Mohon tunggu...
Junior Rachman
Junior Rachman Mohon Tunggu... Administrasi - Tidak bekerja

Humor terbaik adalah dirimu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Realitas Kehidupan dan Kebutuhan untuk Percaya

18 Oktober 2023   18:00 Diperbarui: 18 Oktober 2023   18:07 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu Realita? Dan apa itu Kebenaran?

Pertanyaan-pertanyaan itu yang seringkali muncul dalam diri manusia. Lewat serangkaian kejadian yang baik maupun buruk, Manusia seringkali mempertanyakan realita. Kejadian tersebut akhirnya berimbas kepada munculnya harapan-harapan manusia agar realita yang indah terus berdatangan dan realita yang buruk dapat terhindarkan. Ungkapan tersebut seperti membuktikan bahwa manusia sebenarnya membutuhkan pegangan. Realita yang pada dasarnya sifatnya chaos, campur-aduk, abu-abu membuat manusia seringkali tidak tenang dan akhirnya mencari manifestasi diluar dirinya untuk dijadikan sebagai pegangan.

Dalam pemahaman yang lebih berdasar, menurut Auguste Comte, perkembangan manusia dibagi ke dalam 3 tahapan, yaitu Zaman Teologis, Zaman Metafisik, dan Zaman Positif (era sekarang).

Masing-masing dari tahapan tersebut memiliki output mengenai kebenaran yang sifatnya final. Zaman Teologis dengan kuasa adikodrati, dimana banyak manusia mengabstrakan konsepsi atas hal-hal yang terjadi dengan entitas-entitas supranatural. Zaman Metafisik dengan dimana manusia sudah bisa mulai melakukan abstraksi tanpa melibatkan entitas supranatural, melainkan dengan melakukan penalaran dan logika. Dan Zaman Positif dimana manusia percaya bahwa peradaban akan maju jika manusia berpegang pada Science, sesuatu yang sifatnya matter. Semua itu demi mencari suatu kebenaran final dari realitas.

Pertanyaannya selanjutnya yang kemudian muncul, apakah memang yang disebut sebagai kebenaran final itu benar adanya? Bukankah dengan memisahkan yang benar dengan yang salah, kita justru mengacaukan realita?

Jika kita mengutip pemikiran Nietzsche, Manusia seringkali menyukai fakta/tatanan yang sifatnya sudah Fixed, yang melalui pemahaman itu akhirnya manusia melahirkan realitanya sendiri. Sesuatu yang mungkin terdengar normal, namun kemudian bisa berimbas pada sesuatu yang berbahaya jika tidak dikelola secara baik.

Setiap manusia memiliki apa yang mereka sebut sebagai kebenaran. Kebenaran untuk si A mungkin adalah jika Partai Politik yang dipilihnya menang, Kebenaran untuk si B mungkin adalah jika pemahamannya soal dogma-dogma keagamaan yang ia wartakan dipahami sebaik mungkin. Kebenaran-kebenaran yang sifatnya dibakukan/Fixed inilah yang menurut Nietzsche adalah peniadaan realita.

Jika kita mengambil contoh ISIS (contoh yang cukup keras) yang dalam pemahamannya, kebenaran bagi mereka adalah hal yang sangat baku dan perlu diikuti, tidak ada kompromi. Dalam praktiknya, ketika menjalankan kebenaran tersebut, mereka melakukan banyak sekali pembunuhan dan peniadaan moral. Hal tersebut akhirnya terlihat seolah-olah seperti semangat kebenaran yang dibakukan, dalam praktiknya kontradiktif dan kosong (nihilis) karena meniadakan/menghilangkan faktor-faktor yang sifatnya beririsan dengan kebenaran itu sendiri.

Lalu bagaimana seharusnya kebenaran itu ada?

Menurut Nietzsche, dengan sedikit menggunakan metafora, kebenaran baginya adalah seperti seorang wanita, yang dilihat dari jauh, dengan lekak-lekuk tubuhnya yang menjanjikan dan indah, namun janganlah disingkap, apa yang ada dibalik pakaian wanita itu, karena mungkin apa yang ada didalamnya adalah sebuah monster/sesuatu yang menyeramkan. Itulah kebenaran bagi Nietzsche, kebenaran adalah perpaduan dari keindahan dan kengerian.

Lalu bagaimana sikap kita atas kebenaran tersebut?

Pathos of distance, sesuatu yang diilhami sebagai sikap hati-hati atau ambil jarak terhadap kebenaran. Atau dalam bahasa lain, kita harus bisa menjadi seperti Balerina yang menari dengan leluasa dan indah di bibir jurang. Dengan kita menyadari adanya batas-batas pada realitas, maka kita akan memperlihatkan suatu sikap kehati-hatian terhadap realitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun