Mohon tunggu...
Junjung Widagdo
Junjung Widagdo Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 1 METRO, LAMPUNG

Nomine Penulis Opini Terbaik pada Kompasiana Awards 2024

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

"Critical Thinking Skill", Counter Awal "Coup d'etat"

31 Agustus 2022   21:41 Diperbarui: 1 September 2022   07:11 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Alexander Jawfox on Unsplash

Seharusnya Critical Thinking ini juga tidak hanya di ajarkan di kelas terbatas untuk peserta didik yang masih duduk di bangku sekolah ataupun perguruan tinggi, tapi dengungan untuk memiliki Critical Thinking juga harus pada seluruh aspek dan juga setiap lini bangsa ini, terutama pada instansi pemerintah. 

Kasus brigadir j ini sangat disayangkan, FS sebagai seorang penegak hukum disebut-sebut memiliki karir yang cemerlang, bahkan FS ini menyalip mantan bos nya dulu ketika keduanya masih di Dirreskrimum Polda Metro Jaya 2015 yang lalu.

Saat itu FS menjabat Wakil Dirreskrimum Polda Metro Jaya, sedangkan Krishna Murti menjabat Kepala Dirreskrimum Polda Metro Jaya.

Namun kini kondisinya terbalik, pangkat FS yaitu Irjen lebih tinggi satu tingkat dari Krishna Murti yang berpangkat Brigjen, bukti bahwa karir FS memang cemerlang, bahkan pada skenario di salah satu sumber berita menggadang-gadang FS ini sebagai calon pimpinan tertinggi selanjutnya di institusi dimana FS bernaung. 

Sikap patuh Bharada E kepada FS menjadi sebuah pertanyaan besar bagi publik, kenapa Bharada E tidak menolak permintaan atasannya tersebut, padahal sebagai seorang penegak hukum Bharada E pasti paham bahwa membunuh adalah tindak kejahatan yang sangat besar. 

Hal ini di jawab oleh pengacara Bharada E, Deolipa Yumara mewajarkan Bharada E tidak kuasa menolak perintah atasannya tersebut dikarenakan adanya keharusan patuh kepada atasan.

Budaya patuh terhadap atasan adalah hal wajib yang harus ada pada institusi ini, tetapi hendaknya kepatuhan ini harus di sertai dengan kemampuan Critical Thinking yang baik. 

Pada institusi kemiliteran di mana pun berada di seluruh dunia sudah mahfum memiliki garis komando yang sangat kuat, siapa yang pangkatnya berada di bawah maka harus wajib ikut serta apa perintah atasan, dan inilah yang menjadi potensi berbahaya bagi sebuah negara. Ada budaya bahwa bawahan tidak sanggup menolak apapun yang diperintahkan oleh atasan. 

Sejarah mencatat ada 11 negara yang pernah merasakan kudeta militer (Kompas, 6 November 2021), ini membuktikan bahwa potensi dan kekhawatiran ini bukan isapan jempol semata. 

Sebelum kasus Brigadir J ada kasus lain yaitu Kolonel Infanteri PR, dituntut pidana penjara seumur hidup dan dipecat atas kasus penabrakan sejoli Handi dan Salsabila di Nagreg, Jawa Tengah, 8 Desember 2021.

Kolonel Infanteri PR tidak sendiri dalam melakukan kasus tersebut tetapi menyeret dua anak buahnya, yaitu Kopda ADW dan Koptu AS.

Keduanya sebenarnya sudah berusaha memperingatkan atasannya tersebut tetapi keduanya tidak kuasa untuk menolak perintah atasannya tersebut yang secara kepangkatan memang lebih tinggi Kolonel Infanteri PR.

Dari dua contoh di atas wajib bagi pemerintah untuk memutus mata rantai komando yang demikian, patuh tanpa tapi, seharusnya secara manusiawi tersangka yang ikut serta karena melaksanakan perintah atasan tersebut mampu mencegah ataupun menolak perintah atasannya untuk menghilangkan nyawa orang lain, tapi fakta nya tidak demikian, para tersangka yang hanya melaksanakan perintah tersebut benar-benar melaksanakan perintah atasannya tersebut tanpa tapi. 

Kepatuhan dan loyalitas membutakan para tersangka, sehingga mereka yang seharusnya mampu mencegah dan menolak perintah atasannya tidak melakukan hal tersebut.

Kepatuhan dan loyalitas dalam kemiliteran memang sangat diperlukan, tetapi harus pada konteks yang benar, menjadi salah jika tetap patuh dan loyal pada yang salah. 

Kepatuhan dan loyalitas buta ini menjadi potensi yang sangat berbahaya bagi sebuah negara. Maka sepatutnya dengan adanya dua kasus di atas, pemerintah atau institusi itu sendiri harus mulai berbenah untuk mendengungkan kemampuan Critical Thinking yaitu kemampuan untuk berpikir atau menilai sebuah informasi sehingga mampu mengambil keputusan tepat sesuai berdasarkan norma-norma yang berlaku, memikirkan segala sebab akibat atas perbuatan yang akan dilakukan dengan kalimat sederhana adalah tidak menerima segala informasi dan perintah dengan mentah- mentah. 

Photo by Alexander Jawfox on Unsplash
Photo by Alexander Jawfox on Unsplash

Selama ini Critical Thinking adalah sebuah kemampuan dari 3 C lain yang harus dimiliki oleh siswa ataupun mahasiswa di era sekarang ini.

Ranah dengungan ini terbatas pada bidang pendidikan saja, pada sekolah dan perguruan tinggi. Maka sudah seharusnya pula dengan melihat berbagai kasus yang ada dengungan Critical Thinking ini juga wajib merambah institusi TNI dan POLRI. 

Jika tidak memungkinkan menggandeng pihak ketiga dalam penyelenggaraan "dengungan" Critical Thinking ini, maka TNI POLRI mungkin bisa secara mandiri melaksanakan kegiatan tersebut berupa penguatan-penguatan Critical Thinking tersebut yang dilaksanakan rutin pada tiap semesternya dan berulang. Kenapa harus berulang, karena manusia ini terbatas dalam memori dan manusia adalah makhluk yang adaptif. 

Mungkin juga kita sering rasakan, ketika mendengar narasi penguatan pendidikan karakter maka rasanya pada saat itu juga kita berjanji dalam hati untuk selamanya menjadi manusia yang berkarakter, kemudian semangat itu akan luntur seiring bertambahnya waktu dan bergantinya lingkungan kita. 

Critical Thinking ini adalah sebuah proses berpikir, dan proses ini tidak akan menghasilkan keputusan yang tepat jika landasan berpikirnya juga tidak tepat, maka gandengan dari Critical Thinking ini adalah penguatan keagamaan dan pengetahuan tentang hukum, keduanya ini akan menjadi pijakan pertimbangan benar salah pada proses berpikir kritis ini. 

Jangan lupa bahwa para prajurit adalah manusia, dan setiap manusia pasti bisa salah, kewajiban kita adalah saling menasehati.

Tulisan ini dibuat bukan untuk menyalahkan/menyudutkan pihak manapun tetapi sebuah keprihatinan dan bentuk antisipasi dari Kepatuhan dan Loyalitas Buta yang berdampak bagi diri sendiri atau bahkan lebih besar lagi, Kepatuhan dan Loyalitas Buta ini bisa menjadi akar-akar perampasan kekuasaan/ kepemerintahan. 

Tidak ada yang berharap demikian dan saya yakin dua institusi penjaga negeri ini adalah institusi yang kredibel dan tidak mungkin melakukan hal tersebut, tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba mewaspadai. 

Sebuah analogi yang bisa kita pakai bahwa awal dari jutaan kebakaran hutan berasal dari api kecil yang membakar sekam! Lebih baik waspada dini daripada menyesal nanti!

Jaya selalu Indonesia, semoga senantiasa dalam naungan keberkahan san Rabb Pencipta Alam Semesta,...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun