Mohon tunggu...
Joe Firmansyah
Joe Firmansyah Mohon Tunggu... -

memiliki sejarah hidup yang lebih panjang daripada umur yang sudah terlewati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jamuan Terakhir

3 Februari 2016   19:05 Diperbarui: 3 Februari 2016   19:17 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan Adam kini berhadapan, dihari terakhir pertemuan kami. Sebab ini keinginannya, dia berjanji akan mentraktirku secangkir kopi atau cocktail sesuai keinginanku saja. Tapi, dia sangat mengenal kebiasanku, aku tak pernah dibayari sekecil apapun itu, hingga akhirnya dia memilih untuk close bill bahkan sebelum kedatanganku. Aku tahu, sebab dengan bangga ia mengatakannya lewat pesan singkat yang kubaca ditaksi tadi, sebelum akhirnya kami bertemu dan berpeluk seperti biasanya.

“Kau yakin, ini yang kau inginkan?” kataku lembut, memandang wajah pria itu yang mulai berubah pucat, meski sedikit tertutupi oleh putih kulitnya bak salju yang terdampar di antartika.

“Aku sudah lelah...” Adam membalasku, menatap nanar seakan ada duka mendalam yang tak bisa diungkapkannya. “Tapi tidak sekarang...” katanya menyingkirkan gelas kopi yang sudah dihadapannya sejak lima belas menit lalu.

“Kenapa?” aku mengembalikan kopi itu kehadapannya.

Kami berdua bertatapan, seakan ada rahasia yang harus terungkap hari ini, bagaimanapun kami tidak akan bertemu lagi setelah hari ini, setidaknya bukan dikehidupan ini.

“Aku hanya...” Adam mulai melihat ke sekitar kafe yang biasa kami kunjungi itu. Sesaat dia terpaku pada sebuah kamera kecil disudut atas kafe, kemudian menyingkirkan lagi kopinya.

“Baiklah... kau takkan pernah benar – benar siap” kataku, kali ini kubiarkan kopi itu menjauh darinya, tak tersentuh dan menghangat, kemudian menjadi dingin.

“kau...” Adam memandangku, sekali ini lebih serius “aku takkan mengorbankanmu untuk ini” katanya.

“tidak... aku ingin melihatmu melakukannya” kataku seakan – akan aku sudah siap. Tapi melihatnya melakukan hal yang paling dia inginkan adalah pilihanku, meski aku yang akan terluka, tersakiti, terbunuh jiwa karenanya.

“Apa kau benar mencintaiku?” Adam mencoba sekali lagi, aku hanya mengangguk pelan tak mengerti kemana arah pembicaraannya “sangat mencintaiku?” tanyanya sekali lagi, aku terdiam memandangnya.

“Aku takkan mencintai orang lain, seperti aku mencintaimu” kataku akhirnya.

“Kau tak boleh ada disini, setidaknya kau tidak boleh melihatku melakukannya...” Suara Adam bergetar samar “aku mencintaimu dengan hatiku dan seluruh jiwaku, aku sama sekali tak ingin melihatmu tersiksa karenaku” pria tinggi itu mulai menitikkan air matanya, ketangguhannya seketika rapuh tertelan duka mendalam.

“Kalau begitu jangan tinggalkan aku...” aku mulai merintih, aku sadari itu... konyol, tapi aku sungguh tak pernah sanggup harus kehilangan dirinya.

“Aku harus...” katanya lagi

“Lakukan sekarang!” kataku sedikit membentak.

“Aku tidak bisa, aku takkan pernah mengorbankanmu...” Adam memperhatikan sekitar lagi, kali ini entah apa yang dirasakannya dengan keramaian kafe itu.

Aku muak dengan drama ini, aku benci harus mengatakan aku takkan pernah menginginkan kematiannya. Tapi, toh kami sama – sama mencintai, kami saling jatuh cinta dan memberi nyawa kami satu sama lain. Kuambil kopi itu, menenggak sedikit saja, Adam terkejut, dia tidak menyangka aku akan melakukannya.

“Panas...” kataku mulai merasakan sesuatu yang sangat tidak baik pada tenggorkanku. Kurasakan tubuhku mulai kehilangan kehangatannya, dingin dan aku sudah sampai pada pintu kematian.

“Romeo... Romeo...” hanya ucapan itu yang kudengar, sebelum akhirnya kurasakan tubuhku melayang diudara. Mungkin tiga atau empat orang yang mengangkat tubuhku, keluar dari kekacuan yang sudah kubuat.

“Romeo...” Suara itu, sekali lagi kudengar diiringi isak tangis dari yang paling ku kenal. Adam merintih, menangis, ia bahkan berteriak. Tapi aku hanya bisa mendengarnya, tidak melihat, tidak bisa mengatakan apapun lagi.

Tubuhku berhenti dari gemuruh pria – pria yang mengangkatku. Kali ini aku bisa melihat jelas, dengan sangat jelas tubuhku berada disebuah tempat tidur yang nyaman, disisiku Adam tidak mengeluarkan ekspresi apa – apa.

“Mati...” kata seorang pria berjubah putih, Adam hanya melihat tubuh yang pernah dicumbunya itu, Adam tidak bergerak, tidak bersedih, aku tahu dia bahkan tidak bisa menunjukkan rasa sedih dan kehilangannya lagi kini. Adam, jiwanya sudah mati melihat tubuhku yang kaku tak bernyawa, membatu dengan senyuman yang paling akhir yang bisa ditatapnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun