Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

5 Hal Utama yang Harus Anda Diskusikan Sebelum Berkata "I do"

17 September 2023   08:26 Diperbarui: 17 September 2023   13:41 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menikah (KOMPAS.com dari StockSnap) 

Terkesan tabu tapi lima hal ini penting untuk dibicarakan pasangan pranikah sebelum mereka benar-benar mengatakan "I do". Lebih baik berpisah sebelum menikah karena sebuah komitmen yang tidak mungkin saling disepakati bersama dibandingkan harus menyesal dan berpisah dalam sebuah pernikahan.

Setidaknya ada lima hal utama yang seharusnya didiskusikan pasangan sebelum mereka benar-benar menikah. Tapi jangan coba-coba menanyakan lima hal ini pada seseorang hanya untuk melihat bagaimana sebuah keseriusan dalam hubungan. 

Khawatir pertanyaan ini seperti memberikan harapan palsu, sebab jika sampai pada pertanyaan ini maka hubungan sudah sampai fase akhir menjelang pernikahan.

Diskusikan kelima hal ini ketika kita memang benar-benar mantap terhadap seseorang yang memang fix akan kita nikahi. Dan pertanyaan ini merupakan pertanyaan pamungkas, itung-itung tes akhir pada sebuah seleksi pemantapan pranikah.

Jika memang terjadi kesepakatan kedua belah pihak antara pasangan pranikah laki-laki dan perempuan maka jenjang akhir setelah ini adalah sebuah pernikahan.

Tetapi jika ternyata saling tidak bersepakat dalam kelima hal ini, maka jangan pernah sekali-kali mengharapkan sebuah keajaiban datang nanti pasca menikah.

Jangan pernah acuh terhadap sebuah ketidaksepakatan yang terjadi pada lima hal ini. Jangan pernah merasa masing-masing akan mengerti, berubah dan saling sepakat pasca menikah. Tetapi menikahlah jika telah saling bersepakat, pernikahan dalam sebuah kesepakatan adalah hal yang membahagiakan. 

Sedangkan pernikahan yang berada dalam keterpaksaan, berpotensi menimbulkan konflik dan bisa berujung pada perceraian.

Di bawah ini adalah kelima hal yang harus disepakati masing-masing pasangan pranikah sebelum mereka benar-benar memutuskan untuk menjawab "I do". 

Pertama, Tinggal di Mana

Sumber gambar: KOMPAS.com dari Wentao Li 
Sumber gambar: KOMPAS.com dari Wentao Li 

Masalah tinggal di mana setelah menikah bukan hal sepele, ada salah satu sahabat penulis yang harus kandas pernikahannya hanya karena tidak sepakat di mana akan tinggal bersama.

Rumah tinggal adalah hal utama setelah menikah sebab di sinilah biduk rumah tangga akan dimulai. Di sinilah semuanya akan kembali kepada kebiasaan yang terjadi sebenarnya. Jika dulu sebelum menikah semuanya tampak sempurna maka di sinilah jati diri terlihat. 

Point ini adalah point penting yang seharusnya dibicarakan terlebih dahulu sebelum pasangan benar-benar yakin melanjutkan ke jenjang pernikahan. 

Sebab banyak juga loh yang pernikahannya harus kandas karena gak sepakat tinggal di mana setelah menikah. 

Sang suami memilih bertahan untuk tetap tinggal sementara di rumah orangtua sebelum memiliki rumah sendiri, tetapi sang istri ternyata enggan untuk tetap tinggal bersama orangtua suami pasca menikah. 

Bayangkan ketika kita harus tinggal bersama dengan orang lain dengan jangka waktu yang mungkin kita sendiri tidak bisa menentukan sampai kapan dan harus ikut serta dengan berbagai aturan, norma dan adat budaya yang ada pada keluarga tersebut pasti tak nyaman.

Mau apa-apa kalau dirumah sendiri pasti nyaman, lain halnya jika kita ikut tinggal bersama dengan orangtua pasangan. Semuanya menjadi sangat kikuk dan kaku, mau ngapa-ngapain rasanya seperti di awasi dan takut salah.

Wajar si kalau bilang gak nyaman, karena sebenarnya istri ataupun suami pada dasarnya adalah orang lain yang dipertemukan dalam sebuah kesepakatan atas dasar cinta. 

Mereka berasal dari keluarga yang berbeda dan juga dengan adat budaya yang berbeda juga. 

