“Baiklah, tidak ada yang kebetulan bukan...” Romeo tertawa lembut, nyaris tak terdengar. Membuatnya ingin segera membawa pembicaraan kearah yang melebar. Hingga akhirnya ia memastikan bahwa Alfa adalah orang yang benar.
Alfa dan Romeo berbincang seakan banyak yang harus diceritakan. Mereka berbicara seakan larut malam sudah bukan lagi halangan. Botol minuman terus bertambah, seakan tak bisa memabukkan. Karena pada dasarnya dua pria itu sudah mabuk pada sebuah ikatan persahabatan.
Romeo, seorang pria dua puluh tujuhan. Dari jerman dengan sebuah tujuan. Mencari alasan mempertahankan kehidupan. Atau setidaknya mati di pulau tuhan.
Alfa, seorang pria dua puluh tigaan. Mencoba lari dari kehidupan. Penat dengan segala persoalan. Bali membuatnya ingin menikmati kesendirian.
“Aku harus kembali...” Alfa menyalakan lampu jam tangan yang menunjukkan angka tiga. Angka yang mengingatkannya bahwa besok masih ada cerita. Cerita yang ingin segera diselesaikan dalam waktu yang tidak lama. Waktu yang membuatnya terlalu banyak merasakan luka.
“Baik... bagaimana kalau kita pergi bersama besok? Aku butuh seorang penunjuk jalan” Romeo ikut berdiri setelah Alfa. Perkataannya seakan sudah memberi kepercayaan pada Alfa. Atau mereka akan ditakdirkan untuk bersama.
“Beri aku ponselmu” Alfa mengetikkan nomor ponselnya. Seolah juga berharap Romeo benar – benar memintanya bersama. Dikembalikannya ponsel dan pergi diiringi gemuruh ombak yang memecah pantai kuta.
Alfa menikmati malam ini. Romeo menemukan sahabat yang dia cari. Tapi kisah belum tentu seperti yang mereka ingini. Karena takdir dan waktu selalu punya jawabannya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H