Aku berada disini ruangan kecil yang dikelilingi dinding kotor, sejak kematian Romeo aku menjadi pusat pembicaraan semua orang. Perlahan tapi menyakitkan, keluarga Romeo justru membuka borok anaknya sendiri, bahkan ayah Romeo beberapa kali menuduh anaknya itu dan aku menjalin hubungan terlarang baiklah, dia memang seharusnya sudah tahu semuanya.
“Adam... ada yang ingin menemuimu...” seorang polisi terdengar tegas, memaksaku keluar dari jeruji besi yang memuakkan ini.
Aku menatap pria itu, dia tersenyum, gurat wajahnya mengingatkanku pada satu – satunya orang yang bisa membuatku jatuh cinta. Tubuhnya sama persis dengan Romeo, tinggi dan berkulit sedikit gelap. Kumis dan jenggotnya dicukur habis, satu – satunya perbedaan yang tampak jelas antaranya dirinya dan saudara kembarnya. Romeo selalu mempertahankan kumis tipis dan membiarkan jenggotnya tumbuh lebat, sedang pria ini terlalu bersih untuk melakukan itu.
“Rama...” kataku menyapanya, jabatan dan pelukannya berusaha kuhindari, tapi aku tak bisa. Matanya menyorotku tajam, seakan sedang menumpahkan segala kesalahan padaku.
“Kenapa kau membunuhnya?” Rama mulai berkata pelan, berusaha tidak terdengar oleh petugas meski tampaknya dia gagal.
“Kenapa aku harus membunuhnya?” kataku tajam, kurasakan kengerian ditubuh Rama, pria bodoh itu mulai salah tingkah, dia mencoba mencari arah tatapan mata untuk menghindariku.
“Polisi menemukan sianida dalam kopinya... kau tak bisa mengelak”
“Sianida tidak bisa membunuh secepat itu...” aku mengelak
“Kadarnya bisa membunuh dua puluh orang dewasa...”
“Kalau begitu Romeo harusnya mati lebih cepat”
Rama pucat, wajahnya mulai dingin, kali ini ia tertunduk tak mampu menatapku sama sekali.
“Kenapa kau membunuhnya?” aku berbisik, yakin bahwa suaraku tidak terdengar oleh siapapun.
“aaa... apa?” dia tergertak “aaa... aku?”
“sarin?” kataku, membuat Rama tersentak. Dia mencoba berkata tapi aku lebih cepat “beruntung tidak ada Dewi saat itu...”
“Dia sedang diluar kota” jawab Rama memotongku
“Romeo mengatakannya sebelum menenggak kopiku, dia tewas bukan karena sianida....” Rama terperangah, dia menatapku lekat, kemudian tertunduk lagi “aku yang harusnya mati oleh sianida itu, bukan Romeo”
“kenapa tidak kau bongkar kebenarannya kalau begitu?” Rama terkekeh
“Membiarkanmu tetap hidup, karena aku memang menginginkan kematian” kataku lagi
“jangan...” Rama memohon “aku mencintaimu...” katanya lagi, kali ini setetes air berlinang dari matanya.
“Dan mencintai Dewi?” kataku mengejek
“Tapi kau dan Dewi justru mencintai Romeo” katanya dengan amarah, tidak ada petugas lagi saat itu sehingga tidak ada yang mendengar perkataannya.
“pergilah...” kau takkan pernah bersentuhan dengan hukum, aku janji.
Aku meninggalkan Rama duduk terpaku disana, membeku atas kebenaran yang aku ungkapkan. Aku pergi membiarkan kematian yang menantiku didepan. Bersatu kembali dengan Romeo, pria yang aku cintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H