Mohon tunggu...
Junior Rachman
Junior Rachman Mohon Tunggu... Administrasi - Tidak bekerja

Humor terbaik adalah dirimu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Absurditas Albert Camus dan Pertalian dengan Buddhisme

16 Oktober 2023   16:31 Diperbarui: 16 Oktober 2023   16:50 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Albert Camus menawarkan disposisi menarik lewat tulisannya mengenai keabsurdan dunia melalui bukunya berjudul The Myth of Sisyphus. Dia melihat bahwa hidup ini absurd karena adanya dorongan manusia untuk mencari makna dan tujuan hidup. Padahal hidup sendiri memang tidak bermakna dan tidak bertujuan.

Ke-absurd-an hidup, diceritakan oleh Camus melalui tokoh Sisyphus, Raja Korintus yang dihukum oleh Zeus untuk membawa/mendorong sebuah batu ke puncak gunung. Batu yang terbawa sampai atas puncak tersebut entah bagaimana akan jatuh lagi kebawah, dan akhirnya memaksa Sisyphus untuk melakukan lagi hal dorong-mendorong tersebut. Hukuman ini bersifat eternal, selamanya.

Hukuman yang bersifat selamanya ini memang cukup umum dalam cerita-cerita/roman yunani kuno. Kita ingat bagaimana ada pula sebuah cerita tentang Titan Prometheus yang ketahuan mencuri api Zeus dan dihukum. Hukumannya cukup sederhana. Ia di rantai di puncak gunung dan setiap hari burung gagak akan memakan hati-nya mentah-mentah. Nelangsanya, setelah kejadian hati termakan burung tersebut, keesokan harinya hatinya akan tumbuh kembali dan akan dimakan lagi oleh burung. Dan akan begitu terus, selamanya.

Kembali lagi ke soal Sisyphus tadi, moral apa yang bisa ditarik dari cerita ini?

Cerita Sisyphus dapat diartikan sebagai perjuangan individu melawan hidup atau realita. Perjuangan terus-menerus inilah, yang oleh Camus dilihat sebagai Absurditas. Keabsurditasan hidup, menurut Camus dapat juga dilihat dari sisi bagaimana manusia memandang hidup. Ada manusia yang memandang hidup sebagai perjalanan yang mempunyai tujuan/titik akhir. Ada pula manusia yang hidup mengalir tanpa tujuan. Usaha-usaha manusia untuk mencari jawaban atas tujuan tersebut juga yang melatarbelakangi definisi absurd itu sendiri. Namun pada dasarnya, menurut Camus, hidup itu tidak ada tujuannya. Terdengar seperti paham Nihilis? Memang dalam penggarapannya, Camus terinspirasi dari banyak subjek dan salah satunya adalah Nietzsche.

Melihat bagaimana Camus memandang hidup sebagai satu hal yang absurd karena tidak bertujuan, mungkin membuat kita teringat mengenai Buddha dan ajarannya soal hidup yang merupakan suatu kesengsaraan. Menurut Buddha, hidup merupakan kesengsaraan karena adanya belenggu yang bisa hadir melalui batin maupun jasmani. Buddha juga melihat hidup sebagai samsara, suatu siklus yang tidak berhenti, dalam jangka waktu tertentu sifatnya sementara, tidak abadi, namun berulang terus.

Melalui metafora Sisyphus dan bagaimana Buddha memandang hidup sebagai suatu kesengsaraan yang tak berakhir, tentu kita bisa cukup yakin dan sepakat bahwa hidup ini memang absurd. Lalu bagaimana cara kita untuk menjalani hidup yang absurd ini? Baik Buddha dan Camus memiliki jawabannya masing-masing.

Camus berhipotesa bahwa cara pertama untuk melawan hidup yang absurd ini adalah dengan menerima ke-absurd-an hidup itu sendiri. Bahwa bunuh diri bukan jalan keluar, Camus berpendapat bahwa jalan keluarnya merupakan "bersukacita dalam tindakan menggulingkan batu ke atas bukit." Menggulingkan batu keatas bukit, yang merupakan aktivitas Sisyphus, dapat diartikan sebagai hidup kita dalam aktivitas sehari-hari yang semuanya harus dimaknai dengan cara diterima, dan dijalankan dengan gembira dan sukacita. Albert Camus lebih lanjut berpendapat bahwa dengan penerimaan penuh, perjuangan melawan kekalahan (atau dalam hal ini ke-absurd-an), individu dapat memperoleh definisi dan identitasnya (dapat juga dipahami sebagai makna).

Sedangkan bagi Buddha, pelepasan dari penderitaan dapat dilakukan jika kita menabur Perbuatan (biasa disebut Kamma dalam bahasa Pali, atau dimaknai dalam bahasa Sanskrit sebagai Karma) yang sifatnya baik. Selama kita masih dihalangi oleh kebodohan batin (moha) dan terbelenggu oleh keinginan (tanha) dan masih terus menerus melakukan perbuatan buruk, maka selama itu pula siklus samsara akan terus berlangsung. Dalam Buddha, mereka yang sudah memahami Kebenaran Universal (Dhamma) dan berhasil menghentikan siklus samsara, adalah mereka yang telah mencapai Kebahagiaan Tertinggi (Nibbana); sudah tidak ada lagi kelahiran dan kematian, siklus berhenti, samsara berakhir.

Sebagai penutup, jika kembali mengutip Camus, hidup ini merupakan kumpulan pilihan-pilihan. Jadi, sudah ngapain aja kalian hari ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun