Jumat(5/10/2018) aku baru saja selesai Ibadah Jumat bersama sahabat-sahabatku. Langsung menuju Perpustakan Kampusku untuk bertemu kabar dari berbagai pelosok Indonesia yang dihimpun dalam satu media yang dicetak, biasanya koran-koran itu bergelantungan di satu set susunan horizontal kayu berwarna coklat.Â
Ahhh, sayang sekali Perpustakaan tempatku bergumul tutup terlalu dini, tak seperti biasanya pukul 16 akhir layanan tiap hari, horden menutup pintu utama masuk, lalu plat bertuliskan closed jelas terbaca di balik pintu kaca tebal itu.
Kuputuskan untuk menuju ke lokasi ruang ke dua setelah Perpustakaan yang menyediakan bacaanku. Aku menuju ruang utama masuk Gedung rektorat kampusku. Di sana ada beberapa sofa yang membentuk barisan berhuruf U, di tengahnya ada meja panjang berlapis kaca.Â
Di bawahnya ada dua koran (Kedaulatan Rakyat dan KOMPAS). Kuambil satu koran itu lalu kunikmati membaca halaman utama, dengan gambar besar berupa bangunan yang luluh lantah bersama lumpur, foto itu hasil pencahayaan dari Kamera Bahana Patria Gupta. Suasana ruangan sunyi senyap, koran yang kubuka masih hangat, bertanda bahwa belum ada yang menyentuhnya hari ini pikirku.
Satu persatu halaman kubuka dan kubaca hati-hati, memahami dan mengambil inti sari, Negeri juga dirundung masalah ekonomi, rupiah terinjak-injak oleh Dolar Trump masa kini. Kudengar ketukan dan seretan pintu tertarik, pintu terbuka.Â
Suara langkah kaki manusia mendekati sofa tempat dudukku membaca, aku masih memfokuskan diri membaca, pasti orang punya kepentingannya masing-masing, kubiarkan saja.Â
Lalu Perempuan berseragam hitam itu menarik lidah dan berkata kepadaku, "kamu sedang apa? Lagi menunggu siapa". Kusauti suara itu, "maaf Bu. Saya hanya membaca koran di sini. Perpustakaan sedang tutup, tadi baru saja saya ke sana."
"Ini (ruangan dan sofa)bukan untuk Mahasiswa ya, kamu kalau mau baca di perpus saja, lengkap. Ini perintah, saya hanya pelaksana. Kamu jangan di situ, saya mau sembayang. Kamu kayak orang tua ya, baca koran segala, pantes gak lulus-lulus. Skripsimu dulu kerjakan!" sambil satu langkah kakinya ke depan membuka pintu, melihat ke arahku.
"Saya hanya baca koran, gak ngerusak fasilitas yang ada, sambil kubuka halaman selanjutnya, namun tetap memperhatikannya berbicara. Kan sayang bu, korannya gak dibaca, kita lagi krisis membaca. Oh iya saya masuk ke Kampus ini 2016, saya masih di semester lima, Bu. Bagaimana mau lulus, wong syaratnya 149 SKS hehe, guyonku kutambahkan ketawa untuk meredakan ketidaksetujuannya dengan kehadiranku di ruang tunggu mewah ini."
"Kamu belum pantas menduduki sofa ini, masih seperti batu. Udah jangan di situ bacanya, di luar saja. Bawa itu koran nanti kamu kembalikan, jangan dibawa pulang!. Saya mau sembayang dulu. Wah.. wajahmu boros juga ya (TUA)" Beliau meninggalkanku pergi dan aku masih senang sekali melanjutkan bacaanku di Koran KOMPAS, tak kupikirkan kegetusannya, maklum saja, dia perempuan.Â
Tajuk rencana hari ini untuk dalam negeri membahas kebohongan Ratna Sarumpaet berjudul "Akhir Drama Seorang Ratna" sedangkan untuk Luar Negeri, tajuk rencana KOMPAS berjudul "Rosmah dan Pemberantasan Korupsi" dan di halaman opini terdapat tulisan orang bijaksana, berjudul "Merayakan Kebohongan" milik Pak Agus Sudibyo.Â
Dari halaman demi halaman kunikmati tanpa peduli, bahwa sofa dan ruangan kosong ini bukan untuk mahasiswa, bagaimana pula, ini hak semua orang. Kan aku tak merusak dan mencuri, jelas-jelas juga didukung CCTV. Aturan tidak tertulis itu mau melarangku, namun aku bersiteguh tak mau patuh.
Lalu aku membuka halaman selanjutnya. Kudengar kembali suara gesekan pintu membuka ke kiri dan kenan. Seorang Bapak berbaju pegawai masuk dan menyapaku, "hai Nak, sedang baca koran ya?"
"Iya Bapak. Monggo Bapak. Berita hari ini, masih berita duka yang menyelimuti hati dan pikiran dan perasaan kita." Si Bapak mengambil koran bermerek berbeda di bawah meja. Beliau membaca dan sesekali mengucap  sambil berbisik pelan "astaga, ngerinya, wahhh" perasaan beliau kemudian menyatu dengan tulisan-tulisan pemilik tinta. Kulirik beliau, masih fokus membaca halaman per halaman.
Selang beberapa menit, kami berdua dikacaukan oleh sebuah panggilan Ibu. Ibu itu memanggil si Bapak, kusingkat, tujuannya untuk segera si Bapak menandatangani sebuah surat penting dan genting.Â
Lalu si Bapak temanku membaca, pergi mendahuluiku ke ruangan, ke mana ia akupun tak tahu. Aku masih bersahaja membaca koran sendirian dalam kesunyian yang menambah ruang berpikirku jernih dalam menanggapi opini dan objektifitas isi koran hari ini.
Suara pintu kembali bergesekan dan menghasilkan suara berat. Kali ini seorang Perempuan berbeda berprofesi sama, berambut pendek sebahu, berpakaian ala-ala ajudan atau pengawal pribadi raja, ia spontan mendekatiku dan berkata, "Mas sedang apa? Lagi menunggu siapa ya?" sedikit nada yang membuatku mulai tak nyaman. Teguran kedua dengan selisih waktu yang dekat, lagi-lagi hanya karena aku duduk di sofa sambil membaca koran.
"Saya mahasiswa Bu, lagi membaca koran. Perpustakaan sedang tutup. Dan saya harus mengetahui isi warta Indonesia siang ini." Dengan ketakutan juga ia mengatakan kembali, "ruangan ini untuk pejabat dan tamu penting saja, tidak diperuntukkan Mahasiswa. Nanti kalau kamu dilihat saya akan dimarah atasan. Kamu kalau baca koran silahkan di luar saja. Jangan di sini, ini (ruangan dan sofa)Â bukan untuk Mahasiswa.kalau membaca keluar, bawa koran kamu."
"Mas, jangan ditangga bacanya, nanti dilihat orang tidak elok. Di atas saja, di depan ruang Auditorium membacanya."
"Bu, ini saya mau membaca koran saja harus mengungsi jauh ya! Aku mulai kasar, namun tetap dalam kondisi wajar, kenapa sih kok sulit sekali mau baca koran saja. Di situ ada sofa dan ruangan kosong melompong. Masakan dilarang, di mana larangan yang melarang kami mahasiswa untuk duduk di sofa batu itu? Ditempel di mana? Siapa yang mengeluarkannya? Parah,ini di luar etika."Â
Kuantarkan koran itu ke bawah meja di ruang bersofa dan megah yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang berpangkat dan pejabat serta tamu istimewa. "Ibu berbaju hitam, bongsor dan berambut sebahu itu menyulam dalam kalimatnya, kan saya hanya melaksanakan tugas, Mas." Tak kujawab, kudiamkan saja, mbok lostlah, mikirnya kolot.
Biar mereka merasakan sejuknya udara ruang tamu, ruang rapat, ruang kerjaku. Sombong sekali, ruang sunyi, koran tak tersentuh menjadi aset yang ditidurkan, tak berguna. Andai saja aku lapar, kulahap semuanya dengan emosi terbakar.
Aku hanya seorang mahasiswa dengan bantuan dari Pemerintah, aku dihalang untuk berbuat semena-mena. Suakaku akan dicabut jika lakuku keluar dari rencana. Pasport hijau itu harus kujaga. Besok aku akan membaca koran dan terus membaca. Tiba saatnya aku bergerak melawan kesewenang-wenangan kaum pelit."
Aku berjalan ke arah Timur. Meninggalkan gedung utama yang dijaga dua perempuan yang tak bersalah, melarangku duduk di atas sofa. Sanubariku terluka, niatku menambah data rakyat Indonesia untuk gerakan membaca dihalangi oleh aturan yang tak tertulis dan yang tak kuketahui sama sekali sejak dua tahun aku menimba ilmu di sini.
Aku masih mencintai Kampusku dan segala isinya, kali ini aku terluka. Untuk membaca sebuah koran yang tak berdosa saja aku dilarang. Kutuliskan kisah nyata ini, ambillah sebuah keputusan yang bijaksana, peduli terhadap sesama jangan hanya sebuah kalimat indah yang gencar disuarakan, tanpa memperhatikan implementasinya di ruang demokratis Kampus akademik.Â
Lalu, kepada siapa aku mengadu dan mencurahkan isi hatiku? Aku tak tahu, hanya Ms. Word yang mampu menampung kenyataan yang kutelan pahit dan kuhadapi hari demi hari dalam perjalanan menuju negeri permai yang kuimajinasikan kelak nanti.
Muak/ aku muak dengan peraturan tanpa alasan dan landasan/ kejujuranku tertanam/ aku tak setuju aturan sofa dan ruang megah hanya untuk mereka yang memiliki pangkat dan jabatan di struktural/ kami/ saya/ mahasiswa hanya diperas membiayai anak cucu mereka/ keegoisan di lingkungan kita/ secara sadar menyajikan hal-hal yang menjijikan/ tergantung aku dan engkau/ apakah kita akan meniru/ atau apakah kita menjadi generasi penerus/ penerus kejahatan dan keburukan/ membukakan pikiran-pikiran yang tak masuk akal/ atau aku dan kamu akan menjadi generasi baru/ dengan ide-ide inovasi baru/ lebih berpihal pada rakyat kecil/ walaup pangkat besar di pundak menganga/ Tuhan lah yang adil di Bumi Pertiwi ini///
Yogyakarta, 5 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H