Pasti terdapat beberapa perbedaan dalam adat budaya di rumah tersebut. Jangankan menantu yang harus ikut tinggal bersama dengan mertua, bahkan mertua pun sebenarnya juga merasa krik-krik juga loh saat menantu harus tinggal bersama. 

Dan adanya perbedaan adat budaya di dalam rumah tersebut membuat potensi konflik antar menantu dan penghuni rumah semakin besar. 

Apalagi jika ternyata memang menantu, suami ataupun istri tersebut memang sebenarnya tidak mau untuk tetap tinggal bersama dengan mertua, potensi konflik semakin bertambah. 

Ujung-ujungnya bisa jadi adalah perceraian, dan perceraian ini terjadi hanya karena ketidaknyamanan. Praktis salah satu pasangan menjadi korban saat salah satu pasangan memaksakan harus tinggal bersama dengan keluarga. 

Masuk dalam point ini juga adalah bagaimana status tinggal setelah menikah nanti, apakah akan tinggal bersama atau memilih untuk LDM (long distance mariage) atau hubungan jarak jauh pasca menikah. 

Pokoknya status tinggal ini sangat penting dan rentan dalam hubungan. Baik itu apakah akan tinggal serumah dengan orangtua atau pun akan tinggal sendiri ataupun jika harus LDM juga harus benar-benar dibicarakan dengan matang.

Karena ketidaknyamanan salah satu pasangan tentang bagaimana dan di mana dia tinggal membuka celah-celah ketidakpuasan, sakit hati, dan ketidakbahagian salah satu pasangan sehingga berpotensi dalam konflik yang bisa berujung pada perceraian. 

Kedua, Siapa yang Urus Orangtua

Sumber gambar: KOMPAS.com dari Freepik/ake1150sb 
Sumber gambar: KOMPAS.com dari Freepik/ake1150sb 

Jangan sampai hanya karena sebuah pernikahan hubungan antara kita dengan orangtua justru memburuk, karena pasangan tidak setuju ketika kita merawat orangtua.

Ini juga hal penting berikutnya yang harus dibicarakan selain poin di atas. Ada kemungkinan jika mendapatkan amanah untuk menjaga orangtua di masa senja maka otomatis istri ataupun suami harus rela hati untuk tinggal serta bersama dengan orangtua pasangan sesuai dengan siapa yang diberikan amanah, baik itu istri atau suami. 

Biasanya para orangtua enggan jika harus berpindah tempat untuk tinggal bersama dengan kita. Ada ketidaknyamanan bagi orangtua ketika harus tinggal bukan di rumah sendiri dan harus tinggal bersama dengan anak dan menantu, kita lah yang pada akhirnya harus bersama tinggal menemani dan menjaga orangtua saat mereka sampai pada usia senja.

Kadang ini juga menjadi persoalan yang luar biasa, ada dilema di masing-masing pasangan yang diberikan amanah untuk menjaga orangtua ketika pasangannya tidak sepakat dengan amanah ini.

Poin ini bisa jadi menjadi poin dilematis bagi pasangan, di satu sisi mereka saling mencintai dan di sisi lain jika memang pernikahan terjadi maka akhirnya salah satu pasangan harus mengalah untuk tetap bersama tinggal menjaga, merawat dan menemani orangtua salah satu pasangan.

Dan ketika ternyata salah satu dari pasangan tidak sepakat maka orangtua lah yang dikorbankan saat pernikahan benar-benar tetap dilangsungkan. Orangtua lah yang pada akhirnya harus terpaksa mengalah atas dasar kebahagiaan anaknya, mereka ditinggalkan.

Maka poin ini menjadi poin penting yang mungkin justru harusnya menjadi poin prioritas yang harus disepakati bagi pasangan yang akan menuju jenjang pernikahan.

Sebab kesepakatan atau ketidaksepakatan pada poin ini berdampak pada kehidupan orangtua salah satu pasangan. Jangan sampai menggadaikan kebahagiaan masa senja orangtua dengan komitmen abal-abal yang disepakati saat awal sebelum menikah.

Jika memang tidak sepakat dalam hal ini lebih baik berpisah, jangan memaksakan kehendak dengan tetap menikah tetapi tidak saling sepakat. Ingat, kebahagiaan orangtua lah yang menjadi taruhan. 

Jadi lebih baik bicarakan poin ini baik-baik dan sepakati bersama dengan calon pasangan masing-masing sebelum benar-benar melangsungkan pernikahan.

Ketiga, Keuangan dan Aset Bersama

Sumber gambar: KOMPAS.com dari SHUTTERSTOCK/PANUSHOT 
Sumber gambar: KOMPAS.com dari SHUTTERSTOCK/PANUSHOT 

Setelah menikah siapa yang akan bekerja dan bagaimana tentang kepemilikan aset. Apakah suami saja yang akan bekerja dan istri harus resign dari pekerjaannya. Ataupun bagaimana ketika nanti dalam berumah tangga saat membeli kendaraan bermotor, tanah, rumah, akan dengan nama siapa di atas namakan kepemilikan aset tersebut ini perlu disepakati untuk menghindari konflik dalam biduk rumah tangga.

Berbeda dengan saat sebelum menikah kadang salah satu pasangan harus mengalah untuk tetap berada di rumah menjaga dan membesarkan anak-anak dan hal ini biasanya dialami oleh para istri.

Praktis rasanya para istri menjadi seorang yang harus rela berkorban meninggalkan karier sementara setelah mereka menikah.

Pendapatan pribadi pun akhirnya hilang seketika setelah menikah karena harus resign dari karir yang sudah dibangun semasa mereka melajang.

Ketika pendapatan hilang maka kesempatan untuk mengumpulkan pundi-pundi aset pun juga tidak akan mungkin terjadi. 

Sama halnya dengan para istri, laki-laki ketika telah menjadi suami sebagai kepala rumah tangga wajib untuk menafkahi istri dan anak-anak. 

Ketika biasanya mereka menghamburkan uang pasca gajian untuk pemenuhan hobi atau sekedar kongkow bersama teman, setelah menikah mereka harus berbagi dengan istri atau mungkin menyerahkan seluruhnya kepada istri sebagai pengelola keuangan dalam rumah tangga.

Masing-masing rumah tangga pastinya memiliki kebijakan masing-masing terkait dengan keuangan dan aset, tapi yang pasti point ini juga harus disepakati bersama. 

Kembali pada bagian awal, ketika memang pada akhirnya istri lah yang harus resign dari pekerjaan maka pendapatan mereka pun hilang dan kesempatan dalam mengumpulkan aset juga akan nihil.

Dan ini adalah posisi rawan bagi seorang istri ketika sesuatu yang buruk yang tidak diharapkan terjadi, misalnya perceraian, posisi istri terhadap aset menjadi lemah.

Atau tanpa perceraian pun misal tiba-tiba suami menjual aset yang dimiliki tanpa sepengetahuan istri, ini juga berpotensi menjadi masalah dalam biduk rumah tangga.

Ataupun sebaliknya, ketika istri lah yang ternyata harus bekerja dan sang suami yang pada akhirnya harus berkorban rela meninggalkan pekerjaannya agar tetap dekat bersama dengan istri dan anak segala kemungkinan yang ada di atas juga mungkin terjadi, posisi suami menjadi rawan.

Beruntung bagi pasangan yang tetap bisa mempertahankan pekerjaan masing-masing pasca menikah dengan anak-anak yang tetap terawat dan terjaga dengan baik. 

Adakalanya banyak beberapa pasangan tidak seberuntung itu, ada pasangan istri ataupun suami yang pada akhirnya harus mengalah untuk sementara tidak bekerja atau mungkin selamanya tidak bekerja hanya untuk menjaga dan merawat buah hati dan suami.

Adakalanya juga ada pasangan suami atau istri yang ternyata sama sekali tanpa memiliki aset apapun dalam sebuah pernikahan dikarenakan pola manajemen aset yang dimonopoli satu pihak tertentu.

Kedua hal di atas menjadi salah satu potensi dari berbagai potensi yang bisa menimbulkan konflik dan berujung perceraian.

Maka ketika memang benar-benar pasangan mantap menuju jenjang pernikahan tidak ada salahnya untuk membicarakan masalah siapa yang akan bekerja, siapa yang harus dirumah dan bagaimana jika memiliki aset nanti.

Hal ini dilakukan agar masing-masing pasangan bisa menyadari peran di dalam rumah tangga bahkan sebelum pernikahan resmi dilangsungkan, sehingga tidak ada lagi penyesalan di dalam diri masing-masing pasangan pasca menikah. 

Keempat, Rencana Keluarga

Sumber gambar: KOMPAS.com dari Freepik/sewcream
Sumber gambar: KOMPAS.com dari Freepik/sewcream

Memiliki anak adalah sebuah anugerah, kebanggaan dan buah kasih ketika pasangan telah menikah. Tapi dewasa ini dengan pola kehidupan yang berubah seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, konsep tentang anak setelah menikah juga berubah.

Beberapa saat yang lalu trending di berbagai media sosial topik tentang childfree, yaitu sebuah konsep pernikahan tanpa anak, baik melahirkan ataupun membesarkan anak.

Artinya dalam rumah tangga tersebut murni hanya berdua semata, istri dan suami, mereka bersepakat menjalin rumah tangga tanpa anak.

Banyak perdebatan, pro dan kontra tentang konsep ini, masalah ini trending setelah salah satu pasangan muda Indonesia yang sedang menetap di luar negeri mengungkapkan konsep ini pada media sosialnya.

Salah satunya adalah apa yang ada di atas, bagaimana mereka memilih untuk childfree setelah menikah ataupun ada juga yang berkebalikan justru pasangan tersebut sampai harus mengadopsi puluhan anak kecil untuk di asuh dalam rumah tangga mereka saking cintanya dengan anak-anak. 

Memang benar apa yang dulu sering diucapkan para orangtua kita dahulu, "banyak anak banyak rezeki", tapi dengan melihat pola kehidupan yang semakin berkembang jargon ini memiliki tantangan tersendiri bagi pasangan.

Jika dulu mungkin kehidupan rumah tangga bisa secara mandiri swasembada berbagai bahan pokok dalam memenuhi kebutuhan pangan, di masa yang sekarang sangat jarang terjadi.

Investasi pendidikan anak juga membutuhkan banyak biaya besar, sebab saat ini banyak yang sudah melek dengan pendidikan, pendidikan tidak lagi diartikan sebagai yang penting sekolah, tapi bagaimana orangtua mempersiapkan diri anak-anak agar mereka kelak siap dalam menghadapi tantangan global.

Maka tak heran lembaga-lembaga pendidikan swasta juga banyak yang bermunculan dengan berbagai jargon dan pola pembiasaan yang meningkatkan dan mengoptimalkan potensi anak dengan berbagai sarana yang ada di sekolah tersebut, dan pasti ini mahal.

Dari sisi perempuan, memiliki anak adalah proses yang teramat sangat berat. Bagaimana seorang istri harus mengandung selama sembilan bulan lamanya, dan bagaimana mereka harus begadangan sampai berlelah-lelah dalam merawat sang buah hati.

Dengan berbagai fakta di atas artinya punya anak itu tidak gampang, ada post-post biaya tambahan ketika anak telah lahir, semakin banyak anak berarti juga semakin banyak biaya yang dibutuhkan.

Begitu juga dengan kondisi perempuan, nyamankah ketika harus melahirkan dan merawat anak berulang kali hingga dua, tiga, empat bahkan mungkin sebelas.

Semuanya butuh dibicarakan, terutama kesiapan pasangan calon istri, berapa anak yang akan disepakati, atau malah justru maunya childfree kah? atau apakah setelah menikah langsung punya anak atau harus ditunda kah sampai pada masa yang telah siap.

Semuanya butuh disepakati, dan hal ini bukan hal sepele, banyak sedikitnya anak berpengaruh dalam segala hal. Dari biaya sampai kerentanan istri dalam puncak kelelahan yang bisa saja jika hal ini tidak disepakati bersama menjadi konflik berkepanjangan yang bisa berujung pada perceraian. 

Kelima, Kondisi Genetik dan Trauma Tubuh

Sumber gambar: www.halodoc.com
Sumber gambar: www.halodoc.com

Faktor genetik juga hal penting yang harus didiskusikan sebelum menikah, hal ini penting sebab ada beberapa kelainan genetik yang bisa berdampak pada keturunan yang dihasilkan.

Contohnya adalah hemofilia (gangguan perdarahan), thalassemia (kelainan produksi hemoglobin), anemia sel sabit (sel darah merah menjadi bentuk sabit), sampai pada gangguan kejiwaan karena keturunan ataupun berbagai gangguan lain pada tubuh.

Selain itu juga masing-masing pasangan harus berani jujur terhadap trauma tubuh yang pernah terjadi ataupun penyakit yang diderita.

Salah satu contoh adalah trauma tubuh yang terjadi pada testis (tempat produksi sperma) yang berpotensi mengakibatkan gagalnya testis untuk memproduksi sperma yang siap dalam pewarisan keturunan. Atau mungkin alergi dalam sistem pernapasan yang mengakibatkan asma berkepanjangan.

Semua hal pada poin ini adalah berbagai risiko yang memungkinkan diwariskan kepada anak-anak. Maka sebelum menikah lebih baik saling jujur agar anak-anak yang lahir dalam pernikahan tersebut anak-anak yang sepenuhnya sehat dan terhindar dari berbagai kelainan akibat mutasi genetik yang diwariskan dari ayah dan ibunya.

Salah satu faktor kebahagiaan dalam rumah tangga adalah dapat melihat anak tumbuh kembang dengan sehat sekaligus berprestasi dalam berbagai bidang. 

Maka point ini adalah sebuah perencanaan matang agar mendapatkan pernikahan yang bahagia dengan menghasilkan keturunan yang siap memiliki berbagai potensi unggul dan terhindar dari berbagai kelainan yang berasal dari pewarisan genetik orangtuanya.

Wasana Kata

Sumber gambar: KOMPAS.com dari Unsplash 
Sumber gambar: KOMPAS.com dari Unsplash 

Jangan coba-coba untuk berbohong dengan pasangan atas lima poin di atas, taruhannya adalah keutuhan dan kebahagiaan keluarga.

Jangan pernah merasa semua akan bisa dikondisikan pasca menikah, katakan ya atau tidak dengan berbagai pertimbangan matang. Jangan katakan sepakat jika hanya untuk membuat pasangan mau menikah dengan kita. 

Hubungan pernikahan adalah sesuatu yang kompleks tidak lagi seperti hubungan pranikah yang dengan seenak hati kapan saja dan di mana saja bebas kita akhiri tanpa meninggalkan dampak apapun.

Hubungan pernikahan berkaitan dengan norma agama, hukum dan masyarakat, setiap keputusan yang diambil akan bersinggungan dengan berbagai norma yang penulis sebutkan.

Salah satu contoh adalah ketika kita memilih mengakhiri hubungan, bagi pasangan yang masih dalam status pranikah tentu berbeda dengan pasangan yang sudah menikah. 

Perpisahan pada pasangan pranikah dengan mudahnya diakhiri tanpa berdampak dengan berbagai norma yang berlaku. Tetapi ketika keputusan perpisahan itu diambil pasca menikah, maka segala keputusan akan berdampak dengan berbagai norma yang berlaku di masyarakat.

Perpisahan harus diakhiri dengan keputusan dari pengadilan agama setempat setelah melalui berbagai persidangan. Dan pasangan tersebut dalam Islam tidak bisa dengan mudahnya rujuk kemudian bersama atau menikah lagi pasca perceraian tersebut, ada norma-norma yang harus dipatuhi.

Belum lagi ketika pasangan tersebut sudah dikarunia buah hati, maka permasalahan akan semakin pelik dan anak menjadi korban. 

Lebih baik memutuskan berpisah ketika memang tidak bisa saling bersepakat atas kelima poin tersebut saat sebelum menikah daripada harus menjalani pernikahan yang penuh dengan konflik hanya karena memaksakan diri untuk tetap menikah padahal belum saling komitmen. 

Menikah itu berarti kita tinggal bersama, hidup bersama dan saling berbagi bersama, apa artinya jika sebuah kehidupan setelah pernikahan justru hanya menjadi gerbang penderitaan ketika satu sama lain pada akhirnya saling memaksakan kehendaknya masing-masing karena gagalnya saling komitmen yang terjadi saat sebelum pernikahan.

Plus pertimbangkan dan diskusikan juga kelainan genetik dan trauma tubuh yang pernah terjadi, sebab berbagai kelainan dan trauma tubuh yang terjadi pada suami maupun istri bisa berdampak terhadap buah hati yang dilahirkan. 

Jadi hal ini merupakan poin utama juga yang perlu didiskusikan sebelum pasangan resmi melanjutkan pada jenjang pernikahan.

Yuk saling komitmen di awal sebelum menikah, jika tidak sepakat lebih baik berpisah sebelum menikah, dibandingkan harus bercerai ataupun pernikahan dengan lara hati yang mendalam karena berbagai konflik dan berbagai kelainan buah hati akibat memaksakan diri untuk menikah meski tidak sepakat dan meski suami maupun istri memiliki kelainan genetik dan kondisi bawaan yang pada akhirnya mempengaruhi kondisi fisik maupun psikis sang buah hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun