Mohon tunggu...
Yuni Kustanto
Yuni Kustanto Mohon Tunggu... Foto/Videografer - pengajar SD

toekang nglajo

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Merpati Mencoba Ingkar Janji

5 Agustus 2012   16:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah Nurani, seekor burung merpati yang  disegani hinggap di atas atap rumah. Tubuhnya begitu elok rupawan, memikat hati.  Bulu-bulunya yang putih bersih bak kapas, sesekali tersibak oleh angin-angin nakal. Matanya tajam namun penuh kasih, bergerak seirama dengan gerak tubunya. Sesekali pandangnya beralih secepat kilat ke arah sarangnya, kalau-kalau terjadi sesutau pada anaknya.

Tiba-tiba Sang Merpati berkelesat terbang. Suara keras merebut suasana nyamannya. Suara yang sangat akrab di terlinganya. Suara itu mengingatkan kembali saat suaminya seketika terjatuh berlumuran darah. Bayangan itu terus mengganggu pikirannya. Merpati itu terus terbang menjauhi sumber suara. Hingga sumber suara itu mulai sayup-sayup terdengar. Dia ingin sekali meninggalkan tempat itu jauh-jauh untuk sementara waktu.

Hingga sampailah dia ke sebuah tempat yang baru dilihat dan jamahnya. Tempat di mana segalanya berbeda dengan keadaan sebelumnya.

Teduh, tenang, layaknya di sebuah Negeri Impian. Merpati memperlambat kepakannya, dia sangat menikmati pemandangan yang baru dilihatnya saat ini. Setiap menoleh di saat itu juga dia mendapatkan kelegaan. " Sungguh nyaman tempat ini", pikirnya. '

Sekilas dilihatnya seekor merpati lain sedang asyik menikmati biji-bijian yang melimpah ruah.  Hal itu membuat Nurani ingin mencari tahu. Lalu dicarilah dahan pohon akasia untuk hinggap. Sambil melompat-lompat kecil Nurani menuju ujung dahan. "Hmm, bukankah itu Pak Megan, juru keamanan di kampungku? Mengapa beliau ada di sini?". Dia berusaha mengamati Pak Megan dari jarak yang lebih dekat. Tanpa menunggu waktu akhirnya dihampirinya Pak Megan.

"Mengapa Pak Megan ada di sini?" tanya Nurani dengan wajah penuh selidik. " Bukankah Bapak yang mempunyai tanggung jawab atas keamanan dan ketentraman desa kita?"

"Aku sudah tidak  nyaman tinggal di desa kita", jawab Pak Megan. "Apalagi sekarang sekarang di sana biji-bijian sulit di dapat. Ditambah merebaknya tembakan-tembakan pemburu."

"Lho tapi itu khan justru jadi tanggung jawab Bapak?" Nurani mencoba bertanya lagi.

"Ah, dalam situasi  yang begitu sulit dan mustahil untuk hidup, mengapa kita harus bertahan?"

"Sudahlah Nurani... lebih baik Kamu juga tinggal di sini saja!" ajak Pak Megan serius.

Nurani berpikir sejenak. Terbayang kembali situasi di desanya yang memang begitu serba sulit. Makanan sulit didapat, sehingga sering terjadi perebutan daerah kekuasaan di mana ada sumber biji-bijian. Pikirannya terus berkecamuk, dia merasa inging terus hidup dan melangsungkan hidupnya. Di lain pihak saat ini dua anaknya masih butuh makan, perlindungan, dan kasih sayangnya.

"Sudahlah!" hardik Pak Megan memecahkan lamunan Nurani. "Beristirahatlah barang satu atau dua hari lagi. Kamu kelihatan begitu lelah, kita aman di sini!" Pak Megan terus merayu.

Nurani mendekati Pak Megan yang masih asyik menikmati biji-bijian yang begitu enak. Dengan malu-malu dan perlahan Nurani mematuki biji-bijian yang ditawarkan Pak Megan. Ketika biji-bijian itu masuk ke dalam temboloknya, ada kekuatan baru di tubuhnya. Nurani pun semakin bersemagat untuk menikmatinya.

Sesaat dia teringat kembali akan anak-anaknya. Terlihat jelas dua paruh kecil menganga penuh harap. Pak Megan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Nurani. "Sudahlah, apakah tidak sebaiknya kita menciptakan keluarga baru di tempat serba kecukupan ini. Bahkan kita akan berkembangbiak memenuhi tempat ini?". Kembali Nurani harus berpikir ulang, dalam hatinya dia ingi mencoba sesuatu yang begitu menjanjikan.

Saat Nurani mencoba untuk tawar menawar dengan pilihannya, tak terasa senja pun telah tiba. Matahari beranjak pergi dari cakrawala untuk tidur sejenak. Nurani terhenyak kaget, secepat kilat dikepakkannya sayapnya. Terbang tinggi dan tinggi, hati Nurani berkecamuk. Mengapa dirinya melewatkan waktu bersama dengan anak-anaknya. Apalagi di saat ini anak-anak butuh makan dan peluk kehangatan ibunya.

Nuri mempercepat terbangnya, menembus dingin dan gelapnya malam. Dalam benaknya hanya ada satu, anak-anak. Kebiasaan terbang dan kesetiaan yang pernah ia pelajari memudahkannya menghafal tempat-tempat yang pernah dilewati. Dengan pengelihatannya yang tajam, dari kejauhan atap rumah tempat dia tinggal sudah terlihat. Jantungnya pun berdegub kencang menghiraukan keadaan anak-anaknya.

Plakk..plaakk.. Suara kepakan sayap Nurani menghentikan laju terbangnya. Masih dengan sorotan mata yang tajam, Nuri bergegas masuk menuju sarangnya.

Nurani terhenyak, dua anaknya terkulai lemas sudah tak bernyawa. Ia mencoba untuk tegar, digerak-gerakkan tubuh anaknya satu per sartu dengan kepalanya. Dengan harapan anaknya masih bisa bangun. Namun semuanya sudah terlambat. Waktu tidak bisa diputar kembali dan rasa kecewa serasa tiada arti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun