Mohon tunggu...
Juni
Juni Mohon Tunggu... Administrasi - Administrasi

Pecinta Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sekali lagi: Ronggeng Dukuh Paruk

1 November 2015   18:01 Diperbarui: 1 November 2015   18:01 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi Sampul Novel Ronggeng Dukuh Paruk"][/caption]

 

Akhir pekan tanpa buku baru (belum dibaca) menjadi serba salah. Terpaksa harus buka-buka lagi pustaka dan kutemukan sebuah buku/novel menarik, Ronggeng Dukuh Paruk, sebuah trilogi. Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus, dan Jantera Bianglala, tiga Buku dan 13 Bab. Penulis Ahmad Tohari, penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Pada buku pertama “Catatan Buat Emak”, diceritakan bagaimana awal mula Srintil bisa menjadi ronggeng, setelah Dukuh Paruk menunggu kehadiran seorang ronggeng baru selama dua belas tahun. Ronggeng terakhir mereka tewas dalam tragedi (keracunan) tempe bongkrek. Keracunan massal dipercayai sebagai akibat murka Ki Secamenggala karena warganya mulai kendor dalam memujanya. Setelah Srintil telah mencapai umur untuk dinobatkan sebagai ronggeng, semacam upacara adat dilakukan dalam rangka untuk penghormatan itu. Calon ronggeng harus mendapat restu dari arwah Ki Secamenggala.

Srintil, gadis kecil Dukuh Paruk menyambut riang penobatan dirinya sebagai ronggeng. Ruh indang telah merasuk ke tubuh Srintil, membuat Srintil menjadi seorang ronggeng sejati. Indang ronggeng itu kemudian mengantarkan dirinya pada berbagai kemelut. Segala yang ingin ia raih, berada di depan mata walaupun sulit untuk dijangkau.

Dukuh Paruk adalah sebuah dusun kecil di Jawa Tengah yang hidup dengan kemandirian sejak awal kelahirannya. Ia eksis dengan segala ragam budaya, kepercayaan pada mistik dan takhyul, norma-norma seksual yang relatif longgar serta kemelaratan, kemalasan, dan sisi-sisi kehidupan negatif lainnya seperti sumpah serapah dan perkataan kotor lainnya. Wilayah terpencil yang dihuni oleh manusia-manusia lugu yang percaya pada pengaturan alam dan kepercayaan terhadap roh nenek moyang yang harus dipuja.
Di sanalah Srintil terlahir sebagai ronggeng sejak berusia dua belas tahun.

Telah lama sejak kematian ronggeng sebelumnya, Dukuh Paruk tak lagi memiliki ronggeng. Maka ketika alam mendaulat Srintil menjadi ronggeng, segenap penghuni dusun sederhana itu menyambutnya dengan penuh rasa syukur dan kegembiraan. Dunia kecil mereka akan kembali hidup.

Ronggeng merupakan kesenian yang menyebar hampir di seluruh pulau Jawa dengan bentuk dan nama yang berlainan. Dalam Sejarah Jawa yang terkenal, Stamford Raffles yang berkuasa antara tahun 1811-1816, sudah menulis bahwa ronggeng merupakan kesenian yang sudah tumbuh berabad-abad di Jawa dan sangat populer di kalangan petani. Kesenian ini digelar untuk mensyukuri panen yang melimpah.

Ronggeng di Dukuh Paruk bukan sekadar menari sambil menembang lagu-lagu diiringi irama musik calung yang meriah meliuk-liuk, namun juga berarti melayani para lelaki yang menginginkannya. Sudah begitu tradisinya, dan Srintil melakukan semuanya dengan kesadaran penuh serta kebanggaan seorang perempuan menaklukkan banyak lelaki hanya dengan sampur (selendang) dan kerlingan nakalnya. Tak ada yang tabu bagi seorang ronggeng secantik dirinya melakoni semua itu. Orang-orang di dukuh Paruk bangga memilikinya, ronggeng cantik dan terkenal. Tak ada kecemburuan para istri, justru kebanggaan bila suami mereka bisa bertayub atau tidur bersama Srintil. Hanya ada seorang pemuda yang menentangnya, yaitu Rasus.

Ia tak rela Srintil, kawan kecilnya, menjadi ronggeng. Karena itu berarti Srintil menjadi milik umum. Menjadi milik banyak lelaki. Rasus cemburu. Melalui penuturan seorang Rasus, bocah lelaki duabelas tahun, dikisahkan keberadaan dukuh paruk dengan segala keunikan tradisi yang telah mengakar sekian lama tanpa seorangpun berniat mengubahnya. Termasuk kesenian ronggeng tersebut.

Pada malam dinobatkannya Srintil sebagai ronggeng - disebut malam bukak klambu - Rasus menjadi saksinya. Malam bukak klambu adalah bagian terpenting yang harus dijalani oleh seorang ronggeng yang baru dinobatkan agar sah secara tradisi. Pada malam itu, ronggeng baru tersebut harus menyerahkan keperawanannya kepada seorang lelaki yang berani membayarnya dengan harga tertinggi. Tetapi yang terjadi adalah penyerahan keperawanan itu kepada Rasus, seseorang yang memang dicintainya.

Selanjutnya kisah tentang pencarian Rasus terhadap figur ibu yang tak pernah dilihatnya, di samping cerita awal Srintil menjadi ronggeng. Ibunya, seperti juga orang tua Srintil, meninggal ketika ia masih belum bisa mengingat apapun. Ia hanya tahu dari cerita nenek dan tetangga-tetangganya bahwa ibunya mati karena keracunan tempe bongkrek. Ia mencarinya dalam sosok teman kecilnya, Srintil, tetapi Srintil menghancurkan citra ibu yang didambakannya karena menjadi ronggeng. Tak sanggup Rasus membayangkan ibunya sebagai ronggeng.

Sama tak sanggupnya membayangkan ibunya lari dengan laki-laki lain. Ia pun pergi dari kampung yang melahirkannya dengan membawa kekecewaan dan luka hati. Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk untuk kemudian menjadi tentara. Rasus juga menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, karena ia tahu Dukuh Paruk lebih membutuhkannya.

 

Dalam buku kedua “Lintang Kemukus Dini Hari” yang terdiri atas lima Bab, diceritakan bagaimana Dukuh Paruk dengan segala keluguan dan kebodohannya terseret dalam tragedi 1965. Mereka tidak pernah mengerti apa yang sedang terjadi. Mereka mudah diprovokasi, dan Srintil menari dalam kemarahannya sendiri, tak pernah mengerti apa itu revolusi.

Ketika sang ronggeng di puncak kejayaannya, beribu pentas membawa Srintil ke tangga ketenaran paling atas, kemashuran. Beribu lelaki telah dipuaskannya. Kesenangan hidup dengan cepat diraihnya. Sampai suatu ketika petaka itu datanglah. Saat itu tahun 1965, tahun penuh gejolak politik, tak terkecuali di Dukuh Paruk. Memanfaatkan kepolosan dan ketidaktahuan orang-orang Dukuh Paruk akan segala riuh rendah gemuruh dunia politik, PKI menyebarkan propaganda di sana. Menggunakan ketenaran Srintil untuk menghimpun masa di setiap rapat akbar partai tanpa dipahami sepenuhnya oleh gadis itu.

Srintil hanya tahu bahwa ia sekadar melakukan tugasnya sebagai ronggeng. Saat pecah huru-hara G 30 S/PKI. Keadaan berbalik, PKI gagal merebut kekuasaan. Orang Dukuh Paruk pun dituding sebagai antek-antek komunis. Lintang kemukus berpijar di angkasa menandakan sebuah malapetaka. Mereka diburu dan ditahan tanpa pengadilan atau dibantai. Tak terkecuali Srintil.

Srintil yang waktu itu berusia duapuluh tahun akhirnya ditangkap, dianggap terlibat partai terlarang itu dan dipenjara selama dua tahun. Walhasil srintil terpenjara secara fisik dan psikis, dan roh indang terbang dari tubuhnya.
Dukuh Paruk dibakar tentara karena keterlibatannya dengan Partai Komunis. Walaupun keterlibatan Dukuh Paruk ‘hanya sebatas’ meronggeng pada saat Partai Komunis mempropagandakan program Land Reform1. Para tetua Dukuh Paruk termasuk maskotnya, Srintil, ditangkap. Dukuh Paruk kehilangan sekaligus mendapatkan ‘hadiah’. Kehilangan ronggeng yang menjadi jiwanya dan mendapat ‘hadiah’ sebuah stigma sebagai pedukuhan komunis. Pasca ’65, orang-orang Dukuh Paruk menuai buah kekerasan masa lalu, teror tak berkesudahan yang mendera hidup tanpa henti.

Keadaan yang tercipta di Dukuh Paruk pasca ’65 adalah suatu keadaan yang penuh ketakutan dan teror dalam bayang-bayang masa lalu. Nyi Kartareja (tokoh dukun ronggeng Dukuh Paruk) berusaha ‘menyembuhkan’ dirinya, menekan ketegangan yang menghantuinya dengan berusaha ‘menjual’ Srintil pada seorang mantri (sebuah usaha yang tidak berhasil). Dengan ‘harapan’ jika Srintil mau diperistri oleh si mantri, maka dia (dan Dukuh Paruk) akan sedikit aman menapaki hidup karena kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki si mantri. Kekuasaan yang kemungkinan bisa membuat Dukuh Paruk terlepas dari ‘ikatan’ stigma komunis. Karena Srintil menolak ‘dijual’ oleh Nyi Kertareja, ketakutan tetap menjadi sahabat terdekat Dukuh Paruk. Dia tunduk pada ketakutan yang diciptakan untuknya, patuh pada kuasa yang yang mengharuskannya menjadi the other dengan stigma komunis.

Seperti ketika ada petugas yang bertugas mengukur tanah pertanian yang akan dilewati oleh pembangunan bendungan. Orang Dukuh Paruk mengira petugas pengukur tanah itu adalah tentara yang akan kembali menghanguskan pedukuhan mereka. Dalam ketakutan yang mendera, mereka bertanya-tanya apa ada salah seorang dari mereka yang melakukan ‘kesalahan’? Mereka bersiap-siap menyembunyikan diri, sampai seorang kamitua menangkap kenyataan bahwasanya yang mereka pikir adalah tentara ternyata ‘hanya’ petugas pengukur tanah.

 

Dalam buku ketiga “Jantera Bianglala”, Srintil yang telah kehilangan roh indang dan telah merasakan pilunya menjadi seorang tahanan politik, berusaha memperbaiki citra dirinya, ingin menjadi wanita seutuhnya yang bermartabat. Buku ketiga ini adalah klimaks dari tragedi ini.

Penjara telah membuat Srintil kehilangan kepercayaan diri. Menjatuhkan martabat dan harga dirinya ke titik terendah. Srintil tak berani menatap lagi dunia di luar dirinya. Tak henti-hentinya dihantui rasa bersalah dan terhukum. Mengubahnya menjadi pemurung meski kecantikannya masih mampu menjerat para lelaki. Ia kini bukan lagi ronggeng. Ia ingin meninggalkan dunia masa lalunya. Ia punya mimpi lain menjadi seorang istri dari seorang lelaki baik-baik. Tak ada lagi Srintil si penakluk lelaki. Yang tertinggal adalah seorang perempuan dengan kerinduan pada kehidupan normal.

Seorang perempuan yang ingin menjadi manusia biasa. Namun, jalan lurus menuju kebaikan itu, amatlah terjal. Bahkan bagi perempuan dengan cita-cita sederhana seperti Srintil. Harapan muncul ketika ia betemu Bajus. Namun jiwanya terhempas ke titik nadir yang paling bawah ketika Bajus yang demikian diharapkannya mampu membawanya ke harkat yang lebih tinggi, malah menyerahkannya ke atasannya. Srintil gila. Namun Rasus dengan segala kebesaran hatinya, bersedia mengakui Srintil sebagai (calon) istrinya. Ia bertemu kembali dengan Rasus, cinta kanak-kanaknya yang kekal, ketika kejernihan jiwanya telah pergi.

“Bulan berkalang bianglala di atas sana kuanggap sebagai sasmita bagi diriku sendiri, untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup. Dukuh Paruk harus kubantu menemukan dirinya kembali, lalu kuajak mencari keselarasan di hadapan Sang Wujud yang serba tanpa batas.

 

Cuthel

Jakarta Timur, 01/11/15 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun