FILM sudah diputar dimana-mana jauh hari sebelum esok hari H. Propaganda telah dilancarkan bertujuan membuat sadar yang belum paham, siapa yang baik, eh ternyata malah sama saja.
Kajian telah dikumandangkan ke telinga-telinga semua golongan, baik muda maupun tua. Besok berjuta-juta jari kelingking umat manusia Indonesia memenuhi big data semua media sosial apa saja. Gak percaya? Lihat saja!
Lalu, mendekati pukul 18.00 WIB lewat media yang menyatakan berbagai nama survei hitung cepat atau Quick qount menyatakan bahwa sudah ada pemenangnya, dilengkapi pula dengan data statistik survei pembuktian mereka. Ah, ternyata dia pemenangnya. Kalimat kecewa pada pemilih yang fanatik.
Paragraf pertama adalah puisi bebas yang terlintas dalam pikiran, lalu segera mengambil laptop untuk menuliskan dan memadunya, judulnya pun sederhana yaitu Menjelang Pemilu Paku 2019. Malam ini, hari Selasa pada Kalender masehi 16 April 2019 adalah sehari sebelum pemilihan serentak digelar di Tanah Air Indonesia.
Waktu itu Rabu tanggal 10 April 2019, aku bersama sahabat karib mengikuti forum ilmiah nonton bareng film dokumenter Watchdoc Documentary berjudul Sexy Killer atau pembunuh yang seksi.
Berlokasi di Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiah Yogyakarta, dengan pemantik Dosen Fisipol UMY, Prof. Bambang Cipto dan Eko Prasetyo pendiri Social Movement Institute. Kami datang dan mengambil kursi sab kedua dari depan di sayap kiri.
Banyak sekali orang-orang muda berdatangan, ada yang gondrong dan banyak juga kaum Perempuan. Kursi penuh, melebihi kapasitas laiknya bioskop. MC pun mengumumkan dari depan agar yang berdiri dapat duduk di lantai tak jauh dari layar kanvas.
Film ini berisikan tentang hiruk pikuk cerita pertambangan di Indonesia, khususnya tambang batubara yang terbentang luas di Kalimantan.
Tambang batubara,dimulai dan sebelum pengakhirannya selalu melanggar hak-hak manusia lemah. Ada banyak fakta-fakta dalam film ini. penyakit, kemiskinan, kematian pun akibat dari kegiatan tambang ini.
Namun, pengusaha yang berlindung secara kuat dan menempel dalam kekuasaan pemerintah, mereka santai melenggokkan lekukan badannya.
Terus menambang dan tak memikirkan alam bahkan kehidupan sekitarnya. Batubara sebagai bahan bakar untuk PLTU pun dijadikan alasan untuk terus menggali isi perut bumi Pulau Borneo.
Kita memang butuh energi untuk kehidupan bernegara. Dalam intro pembuka film terlihat pasangan muda yang sedang bergairah jatuh cinta, melakukan bulan madunya di dalam hotel berbintang nan mewah. Ada banyak peralatan listrik di sana juga dijelaskan berapa daya yang diperlukan.
Tak memunafikkan diri. Kita butuh listrik untuk hidup di era modernisasi secara terus menerus. Pertumbuhan manusia baru pun memaksa kita berpikir mencarikan solusi akan akar permasalahan.
Dalam film juga disebutkan bahwa ada sebuah rumah di Bali yang dihuni oleh keluarga yang menggunakan energi matahari sebagai pembangkit listrik.
Mulai dari perlengkapan rumah tangga, bahkan alat transportasi. Mungkin pemerintah harus setuju dengan saran solusi ini, yaitu mensubsidi harga PLTS untuk setiap kepala rumah tangga di Indonesia.
Tapi kan tidak berani. Mengapa? Ya karena mereka punya usaha di bidang energi, yaitu Batubara dan PLTU. Monopoli seperti itu adalah realita kita.
Dulu ketika kecil, penulis pun tinggal dalam kerajaan BUMN. Ayah seorang karyawan pelasana kala itu. Tinggal pada jarak radius 1,5 Km dari bangunan operasional pabrik Kelapa sawit. PKS VI Seibaruhur namanya.
Adapun power dari pabrik ini ialah boiler atau PLTU dengan kapasitas 24 jam kerja dapat mengerjakan 30 ton tandan buah segar Kelapa Sawit. Asap membumbung tinggi dari cerobong asap.
Ayah pernah cerita, jika boiler yang baru dibangun itu warna asapnya putih. Artinya itu buatan Jepang yang memiliki teknologi penyaringan asap hingga menjadi putih.
Padahal seharusnya berwarna hitam seperti boiler yang lainnya dengan berbahan bakar yang sama yaitu serabut sisa olahan janjangan tandan buah segar, biasanya disebut serat fiber. Namun, lanjut ayah, tetap saja berbahaya bagi kehidupan lingkungan sekitarnya dan kehidupan di mana asap tersebut kembali jatuh dan menempel.
Kembali pada film ini, bukan saja PLTU yang berbahaya. Proses penambangan batubara dari perut bumi membuat petani, nelayan, Ibu, kehilangan haknya. Fakta-fakta di film ini seharunya sudah lama ada. Namun, tak banyak yang berani untuk melawannya.
Pemilihan calon presiden dan calon presiden 17 April 2019 adalah puncak kemarahan yang dituangkan dalam film ini. Sebuah propaganda laiknya Hitler ketika jaman Nazi atau Amerika ketika berperang melawan Vietnam yang mengubah pola pikir calon pemilih, mengetahui siapa dibalik calon yang membiayai kampanye dan tim.
Perusahan-perusahan besar bersatu padu. Sebagian berkaca mata membela tim a dan sebagian lainnya tim b. Padahal kalau dirunut orang-orangnya ya sama saja. Mungkin sebuah strategi memang pantas kita sebut oligarki, jika a kalah, b menang, perusahaan masih tetap bisa jalan dan aman. Inilah yang dinamakan ijon politik sejak dulu. Kepentingan pribadi menjadi utama dibandingkan kepentingan nasional.
Siapa negarawan nasionalis yang laik untuk menjadi nahkoda negeri ini?
Penulis tidak menerangkan perusahan dan nama pemilik seperti yang terdapat dalam grafik bergerak film dokumenter. Jika ingin mengetahui bahwa kedua tim sama saja, silakan langsung menonton film tersebut di youtube.com https://www.youtube.com/watch?v=9f4yD44blpw Â
Hingga hari ini sudah mencapai delapan koma enam juta per 16 April 2019 lebih penonton semenjak diupload oleh Watchdoc Documentary. Dalam acara menonton bersama karya dokumenter tersebut, panitia acara sempat sejenak menghentikan film. Berniat untuk mengisi dengan memantik presentasi seorang Dosen yang disebutkan di awal.
Namun, beberapa mahasiswa pun keluar sambil menyuarakan, "Keluar atau selesaikan filmnya!" ruangan tampak memanas dan untuk meredakan suasan, panitia pun melanjutkan kembali film tersebut hingga selesai. Menariknya mereka yang walk out tadi masuk kembali dan kursi telah diisi oleh beberapa mahasiswa yang tadinya duduk beralaskan lantai.
Setelah film berlangsung, dalam pikiran berlangsung tanda tanya? Pertama, siapakah yang membiayai pembuatan film dokumenter tersebut? Apakah tujuan dari film ini untuk mempropagandakan agar pemilih menjadi waras dan hati-hati dalam memilih nahkoda negrinya? Atau agar semua paham bahwa lingkungan dan politik berhubungan dekat?
Tanpa banyak asumsi, ternyata waktu menunjukkan sudah pukul 17.00 WIB. Kami pun memutuskan untuk pulang tanpa mengikuti kajian mendalam lanjutan dari pemutaran film tersebut. Mungkin mereka mengira kami bagian dari mahasiswa yang walk out dari ruangan. Oh tidak, kami pulang karena masih ada agenda lain yang harus terlaksana. Tidur? Mungkin. Tak perlu kau tahu juga kan?
Terpantik dalam renungan malam setelah sore hari menonton suramnya perijianan pertambangan pun menghantui secara pribadi. Lalu tulisan ini terhenti dan dilanjutkan hingga selesai pada hari ini.
Film ini pun menjadi bahan mengolok-olok kedua pasangan. Sebagai penikmat atau penonton, pengahrgaan terhadap karya ini tetap harus dijunjung. Proses yang begitu lama dalam pembuatannya, bukan tidak mungkin mengalami dinamika perubahan di lapangan seperti saat ini. pernyataan pro kontra pun menyala-nyala.
Menjadi bahan diskusi liar media sosial. Ah entah siapa yang paling benar. Setan pun tak tahu siapa yang bertuhan hari ini. semua buta, semua tuli, semua tak merasa, kalau Indonesia Bhineka Tunggal Ika dan lagu yang sama Indonesia Raya. Kita telah lupa karena tahta untuk mereka.
Sayang, kita semua dialihkan untuk melihat perdebatan sengit antar kedua kubu. Dikenal kubu Cebong atau kubu kampret ditambah sebuah kubu independensi orang-orang militan golongan putih (golput).
Ada satu yang kita kesampingkan dalam pristiwa menjelang pemilu esok hari adalah siapa yang akan kita (saya) pilih untuk menjadi wakil saya pada lima tahun nanti. Mereka masuk ke dalam empat kertas surat suara, diantaranya calon: DPR RI, DPD RI, DPRD PROVISI, DPRD KABUPATEN/KOTA.
Hari-hari berlanjut, perdebatan tentang rekam jejak mereka pun hilang, dalam tak tergali lagi. Kampanye mereka pun menempel ibarat simbiosis dalam disiplin ilmu Biologi. Tak tahu apakah efek ekor jas akan turut mengantarkan mereka pada kemenangannya? Kita lihat saja.
Jika dipikir-pikir secara matang, para legislatif ini dalam lima tahun mendatang juga akan berdampak pada keberlangsungan demokrasi kita sebagai rakyat Indonesia.
Namun, karena pemilihan hemat dengan pelaksanaan serentak. Mereka bebas syarat dan terjauhkan dari lidah-lidah api media sosial untuk dikritisi. Apakah hari ini legislatif kita sudah menjawab persoalan rumit? Mengapa kita tak pernah mendiskusikan mereka? Mengakji program kerja mereka? Mereka dari partai, bukan?
Karena calon presiden dan wakil presiden hanya ada dua pilihan. Kita pun teralihkan untuk mengkoreksi calon legislatif di masa yang akan datang.
Besok adalah waktu bagi yang pro demokrasi liberal untuk memilih. Dan besok adalah waktu bagi golongan putih murni untuk tidak memilih atau menyambangi TPS. Dan juga besok adalah waktu terbaik bagi golongan putih pembawa perubahan untuk datang ke TPS mencoblos sesuka hati, demi membawa perubahan, menghindari terjadinya kelicikan surat suara. Gunakan hak pilih. Golput di bilik suara adalah hak demokrasi.
Kembali aku mengingat cita-cita, ah aku apakah mungkin akan menjadi orang kaya pengusaha serta penguasa yang elegan disegani oleh setiap manusia? Kemapanan membuat kita terlalu jatuh cinta yang berujung pada kesakitan jiwa dan kehilangan perasaan menghargai roh kehidupan manusia. Tak mungkin, kan orang miskin dilarang sekolah.
Yogyakarta, 16 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H