Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Untuk saat ini menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kasus Kekerasan Siswa di Sekolah, Siapa Salah?

7 September 2022   21:00 Diperbarui: 7 September 2022   21:38 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya pun tidak bisa membendung rasa penyesalan saya telah menitipkan anak saya di sebuah pondok pesantren yang nota bene nomor satu di Indonesia,"

Ujar Soimah dalam surat terbuka yang ia buat dan telah dikonfirmasi Kompas.com, Senin (5/9/2022). Soimah adalah orang tua dari AM santri yang awalnya dinyatakan meninggal karena kelelahan dalam kegiatan PERKAJUM (perkemahan Kamis Jum'at) pondok pesantren Gontor 1 Ponorogo Jawa Timur, ternyata sebab meninggalnya adalah karena kekerasan sesama santri, hal itu terungkap dari pernyataan dari ponpes Gontor 1 setelah di desak. 

Dan dari pihak ponpes pun segera merespon hal ini; 

"Menyikapi hal ini kami langsung bertindak cepat dengan menindak atau menghukum mereka yang terlibat dugaan penganiayaan tersebut," 

jelas Noor Syahid selaku juru bicara pondok modern Gontor. Pernyataan sebagai bentuk tanggung jawab dari ponpes dimana korban menuntut ilmu. Semua narasi dari pernyataan tersebut, hampir-hampir pasti akan dikeluarkan oleh tiap ponpes/ sekolah yang mengalami peristiwa kekerasan sampai menimbulkan korban. 

Nasi telah menjadi bubur, pernyataan tersebut seperti tidak berarti sama sekali, karena para korban telah berjatuhan dan nyawa korban yang melayang akibat kekerasan ini tidak akan mungkin kembali hanya dengan pernyataan tanggung jawab tersebut. 

Dan dalam hal ini lembaga pendidikan semacam ponpes Gontor dengan berbasis sekolah asrama adalah tempat terentan dan paling besar memiliki potensi dalam kasus kekerasan terhadap anak, sebab pada sekolah yang berbasis sekolah asrama ini, 24 jam anak bersama berkumpul dalam satu tempat yang sama, potensi konflik dan pengawasan yang kurang menjadikan banyaknya sekolah asrama yang mengalami kasus-kasus kekerasan.

Kasus dari ponpes Gontor ini, bak gunung es, hanya satu dari puluhan bahkan ratusan sekolah yang masih ada kekerasan di dalamnya, baik kekerasan dari sesama anak ataupun kekerasan yang di lakukan orang dewasa ke anak. Masih banyak di luar sana kasus-kasus demikian yang terjadi. 

 https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
 https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

 https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
 https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Melihat data di atas yang mulai diinput pada tanggal 1 Januari 2022 hingga saat ini (real time), sangat miris, berdasarkan sumber yang sama ada sebanyak 16.044 kasus kekerasan yang terjadi, bayangkan hanya dalam rentang kurun waktu Januari - September, ada sejumlah kasus sebanyak itu. 

"Berarti ada sebanyak 1.783 kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia pada tiap bulannya, atau 60 kasus kekerasan dalam sehari"

Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa kekerasan ini bahkan dari level pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi. Nahas dari beberapa kasus korban harus meregang nyawa, bagi korban yang selamat dan masih hidup mendapatkan trauma psikis dan fisik yang memberikan efek jangka panjang pada korbannya.

Banyak kekerasan terjadi adalah pada usia 13 - 17 tahun, atau usia anak-anak SMP dan juga SMA. Pada usia berikutnya jumlah kekerasan yang paling tinggi dialami pada anak usia 6 - 12 tahun, usia ini sama dengan usia anak-anak SD. 

Jadi berturut turut berdasarkan tabel di atas kecenderungan kekerasan justru semakin besar seiring usia anak atau seiring dengan naiknya ke jenjang pendidikan yang selanjutnya, yaitu SD, SMP, SMA. 


Siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan ini?

"Banyak lembaga yang bisa saja menjadi media pencegahan dari kekerasan ini, tapi seberapa efektif kah, jika hanya melalui program sosialisasi dan pendampingan?"

 

Lembaga-lembaga terkait yang berfungsi dalam melakukan pencegahan dan perlindungan kekerasan pada anak, sudah semestinya harus merubah pola pendampingan yang dilakukan, jika sebelumnya mungkin lebih sering pada sosialisasi dan pendampingan, maka saat ini harus fokus pada pencegahan, tidak dalam bentuk sosialisasi lagi tetapi dalam bentuk assesment pada tiap bulannya di setiap lembaga pendidikan negeri ataupun swasta dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai jenjang SMA. 

Di samping itu pihak sekolah juga harus senantiasa menggelorakan "Sekolah Tanpa Kekerasan" , lebih perhatian pada setiap gerak gerik siswanya, sehingga bisa mendeteksi lebih awal jika ada potensi kekerasan yang akan di lakukan. 

Terlebih pada sekolah yang berbasis sekolah asrama, semestinya para pengelola lembaga tersebut lebih aware terhadap berbagai potensi kekerasan yang akan terjadi pada anak didiknya.

Para orang tua juga ikut bertanggung jawab atas jumlah kasus kekerasan yang terjadi ini secara tidak langsung, bisa jadi anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan ini adalah anak-anak yang hampa tanpa kasih sayang ataupun anak-anak yang haus akan role model yang baik tatkala harus menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, sehingga mereka pada akhirnya banyak menyelesaikan dengan cara kekerasan pada tiap masalah yang dihadapi. 

Kadang karakter anak-anak pelanggar  di sekolah bisa jadi adalah luapan segala ketidak harmonisan yang terjadi di rumah.

Dan bagi para orang tua yang telah membuat suasana rumah yang nyaman bagi para anak anaknya, jangan lupa juga untuk membekali mereka dengan keberanian untuk melawan atau pun melaporkan setiap kekerasan yang terjadi pada dirinya maupun teman lain, banyak dari korban kekerasan yang akhirnya meninggal, sebenarnya adalah merupakan langganan korban kekerasan saat- saat sebelumnya sebelum pada akhirnya nyawa mereka harus melayang tetapi perlakuan yang mereka rasakan ini tidak pernah mereka laporkan pada siapapun, sehingga pada akhirnya kekerasan ini mencapai puncaknya tanpa seorang pun tahu, tahu-tahu mereka telah tiada. 

Semua pihak memiliki tanggung jawab masing-masing sesuai dengan porsinya dalam rangka melakukan pencegahan kekerasan ini, 

Satu yang paling penting dari langkah-langkah pencegahan dari berbagai pihak tersebut adalah;

Memulai pencegahan kekerasan dari lingkungan terkecil kita, yaitu keluarga, bagi para orang tua, jadilah role model yang baik bagi para anak-anak nya di rumah, tanamkan sejak dini tentang kasih sayang, saling menghargai dan musyawarah dalam penyelesaian masalah, jangan justru menjadi provokator anak berbuat kekerasan dalam rangka mencegah anaknya dari tindakan kekerasan juga, sehingga dengan langkah ini semoga anak kita dan anak-anak lain terhindar dari kekerasan!


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun