Dia terduduk, melipat kedua kaki hingga lututnya bersentuhan dengan dada. Malam yang dingin dipantai kuta tak mampu membuatnya ingin beranjak segara. Meski sepi, hanya beberapa manusia yang masih berada disana bercumbu mesra.
Menatap kepada kejauhan, langit kelam yang terhampar menceritakan duka lama, seperti sebuah kebiasaan. Dia tak ingin berada disana, surga terdampar dibumi yang dipenuhi kefanaan. Dia ingin kembali, entah kepada siapa yang merindukan sebuah pelukan. Dia terpisah dengan semua kehidupan, sejak takdir menentukan kematian.
Terdiam sejak ayah meninggal. Terpaku saat sadar dia manusia tanpa sesal. Mencoba menangis saat ibu yang tak bersedia untuk dia kenal. Meski justru tertawa, karena hidup yang memaksa untuk dijalani meski terlalu janggal.
“Hey... Sendiri?” Seorang pria lain tiba – tiba saja duduk disebelahnya. Menawarkan minuman beralkohol seakan dia membutuhkannya. Tanpa memperkenalkan dirinya, seolah sudah bersahabat lama.
“Ya begitulah” katanya singkat, tak ingin merusak suasana. Diambilnya botol minuman, kemudian menenggaknya. Terasa dingin, namun dinikmatinya. “Alfa...” katanya, menjulurkan tangan mencoba memperkenalkan diri. Meski akhirnya dia sadar, akan tetap tertinggal dalam sepi. Meski pada akhirnya tak akan ada yang mengenalnya pernah hidup dibumi.
“Romeo...” pria asing menjabat tangan. Lembut namun dengan kekuatan. Seakan berharap akan tercipta sebuah persahabatan. “Orang Bali?” Pria itu menyelidik penuh harap. Seakan ia butuh jawaban itu agar bisa tidur terlelap.
“Bukan... tapi ya... saya orang Indonesia” Mencoba menerangkan bahwa tak ada perbedaan. Bahwa orang bali sama dengan orang Indonesia kebanyakan. Bahwa semua orang Indonesia adalah satu tubuh yang tak terpisahkan.
“Oh ya... Liburan?” Pria itu mencoba lagi. Seakan tak puas dengan jawaban yang pertama kali. Mungkin ia mencoba lebih mendekati. Pada kehidupan yang ingin segera diakhiri.
“Saya tidak punya waktu untuk itu” Alfa mencoba mengatakan getirnya sebuah perjalanan. Alfa mencoba menceritakan tak ada waktu untuk sebuah kesenangan. Tapi untuk apa? Bukankah pria itu juga akan menjadi kenangan.
“Aku mengganggumu?” Seakan Romeo tak menyadarinya sejak awal. Seakan ia ingin segera pergi tanpa harus mengingat bahwa sudah saling mengenal. Tapi, dia hanya mencoba untuk tidak membuat Alfa menjadi kesal.
“Tidak” kata Alfa, kali ini ditatapnya pria tak dikenal itu. Seakan ada satu kata lagi yang akan segera menjadi penentu. “Aku sendiri, mungkin kau dikirim untuk menemaniku disini” akhirnya dikeluarkan kata itu. Alfa bosan menjadi manusia yang tak pernah lelah mengajak hidup untuk berseteru.