Mohon tunggu...
Junita Nita
Junita Nita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hoby saya make up/make up in orang kepribadian saya ramah suka bersosialisasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Teori Psikologis tentang Kepribadian

13 November 2024   22:47 Diperbarui: 14 November 2024   08:39 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Erikson menyatakan bahwa pertumbuhan manusia berjalan sesuai prinsip epigenetik yang menyatakan bahwa kepribadian manusia berjalan menurut delapan tahap. Berkembangnya manusia dari satu tahap ke tahap berikutnya ditentukan oleh keberhasilannya atau ketidakberhasilannya dalam menempuh tahap sebelumnya. Pembagian tahap-tahap ini berdasarkan periode tertentu dalam kehidupan manusia: bayi (0-1 tahun), balita (2-3 tahun), pra-sekolah (3-6 tahun), usia sekolah (7-12 tahun), remaja (12-18 tahun), pemuda (usia 20-an), separuh baya (akhir 20-an hingga 50-an), dan manula (usia 50-an dan seterusnya).
Masing-masing tahapan juga memiliki tugas perkembangan sendiri yang bersifat psikososial.Misalnya saja, pada usia bayi tujuan psikososialnya adalah menumbuhkan harapan dan kepercayaan.Kemudian bila tujuan ini tak tercapai, maka bayi itu akan lebih didominasi sifat penakut.

Tahap 1: Kepercayaan vs. Ketidakpercayaan (0-1 tahun)

Pada tahap ini, bayi belajar untuk mempercayai orang tua dan dunia sekitarnya jika kebutuhan dasar mereka dipenuhi. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, bayi mungkin mengalami ketidakpercayaan.

Kebiasaan itu berlangsung terus dalam kehidupan bayi dan merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu perasaan identitas psikososial. Melalui pengalaman dengan orang dewasa, bayi belajar menggantungkan diri dan percaya pada mereka, tetapi mungkin yang lebih penting, ia mempercayai dirinya sendiri. Kepastias semacam itu harus mengungguli lawan negatif dari kepercayaan dasar yakni, kecurigaan dasar.
Pengharapan merupakan kebajikan paling awal dan paling esensial yang melekat dalam hidup. Fondasi pengharapan pertama terletak pada hubungan dengan orang tua yang memberikan pengalaman-pengalaman seperti ketenangan, makanan dan kehangatan.
Pada saat yang sama, ia mengembangkan kemampuan untuk membuang pengharapan yang dikecewakan dan menemukan pengharapan dalam tujuan dan kemungkinan pada masa mendatang.

Tahap pertama kehidupan ini merupakan tahap ritualisasi numinous yaitu, perasaan bayi akan kehadiran ibu, dalam hal ini pandangannya, pegangannya, sentuhannya, teteknya atau “pengakuan atas dirinya”. Bentuk ritual numinous yang menyimpang dan terungkap dalam kehidupan dewasa berupa pemujaan terhadap pahlawan secara berlebih-lebihan atau idolisme.

Tahap 2: Otonomi vs. Rasa Malu dan Keraguan (1-3 tahun)
Anak mulai mengembangkan rasa otonomi atau kemandirian, seperti berjalan atau berbicara. Jika diberikan dukungan yang cukup, anak merasa percaya diri; namun, jika terlalu dikontrol, mereka dapat merasa malu atau ragu terhadap kemampuan diri.

Rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap. Sebaliknya rasa kehilangan kontrol diri dapat menyebabkan perasaan malu dan ragu-ragu yang bersifat menetap.Nilai kemauan muncul pada tahap ke dua kehidupan ini. Anak belajar dari dirinya sendiri dan dari orang. Kemauan menyebabkan anak secara bertahap mampu menerima peraturan hukum dan kewajiban. Kemauan adalah kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan bebas, memutuskan, melatih mengendalikan diri dan bertindak yang terus meningkat.
Ritualisasi menyebut ritualisasi tahap ini sifat bijaksana, karena anak mulai menilai dirinya sendiri dan orang lain serta membedakan antara benar dan salah.
Penyimpangan ritualisme pada tahap ini adalah legalisme, yakni pengagungan huruf ketentuan hukum daripada semangatnya, mengutamakan hukuman daripada belas kasih.

Tahap 3: Inisiatif vs. Rasa Bersalah (3-6 tahun)
Anak mulai mengeksplorasi dunia sekitar, mencoba aktivitas baru, dan berinisiatif. Jika orang tua atau orang dewasa lain memberikan dukungan, anak akan merasa percaya diri. Namun, jika sering dimarahi atau dihukum, mereka dapat mengembangkan rasa bersalah.

suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan.
Tujuan adalah nilai yang menonjol pada tahap perkembangan ini. Kegiatan utama anak dalam tahap ini adalah bermain, dan tujuan tumbuh dari kegiatan bermainnya, eksplorasi, usaha, kegagalannya serta eksperimen dengan alat permainannya.
Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik. Anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian orang dewasa dan berpura-pura menjadi apa saja. Keterasingan batin yang dapat timbul pada masa kanak-kanak ini ialah suatu perasaam bersalah.
Padanan negatif dari ritualisasi dramatik adalah ritualisme impersonasi sepanjang hidup, yaitu melakukan tindakan yang tidak mencerminkan kepribadiannya yang sejati.

Tahap 4: Industri vs. Inferioritas (6-12 tahun)
Anak sekolah mulai mengembangkan keterampilan dan kemampuan dalam berbagai bidang, baik akademis maupun sosial. Jika mereka merasa berhasil dan dihargai, mereka akan merasa kompeten; sebaliknya, jika gagal, mereka bisa merasa inferior.

Nilai kompetensi muncul pada tahap kerajinan ini. Rasa kompetensi dicapai dengan menerjunkan diri pada pekerjaan dan penyelesaian tugas, yang pada akhirnya mengembangkan kecakapan kerja.
Usia sekolah merupakan tahap ritualisasi formal, masa anak belajar bekerja secara metodis. Penyimpangan ritualismenya dimasa depan adalah formalisme, berwujud pengulangan, formalitas yang tidak berarti.

Tahap 5: Identitas vs. Kebingungan Peran (12-18 tahun)
Remaja mulai mencari identitas diri mereka, mencoba berbagai peran, dan mengeksplorasi nilai-nilai yang akan membentuk siapa mereka. Jika gagal menemukan identitas yang jelas, mereka mungkin mengalami kebingungan peran.

Selama masa [adolesen], individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti di tengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau bersifat memperbaharui. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia pada masa yang akan datang.
Daya penggerak batin dalam rangka pembentukan identitas ego dalam aspek-aspeknya yang sadar maupun tak sadar. Pada tahap ini ego memiliki kapasitas untuk memilih dan mengintegrasikan bakat-bakat dan ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan orang yang sependapat, dalam lingkungan sosial, serta menjaga pertahanannya terhadap berbagai ancaman dan kecemasan. Semua ciri yang dipilih oleh ego ini dihimpun dan diintegrasikan oleh ego serta membentuk identitas psikososial seseorang.

Tahap 6: Kedekatan vs. Isolasi (18-40 tahun)
Dewasa muda berfokus pada pengembangan hubungan intim dan persahabatan. Jika berhasil membentuk hubungan yang kuat, mereka merasa puas dan terhubung; namun, jika gagal, mereka mungkin merasa terisolasi dan kesepian.

Tahap dimana orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan identitasnya dengan orang lain. Agar memiliki arti sosial yang bersifat menetap maka genitalitas membutuhkan seseorang untuk dicintai dan diajak menngadakan hubungan seksual, dan dengan siapa seseorang dapat berbagi rasa dalam suatu hubungan kepercayaan. Bahaya pada keintiman ini adalah isolasi.
Ritualisasi pada tahap ini adalah afiliatif yakni berbagi bersama dalam pekerjaan, persahabatan dan cinta. Penyimpangan ritualismenya adalah elitisme.

Tahap 7: Produktivitas vs. Stagnasi (40-65 tahun)
Pada tahap ini, individu berusaha berkontribusi pada masyarakat, baik melalui pekerjaan, keluarga, atau kegiatan lainnya. Jika merasa produktif dan berhasil mencapai tujuan, mereka merasa puas; jika tidak, mereka bisa merasakan stagnasi atau kebosanan.

Apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami stagnasi. Nilai pemeliharaan berkembang dalam tahap ini.
Ritualisasi dari tahap ini ialah sesuatu yang generasional, yakni ritualisasi peranan orang tua, produksi, pengajaran dengan mana orang dewasa bertindak sebagai penerus nilai-nilai ideal kepada kaum muda. Penyimpangan dari ritualisasi ini adalah autoritisme.

Tahap 8: Integritas vs. Keputusasaan (65 tahun ke atas)
Individu yang lebih tua merefleksikan hidup mereka. Jika mereka merasa hidup mereka bermakna dan berhasil, mereka akan merasa integritas. Sebaliknya, jika mereka merasa banyak penyesalan, mereka mungkin merasakan keputusaaan.Lawan integritas adalah keputusasaan tertentu menghadapi perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hiidup di hadapan kematian.
Kebijaksanaan adalah nilai yang berkembang dari hasil pertemuan antara integritas dan keputusasaan dalam tahap kehidupan yang terakhir ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun