Wiji Thukul (12 November 1984) dalam syairnya, Sehari saja kawan/ kalau kita mogok kerja/ dan bernyanyi dalam satu barisan/ sehari saja kawan/ Kapitalis pasti kelabakan/// Setuju jika hari Buruh diliburkan. Setuju jika para Buruh dan Mahasiswa menyuarakan tuntutannya dengan keras, di jalanan, di tugu, di persimpangan jalan, di lampu-lampu merah ibu kota. Supaya mereka yang memiliki telinga pun mendengar serta mengambil jalan solusi mensejahterakan kehidupan buruh.
Sehari setelah May Day 1 Mei 2019, kita juga menyambut Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Menjadi renungan, sudahlah, sudah kita bergabung denganburuh menyampaikan suara kita. Sudah sebaik apa sistem pendidikan nasional kita? Patut, guru juga buruh.Â
Yang tidak setuju guru adalah buruh, berarti ia adalah PNS buru atau ia merasa guru lebih mulia dari pada buruh. BUKAN! Justru itu jika guru dimasukkan ke dalam defenisi buruh lewat Undang-Undang ketenagakerjaan, mungkin bisa bersama-sama pada hari buruh turun ke jalanan menuntut hak-haknya Guru. Terkendala, pada siapa guru honorer mengadu.Â
Mereka adalah pekerja yang menerima gaji atau imbalan juga bukan? Adapun guru tidak memiliki ketetapan laiknya UMR setiap provinsi. Masih banyak guru yang hak-haknya tidak terpenuhi, terutama mereka yang menjadi guru di sekolah-sekolah swasta. Digaji seenaknya saja. Apakah guru mempunyai sarekat laiknya sarekat kaum buruh? Â Hari buruh menjadi perenungan betapa guru pun merasakan hal yang sama. Menderita dan dituntut melakukan yang terbaik untuk bangsa.Â
Guru pun ingin dihargai hak-haknya dan hidup sejahtera sebagai orang mulia dan berjasa dalam mendidik anak-anak calon generasi pengganti penerus cita-cita bangsa. Jawaban mengenai pertanyaan apakah guru adalah buruh, perlu perenungan untuk menjawabnya. Buruh, guru, anak-anak buruh, sekolah dan kemiskinan adalah kata kunci dari tulisan ini.
May Day dan HARDIKNAS adalah hari sakral yang penuh dengan penderitaan dan tuntutan. Rentetan hari besar nasional di nNegeri kita. Kedua hari ini mengandung banyak permasalahan yang seharusnya dicarikan solusinya oleh pemerintah dan semua yang berperan di dalamnya. Maka dari itu May Day adalah momentum memperjuangkan hak, bukan sebagai hari untuk liburan.Â
Anak-anak buruh juga berhak untuk mengenyam pendidikan. Tuntutan bBuruh prihal revisi PP No. 78 Tahun 2015 peraturan pengupahan laik mandapat perhatian pemerintah. Agar Buruh dilibatkan dalam menentukan kenaikan upah minimum.Â
Jika Buruh sejahtera, sekolah yang hari demi hari bertambah mahal pun dapat diduduki oleh anak-anak pekerja yang disebut sebagai Buruh. Perlindungan terhadap buruh tidak cukup dengan BPJS. Isu permasalahan Buruh harus terus diperjuangkan dan diselesaikan tentunya.
Akhirnya, buruh makmur, nNegara pun maju, guru pun tersenyum. Semoga refleksi hari buruh bukan sebagai  hari untuk berlibur ini menjadi pertanyaan dan pencariaan solusi, apakah nNegara sudah bijak dalam memenuhi hak-hak buruh, atau nNegara hanya cukup bijak untuk para pemegang modal saja?
Momentum hari buruh yang jatuh pada hari ini bukan bias kepentingan politik sebuah partai yang akan melanggeng ke kursi kekuasaan. Sarekat buruh berkumpul dan bersuara, murni untuk kepentingan kawan-kawan buruh, murni untuk perjuangan kaum buruh untuk mendapatkan keadilan, murni menuntut hak-hak, dan tidak untuk meluaskan karpet merah bagi calon tertentu menuju istana mewah. Barangkali, buruh juga perlu bersuara, mengingat besok adalah Hari Pendidikan Nasional.Â
Anak-anak buruh juga harus pergi ke sekolah. Sekolah adalah tempat senggang anak-anaknya saat para bbekerja mati-matian untuk perusahaan. Buruh dan guru, semoga nasibmu dijawab oleh Negara Republik Indonesia.