Belum selesai bicara, langsung kuambil barang bawaannya yang terlihat sedikit besar dan berat. Daripada ditolak, dan harus pulang lebih cepat,
"Waduh, malah merepotkan. Deket, kok. Cuma di bangunan sebelah."
Kami hanya berbalas senyum, sepanjang jalan menuju bangunan yang tidak jauh dari altar tanpa banyak bicara. Aku berjalan tepat di belakangnya. Mengikuti langkahnnya yang tidak cepat juga tidak lambat. Aroma parfum yang belum akrab, mengajak berkenalan hidungku dengan lembut.
Tidak lama, sampai di sebuah bangunan dengan tiga lantai. Naik ke lantai dua, ia membawaku masuk ke sebuah ruangan. Dengan beberapa komputer, berkas-berkas, dan foto-foto Pastor atau sering disebut Romo. Â Setelah selesai membantu merapikan beberapa barang bawaan, langit semakin gelap dan sepertinya lebih baik segera undur diri untuk pulang.
"Kalau begitu, saya pulang dulu."
"Oh, iya. Makasih, mas." Belum juga membuka pintu, hujan tiba lebih dulu. Cukup deras. Menahanku.
"Di sini dulu saja, mas. Tunggu sampai terang."
Lagi, kami berbalas senyum dan aku duduk kembali. Melihat sekeliling ruangan, dan ia membawakanku sebotol minuman yang diambilnya dari dalam lemari pendingin di sudut ruangan.
"Maaf, mas. Seadanya." Tawarnya diiring senyum yang tidak bisa ditawar apapun.
"Malah ngerepotin. Makasih, mbak."
Aku melempar pertanyaan basa-basi mencoba memecah keadaan yang lebih dingin dari hujan di luar. "Mbak udah lama kerja di sini?"