lahir sampai detail tanggal pendaftaran SIM. 

Bayangkan, data-data di atas adalah data-data penting yang biasa diperlukan saat kita membutuhkan pelayanan pada lembaga resmi pemerintah. Dan juga data-data di atas bisa jadi adalah data yang dijadikan rumusan kombinasi dalam pembuatan password ataupun PIN sebagai akses aplikasi pada ponsel pintar. 

Dari kejadian ini wajar beberapa rekan penulis ataupun mungkin beberapa warga yang lain mengalami krisis kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat digital. 

2. Aksesibilitas Teknologi

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO 

Selain dari keamanan data, beberapa rekan penulis juga enggan melakukan migrasi ke KTP digital sebab merasa gaptek. Walaupun sebenarnya mereka juga menggunakan ponsel pintar loh, tapi mereka merasa "nggak bisa". 

Wajar sih, kebanyakan dari rekan penulis tersebut terhitung sudah berumur dan walaupun menggunakan ponsel pintar tapi aplikasi yang terinstal hanya aplikasi-aplikasi standar default dari pembelian awal. Jadi jangan harap untuk instal-instal aplikasi lain yang perlu login username dan password, pasti mereka akan tolak mentah-mentah. 

Btw itu masih di lingkungan penulis yang terbilang kota kecil loh, bagaimana jika di daerah-daerah pelosok yang bahkan sekadar mencari sinyal untuk berbalas pesan saja susah. Ditambah dengan kondisi psikografis masyarakat yang masih jauh dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. 

Rasa-rasanya akan menjadi PR berat pemerintah dalam digitalisasi KTP seantero negeri. Sebab dengan luasan Indonesia yang mencapai 1,9 juta kilometer persegi dan 17 ribu pulau yang ada di Indonesia, non sense rasanya digitalisasi KTP akan segera selesai segera.

Ditambah dengan banyaknya warga yang lahir sebelum era 70-an, mereka pasti tidak seakrab yang lahir di atas era 70-an dengan teknologi. Penulis sendiri adalah generasi yang lahir di antara era 80-90 an, dan beberapa rekan penulis juga banyak yang lahir di era ini, dan mereka cukup antusias menyambut era baru KTP yaitu KTP digital.

Tapi bagi rekan kami yang lahir sebelum era 70-an, keakraban mereka pada teknologi yang masih kurang dan ditambah usia yang uzur menjadikan KTP digital layaknya hal yang susah untuk diterapkan. Mereka merasa ribet dengan berbagai kegiatan menginstal, ataupun mengingat username dan password. 

Juga bayangkan, ada loh beberapa kalangan di masyarakat kita yang memang belum menggunakan ponsel pintar. Selain faktor yang penulis sebutkan di atas, seperti kondisi yang berada di daerah pelosok dan usia yang uzur, mungkin mereka tidak memiliki karena memang tidak mampu membeli. 

Walaupun saat opini ini ditulis ponsel pintar bak kacang rebus yang murah meriah setiap orang bahkan dari balita sampai dewasa pasti memiliki. Tapi ternyata tidak semua, seperti apa yang disekitaran penulis, masih banyak juga kok masyarakat kita yang belum menggunakan ponsel pintar. Padahal aplikasi identitas kependudukan ini idealnya mengharuskan satu ponsel sebagai wadah aplikasi identitas digital layaknya KTP yang masih berbentuk kartu. 

3. Verifikasi Identitas

KOMPAS/ZULKARNAINI 
KOMPAS/ZULKARNAINI 

Ini yang jadi pertanyaan besar bagi kami, sejauh mana aplikasi KTP digital mampu mengenali pemilik data yang sah pada perangkat yang digunakan. 

Pengalaman penulis saat diminta menunjukkan KTP ketika check in pada salah satu hotel dalam kegiatan perjalanan dinas menimbulkan tanda tanya besar, "loh, hanya sesimple itu kah untuk menunjukkan tanda pengenal?", yah walaupun dalam hati senang juga sih karena tidak terlalu ribet wira-wiri nyari fotokopian hanya sekadar fotokopi 1 lembar KTP saja. 

Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana nanti ke depannya data yang ditunjukkan oleh pemilik ponsel pintar memang real data sah miliknya. Bisa kejadian loh, ponselnya hilang lalu dengan sedemikian rupa pola kunci berhasil dibuka oleh yang menemukan/mencuri ponsel tersebut lalu dengan seenak hati data kependudukannya dimanfaatkan untuk berbagai hal yang menguntungkan penemu/pencuri ponsel tersebut. 

Sementara ini otentifikasi dari layar ponsel hanya berupa PIN 6 digit yang harus dimasukkan oleh pengguna ponsel untuk mengakses layanan identitas kependudukan digital tersebut. 

Ini hanya salah satu sisi dari layanan identitas kependudukan digital yang ke depannya harus ditingkatkan keamanannya, sebab kejahatan siber semakin lama semakin menjadi dan semakin merajalela. 

Khawatir kalau-kalau identitas kependudukan digital ini sudah diterapkan dan digunakan pada seantero negeri menjadi sasaran empuk bagi niatan jahat oknum yang menggunakannya demi kepentingan pribadi. 

Sedangkan yang masih berupa fisik saja, masih KTP kartu fisik, data kependudukkannya sudah bobol diperjualbelikan, bagaimana dengan yang sudah digital dan terintegrasi dengan berbagai layanan yang lain? 

4. Regulasi dan Hukum

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO 
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO 

Harus ada payung hukum yang memberikan landasan bahwa identitas kependudukan digital telah sah jika digunakan. Pemerintah tidak perlu menunggu nanti saat full seantero negeri telah menginstal aplikasi ini. Tetapi coba bertahap selangkah demi selangkah, agar masyarakat juga paham betapa mudahnya dalam menggunakan layanan dengan menggunakan aplikasi identitas kependudukan digital. 

Ini menjadi contoh dan juga terobosan yang baik dalam mempercepat program identitas kependudukan digital. Sebab dengan respon masyarakat yang baik menjadi penarik minat bagi warga yang lain untuk melakukan migrasi ke identitas kependudukan digital. 

Sebagai contoh, saat penulis akan melakukan pengambilan dana di bank, iseng-iseng penulis menunjukkan identitas kependudukan digital di hadapan teller sebagai bukti bahwa penulis adalah orang yang sama dan berhak sesuai dengan spesimen pengambilan dana. Eh ternyata identitas kependudukan digital yang penulis tunjukkan belum laku, hehehe, padahal sudah pasang mode keren. 

Ini yang jadi kendala di lapangan, maka wajar kalau masih ada celetukan-celetukan; "ngomongnya digital, tapi KTP masih aja diminta kopiannya". Wajar keselnya, harapan kami sebagai masyarakat kan kalau sudah digital ya sudah, tinggal tunjukan saja data pada aplikasi kependudukan yang di ponsel pintar, dan selesai, ternyata tak semudah itu.

Nah, mungkin pemerintah harus memulai dari sini nih, regulasi/payung hukumnya dikeluarkan dulu, yang menyatakan bahwa semua pelayanan di seantero negeri dengan menggunakan identitas kependudukan digital telah sah. 

Yakin, berbondong-bondong masyarakat pasti akan segera menginstal aplikasi ini pada ponsel masing-masing sebab nilai plus yang ditawarkan nyata dan memudahkan dalam layanan. 

Gagasan Harapan 

Ada beberapa gagasan harapan saat benar-benar aplikasi identitas kependudukan digital ini diterapkan, sebagaimana berikut ini penulis ungkapkan.

1. Nge-link dengan BPJS

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS 
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS 

Pada kondisi darurat seperti kecelakaan ataupun kejadian yang memerlukan respon cepat dalam penyelamatan nyawa, maka respon dan penanganan cepat perlu dilakukan. 

Bukan menjadi kendala utama tapi repot si saat kita berada pada situasi gawat darurat sebagai pasien ataupun pendamping pasien yang harus wira-wiri hanya untuk sekadar fotokopi ataupun mengisi formulir pendaftaran pelayanan pasien gawat darurat. 

Gagasan dan harapannya adalah ketika nanti identitas kependudukan digital ini diterapkan, harusnya auto nge-link juga dengan data kepesertaan pada BPJS kesehatan. 

Jadi misal seperti contoh di atas, saat dalam keadaan gawat darurat baik menjadi pasien ataupun pendamping, tidak lagi repot dan tertunda pelayanannya hanya karena kesulitan dalam melakukan layanan administrasi pendaftaran layanan peserta BPJS.

Harapannya kita tinggal ngetap saja atau scan kode yang bisa auto input identitas kepesertaan dalam layanan BPJS kesehatan. Jadi gak perlu repot telepon sana sini hanya untuk mengetahui ini pasien dengan peserta BPJS kesehatan kelas berapa dan harus di ruang apa. Canggih lah, tinggal tap atau scan, langsung cuss dilayani maksimal sesuai dengan kelas kepesertaan pasien.

2. Nge-link dengan Riwayat Kesehatan

KOMPAS/RADITYA HELABUMI 
KOMPAS/RADITYA HELABUMI 

Ini juga penting, sering penulis temui saat penulis mengantar siswa-siswi penulis yang membutuhkan layanan darurat. Penulis bingung ketika ditanya tentang alergi apa, atau sakit yang diderita oleh pasien. 

Ke depannya selain ngelink dengan layanan kepesertaan BPJS, identitas kependudukan juga harus ngelink dengan riwayat kesehatan yang dimiliki oleh masyarakat. 

Masalah kesehatan adalah masalah nyawa dan keselamatan loh, jadi sebuah hal yang harus diperhatikan juga selain dari pendidikan tentunya. 

Dengan ngelinknya identitas kependudukan digital dengan riwayat kesehatan maka pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan tepat sehingga petugas medis tidak lagi kebingungan sehingga menimbulkan diagnosa yang salah. Sip bener pokoknya kalau sampai ini beneran ngelink. 

Pelayanan kesehatan pasti gak akan lagi antre panjang, maksudnya minimal mengurangi waktu dalam diagnosis sehingga antrean tidak bertambah panjang. Plus dalam kondisi gawat darurat pasien segera dapat ditangani dengan baik dengan meminimalisir potensi diagnosis yang salah karena dalam identitas kependudukan sudah tercantum riwayat kesehatan pasien. 

3. Nge-link dengan Pelanggaran yang Dilakukan

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Tanpa bermaksud memberikan diskriminasi pada pelanggar hukum, dengan terintegrasinya identitas kependudukan digital dengan pelanggaran hukum yang pernah dilakukan, maka negara ataupun penegak hukum setempat mampu membaca potensi bahaya pada sebuah daerah atau event tertentu yang diselenggarakan. 

Gini nih maksudnya, negara segera dapat mengetahui tingkat potensi ancaman yang bisa terjadi saat konser berlangsung hanya dengan melihat identitas digital yang digunakan oleh pemesan tiket untuk menonton konser yang akan di adakan. 

Jadi dengan ngelinknya identitas kependudukan dengan riwayat pelanggaran, maka negara mampu melakukan pencegahan, mungkin dengan cara pemesanan yang ditolak, atau pemesanan tiket tetap diterima dengan memberikan tempat duduk pemesan dengan riwayat pelanggaran hukum tidak berdampingan dengan pemesan lain yang juga memiliki potensi ancaman yang sama.

Wah ekspektasinya ketinggian nih, btw tapi ini mungkin terjadi loh, sinkronisasi antara data kependudukan dengan data pelanggaran hukum. 

Bagi pengembang teknologi ini adalah hal yang mudah hanya sekadar mengaitkan antar data dan antar lembaga, yang susah mungkin regulasi atau payung hukumnya, wajar sih tiap kebijakan pasti ada pro dan kontranya.

Dengan sinkronisasi ini maka pemerintah juga bisa memetakan sekaligus melakukan pencegahan bagi bahaya terorisme dan radikalisme, syukur-syukur riwayat organisasi juga jelas, sehingga tidak lagi kecolongan sebagaimana kemarin ada salah satu pegawai KAI yang ternyata adalah teroris.

4. Nge-link dengan Berbagai Aplikasi

KOMPAS/PRIYOMBODO 
KOMPAS/PRIYOMBODO 

Salah satu contoh adalah saat PPDB, dengan adanya data kependudukan terpadu yang ngelink dengan server aplikasi PPDB, maka tidak ada lagi istilah geser-geser titik dan manipulasi data kependudukan. 

Pendaftar PPDB zonasi misalnya, dengan ngelinknya data kependudukan dengan server aplikasi PPDB diharapkan ketika mengetikkan nama ataupun NIK dan juga NISN, aplikasi akan segera mengarahkan pada titik di mana peserta pendaftaran PPDB tinggal. 

Jadi titik tinggal sudah auto sesuai dengan data kependudukan, dengan ini akan meminimalisasi celah-celah yang bisa digunakan pendaftar agar lolos pada sekolah yang di inginkan.

Btw kan peserta didik SD, SMP dan SMA kelas X dan XI belum bisa memiliki KTP? Benar, tapi mereka sudah memiliki NIK, cukup dengan scan kode identitas kependudukan digital orangtua ataupun wali maka data kependudukan anak harapannya juga bisa diakses. 

Wasana Kata

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI 
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI 

Perlu upaya pemerintah dan juga respon positif dari masyarakat agar identitas kependudukan digital yang terhubung dengan berbagai layanan mampu terwujud seantero negeri agar segala pelayanan vital seperti pendidikan dan juga kesehatan tidak terhambat dan sesuai pada porsinya. 

Btw, tantangan dan gagasan harapan di atas adalah pandangan penulis tentang migrasi data identitas kependudukan yang sedang berlangsung saat ini. Kendala yang dihadapi adalah hal-hal yang pernah penulis hadapi saat menggunakan identitas kependudukan digital. 

Sebagai catatan, penulis adalah salah satu warga yang sekarang ini telah menggunakan aplikasi identitas kependudukan digital. Gagasan dan harapan tentang ngelink/ sinkronisasi data juga merupakan hasil dari pengalaman dan pandangan penulis.

Mengubah paradigma masyarakat memang PR berat bagi pemerintah, apalagi masyarakat memiliki trust issue terhadap pemerintah dibidang teknologi informasi dan komunikasi. 

Pada September tahun 2022 kompas.id membeberkan data fakta bocornya surat atau dokumen dari Badan Intelijen Negara dengan label rahasia. Wih, sekelas Intelijen loh ini, tapi masih tetap bocor. 

Tapi gak masalah, justru ini harusnya menjadi bahan evaluasi bagi kita bersama dan juga pemerintah agar tetap aware dengan data pribadi yang tersimpan. Dalam hal ini pemerintah sebagai pengelola data kependudukan harus memiliki tingkat pengamanan yang tinggi terhadap berbagai celah yang memungkinkan hacker mengacak-acak data yang tersimpan. 

Yuk dukung pemerintah dengan berpartisipasi dalam proses migrasi dari KTP fisik menjadi data identitas kependudukan digital, laporkan jika ada celah, usulkan bila ada inovasi baik untuk kebaikan bersama.

Untuk Indonesia, Semoga Bermanfaat

***Junjung Widagdo***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun