Mungkin, saya bukan orang pertama yang akan menunjukkan kesamaan dalam berpakaian (haute couture)-berpakaian langka yang tidak dimiliki orang kebanyakan, termasuk juga soal makanan (haute cuisine). Haute couturesebagai bentuk berpakaian yang ready to wear dengan harga yang lumayan mahal. Begitupun dengan haute cuisine, hidangan siap saji yang punya harga lumayan mahal, semuanya akan menghilang di malam hari.
Besar pula kemungkinan antarafoodies dan fashionista tidak menyadari, bahwa ada hubungan yang sangat mendasar antara masakan dan mode; tidak memiliki banyak perlindungan hak cipta pastinya. Menurut saya, ada beberapa bagian cerita yang menyebutkan kesamaan antara resep—yang tidak dilindungi hak cipta—dan desain mode yang juga tidak memenuhi syarat. Saya berpikir, bahwa industri kreatif seperti ini berhasil berinovasi dan tetap segar walaupun perancang busana dan koki tidak memiliki kendala atas perampasan karya mereka oleh orang lain.
Jadi, sebagai orang yang mencintai makanan dan mode, saya dengan sangat senang hati ketika diundang di acara Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) dalam penyelenggaraan ke-14 yang digelar di Summarecon Kelapa Gading dengan rangkaian acara Fashion Festival dan Food Festival mulai tanggal 7 April—7 Mei 2017. Ada banyak penemuan dan kemajuan baru untuk makanan dan mode. Banyak orang-orang penting yang turut serta meramaikan acara ini, baik perancang busana maupun pengusaha dan penggila kuliner (Blogger Kompasianer Penggila Kuliner).
Saya berbincang dan membahas persimpangan dan perkembangan makanan yang begitu pesat dengan beberapa narasumber pelaku industri kuliner. Pembicaraan saya dan praktisi kuliner kadang-kadang membungkam pikiran (misalnya, Masakan Khas Bali Warung Nyoman, Cwie Mie Malang, Risol Setan, Cakwe Galaxy, dan beberapa pelaku industri kuliner lainnya.
Benar adanya, fashiondan foodmemenuhi syarat sebagai kreasi utilitarian di mata saya sebagai penggila kuliner, termasuk pula sistem hukum. Hak cipta dicadangkan khusus untuk kreasi “artistik”. Oleh karena itu, terlepas dari kecerdikan dan keahlian yang luar biasa antara gaun malam atau soto udang yang sempurna, keduanya tidak mendapat perlindungan pasti, justru langsung jatuh ke ranah publik.
Beginilah JFFF ke-14 berdayung, kreativitas dan inovasi desainer tanah air saat menginterpretasikan budaya dan tradisi nusantara dengan sentuhan tren terkini melalui peragaan busana. JFFF memberi ruang bebas menyalurkan bakat dan penghargaan dalam bidang mode melalui Gading Model Search (GMS), GMS Kids, Next Young Promising Designer, dan Fashion Icon Awards.
Fashion Festival dimulai dengan Fashion Village pada 12-30 April 2017. Mengambil tempat sepanjang koridor lantai dasar Mal Kelapa Gading 3-5. Ada 93 booth koleksi busana ready to wear terbaru hasil cipta desainer Indonesia, ragam kain pelosok nusantara, hingga produk aksesoris UKM, Dekranasda, dan sekolah mode.
Sementara, rangkaian Fashion Show di Ballroom Harris Hotel & Convention Kelapa Gading dimulai pada 18—26 April 2017, rangkaian fashion show di The Forum, Mal Kelapa Gading 3 pada 20—30 April. Banyak karya yang dipaparkan dari perancang terkemuka negeri ini, desainer muda, UKM, Dekranasda, Yayasan Batik Indonesia, Cita Tenun Indonesia, merek lokal, hingga tenant Mal Kelapa Gading.
Fashion Festival dibuka dengan “Trendology” dari desainer muda berbakat Natalia Kiantoro, Purana, Opi Bactiar, dan Barli Asmarapada 18 April di Ballroom Harris Hotel & Convention Kelapa Gading. Mengusung konsep live DJ Music sebagai konsep pertama di JFFF.
Fashion Festival teristimewa hadir pada puncaknya berupa JFFF Award 26 April 2017 di Ballroom Harris Hotel & Conventions Kelapa Gading. JFFF Award kali ini mengolaborasikan desainer terkemuka Indonesia dengan warisan wastra karya perajin nusantara, seperti Didi Budiardjo dengan batik Pekalongan di 2015, Adrian Gan bertema songket Sumatera Barat 2016, serta terbaru dari House of Irsan mengangkat kain Songket Sambas, buatan perajin asli Sambas bertema “Asha”.
Danny Satriadi, Irsan, Ivan Gunawan, Lulu Lutfi Labibi, dan Musa Widyatmodjo tampil dalam show tunggal Fashion Festival JFFF 2017. Mini show dan parade show ikut memeriahkan panggung JFFF dengan lebih dari 50 desainer ternama Indonesia.
Kembali, saya lebih fokus pada masakan-kuliner di sini. Koki atau Chef bisa menikmati proses kreatif terbuka. Koki dapat mencicipi keseluruhan sejarah masakan saat mereka membuat hidangan sebelum disajikan ke orang banyak. Untuk selanjutnya, mereka menghidupkan hidangan yang baru. Bayangkan jika seorang koki atau chef harus melakukan izin hak cipta untuk penggunaan kombinasi bahan atau prosedur tertentu. Ribet pastinya.
Tentu saja fakta bahwa koki dapat mencicipi dari rekan-rekanya tanpa konsekuensi hukum berkontribusi pada perkembangan tren, yang menurut saya merupakan ciri khas industri kuliner di Indonesia. Di JFFF kali ini, saya telah melihat semua jenis tren makanan yang tampaknya bertebaran sempurna, mulai dari Cakwe, Batagor, Cendol, hingga Sate Ayam yang sekarang menjadi makanan pokok pada menu kelas atas.
Lebih dari sekadar fashion, makanan adalah ciptaan yang sangat singkat: Setelah dimakan, langsung habis. Pastinya, ada tastemakersyang sangat berpengaruh memiliki banyak kekuatan untuk menentukan apa yang lezat dan modern dan yang tidak: Romi Candra-Masakan Khas Bali Warung Nyoman, dapat memberikan pengaruh masakan di beberapa wilayah Indonesia salah satunya. Mencampur, mencocokkan, dan menciptakan selera untuk kombinasi rasa dan desain baru bukan hal mudah, tetapi diuji bertahun-tahun.
Food Festival Kampoeng Tempo Doeloe
Kuliner Nusantara menjadi salah satu tradisi kuliner yang paling kaya di dunia, penuh dengan cita rasa yang kuat. Kekayaan jenis masakannya merupakan cermin keberagaman budaya dan tradisiNusantara yang terdiri atas 6.000 pulau berpenghuni, dan menempati peran penting dalam budaya nasional Indonesia secara umum.
Hampir seluruh kuliner Nusantara kaya dengan bumbu yang berasal dari rempah-rempah seperti kemiri, cabai, temu kunci, lengkuas, jahe, kencur, kunyit, kelapa,
dan gula aren dengan diikuti penggunaan teknik-teknik memasak menurut bahan dan tradisi-adat yang terdapat pula pengaruh melalui perdagangan yang berasal dari, seperti India, Tiongkok, Timur Tengah, dan Eropa.
Keragaman kekayaan ini menjadi inspirasi JFFF untuk konsisten berperan serta mendukung perkembangan tradisi Kuliner Indonesia melalui Food Festival Kampoeng Tempo Doeloe dan Wine & Cheese Expo.
Di tahun 2017 ini, Kampoeng Tempo Doeloe atau KTD berlangsung dari 7 April hingga 7 Mei 2017 di La Piazza, dengan teman dekorasi “Kampung Layang-Layang”. Ada sekitar 101 peserta UKM dan pengusaha kuliner yang terdiri dari 38 Gerobak dan 63 booth.
Terhidang 200 ragam menu ciamik Nusantara, di antaranya yang sangat spesial tahun ini Mie Ayam Pelangi, Cwie Mie Malang, Cliff Noodle Bar, Martabak Yuk, Sate Ayam Madura Bintang 5, Gudeg Pejompongan, Soto Udang Medan Bu Ari, Bagoja (Bakso Goreng Gajah), Ketupat Gloria 65 Ny. Kartika, Soto Roxy H. Darwasa, Es Pisang Ijo “Paling Enak”, dan lain-lainnya.
Tujuan KTD ini ikut melestarikan menu kuliner Nusantara, utamanya “Aneka Mie Nusantara”, KTD 2017 juga melangsungkan “Kompetisi Mie Warisan” Nusantara untuk pemilik UKM di kawasan Jabodetabek. Penyisihan sudah dilakukan pada 17-19 Maret 2017 di Gading Walk, MKG untuk mendapatkan pemenang di tiga kategori, Mie Ayam, Mie Nusantara, dan Mie Non Hala.
Ketiga pemenang kategori akan memperoleh kesempatan berjualan di KTD sebagai babak final untuk memperebutkan hadiah total 60 juta rupiah, dan membuka peluang usaha di MKG. Pemenang utama ditentukan berdasarkan penjualan tertinggi yang akan diumumkan pada tanggal 7 Mei 2017.
Satu yang khas dan unik dari mie ini adalah, tatakan atau wadah mie yang terbuat dari kerupuk pangsit lebar yang juga bisa dimakan. Sajian serta wadah yang tidak dibuang sia-sia. Kita dapat pula menambahkan bakso kuah di dalamnya. Jika dilihat sekilas, Cwie Mie Malang mirip mie ayam, tetapi sebenarnya ada beberapa perbedaan keduanya. Cwie Mie Malang punya potongan ayam yang lebih halus dan kecil dibandingkan Mie Ayam. Kisaran harga 25 hingga 40 ribu rupiah, masih worth it untuk ukuran sebesar itu.
Manis alami tebu dicampur es batu menghilangkan dahaga saya seketika. Manisnya benar-benar tebu asli tanpa bahan pemanis tambahan. Saya merupakan penggemar air tebu. Di Sumatera tempat saya tinggal (Jambi) air tebu sudah tak asing untuk saya. Di KTD ini, saya menemukan cita rasa yang tak berubah. Saya menemukan kembali surga kuliner yang tiada duanya dengan beragam jenis makanan.
Cakwe Galaxy ini memberikan rasa baru yang gurih dan ringan di mulut. Dipadu bersama sambal kacang yang terlalu pedas dengan cara dicocol. Cakwe Galaxy cukup besar dan mengenyangkan. Makanan ini termasuk salah satu kesukaan saya. Tak heran, karena renyah dan gurih, banyak yang mencari. Satu porsi hanya 13 ribu rupiah. Jika menginginkan paket dibanderol 20 ribu rupiah. Termasuk murah.
Di sini, saya lama berbincang dengan teman Mas Rahab Ganendra dan Yogi Setiawan bersama peracik rasa Bli Romi Candra. Ada banyak istilah yang diberikan tentang pengertian nama makanan bali. Saya berkomunikasi kepada orang yang tepat memberikan pencerahan kuliner Pulau Dewata ini. Betutu, awalan “Be” dalam bahasa Bali berarti “Daging”. Nah, yang saya dapatkan seperti Be Siap Pelalah Mesitsit. Ini punya arti tersendiri.Be yang berarti daging, Siap itu ayam, dan Pelalah asal kata dari Lalah yaitu pedas. Sedangkan Mesitsit itu sama dengan disuwir-suwir.
Dalam bahasa Bali, Base Geneppunya arti sendiri (base =bumbu; genep = berasal dari kata megenep yang artinya lengkap atau komplit). Hal itu karena ada banyak ragam bumbu atau rempah yang dipakai dan sebagai bumbu dasar yagn paling banyak digunakan. Jadi, jangan heran kalau makanan Bali itu relatif mahal, karena otentifikasi dan cara buat yang perlu banyak bumbu. Seperti halnya makanan padang.
Pernah dengan masakan Lawar? Nah, Lawar ini merupakan paduan daging cincang atau kulit dengan beragam sayuran yang direbus. Lantas, sayuran dan daging itu tadi dicincang menjadi cincangan halus, lantas dicampur bumbu-bumbu lengkap itu tadi.
Betutu, siapa sih yang tak familiar dengan betutu? “Be”, seperti yang sudah saya sebutkan tadi yang artinya daging. Tetapi, untuk betutu ini lain dari yang lain. Daging yang dipakai hanya hewan yang memiliki kaki dua, seperti ayam dan bebek.Tutu, mempunyai arti “dipanggang”. Oleh karena itu, ada aroma asap. Dapat juga diartikan daging yang dipanggang dengan cara diasap.
Sambal Matah, dalam dunia kulinaria sudah tidak asing lagi. Matah, berdasarkan kosa kata Bali berarti “mentah”. Sedangkan Sambal Mbemerupakan paduan dari bawang merah dan bawang putih yang digoreng dan ada tumisan cincangan cabe rawit, terasi panggang, serta garam.
Nah, persepsi saya dengan makanan satu ini selama ini salah. Ya, sate lilit. Sate lilit menurut Romi, bukanlah seperti sate gempol atau sate kepal. Tetapi sangat berbeda. Perbedaannya, sate lilit tidak menggunakan tepung dan telur sama sekali. Hal yang perlu kita ketahui pula, bahwa dinamakan lilit karena proses perekatan daging di “KATIK” tusuk sate untuk sate lilit, begitu orang Bali menyebutnya. Di “KATIK” ini dengan cara dipijit-pijit yang dibuat ulir dari atas ke bawah, sehingga membentuk semacam spiral, jadi mirip sekrup. Luar biasa memang kuliner Indonesia di Kampoeng Tempo Doeloe.
Bagaimana dengan Be Siap Menyatnyat? Nah, NYATNYAT ini memiliki arti, dimasak bersama bumbu-bumbu dan berkuah hingga kuah yang ada berkurang banyak tetapi tidak kering, asat. Masih ada kuah yang tertinggal di dalam masakan. Nah, orang Jawa biasa menyebutnya dengan nama NYEMEK.
Jakarta Food Festival di Kampoeng Tempo Doeloe ini semakin semarak dengan nuansa laying-layang. Kita ketahui bersama, bahwa laying-layang merupakan permainan tradisional anak-anak yang dimainkan di tanah lapang. Selain sebagai permainan, laying-layang dipandang sebagai karya seni dan salah satu budaya Indonesia yang perlu dilestarikan.
Di ajang ini pula menjadi tempat unjuk gigi para penyaji wine berkompetisi atau dikenal dengan istilah Sommelier, di antaranya Jakarta Best Sommelier Competition, Indonesia Best Sommelier Competition, dan Best South East Asia Sommelier Competition. Ada pengalaman yang dihadirkan dalam Chef Winner Dinner bersama Chef Andrea Peresthu, Chef Eduardo Enrique Montes Traverso, Chef Gilles Marx, Albin & Attila Timar, serta Chef Stefu Santoso by Yukmakan.
Jakarta Wine & Cheese Run pun digelar untuk ke-5 kalinya di tahun ini. Hal ini menjadi salah satu agenda yang paling dinanti pecinta olahraga lari di helatan JFFF. Dilangsungkan pada 30 April, Jakarta Wine & Cheese Run dikemas unik dengan kostum unik bertema “Thematic Costume Around The World”.
Di helatan Jakarta Wine & Cheese Run ini, para anggota keluarga dapat ikut serta dengan tiga pilihan jarak tempuh lari, 10, 5, dan 1,2 km KidsDash untuk peserta anak-anak. Banyak hadiah menarik yang ditawarkan seperti uang tunai jutaan rupiah dan merchandise. Selai itu pemenang mendapat paket wine dengan berat yang sama dengan berat badan orang dewasa, serta paket buah dengan berat yang sama dengan berat badan pemenang KidsDash.
Kerjasama dengan Hungary Tourism Agency, Juara Best Timing pria dan wanita, Juara Best Costume untuk pria dan wanita, dan dua pemenang Lucky Draw di Jakarta Wine & Cheese Run mendapat hadiah utama untuk ikut Budapest Marathon di Oktober 2017.
JFFF menjadi ajang helatan akbar tahunan yang sudah dihelat sejak 2004 oleh Summarecon dan Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI Jakarta. Didukung juga oleh Kementerian Pariwisata dan Bekraf (Badan Ekonmi Kreatif) RI.
Bagaimana untuk tidak bisa cinta dengan Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H