Suku Tionghoa adalah salah satu suku yang mendominasi populasi penduduk di provinsi Kepulauan Riau. Suku Tionghoa sudah lama bergaul dengan penduduk lokal di daerah Kepulauan Riau, salah satu buktinya adalah keberadaan Klenteng Senggarang yang terletak di Kota Tanjungpinang.
Klenteng Senggarang adalah salah satu destinasi wisata spiritual dan budaya yang terkenal di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Terletak di Desa Senggarang, kawasan ini merupakan pusat dari sejumlah tempat ibadah umat Konghucu, Tao, dan Buddha yang memiliki nilai sejarah dan arsitektur yang tinggi. Yuk, kita bahas lebih lanjut terkait bangunan bersejarah ini, dari sejarah hingga ke aspek arsitekturalnya.
Klenteng Senggarang diperkirakan dibangun oleh imigran China daratan sekitar abad ke-18. Bangunan ini menjadi saksi bisu interaksi awal kebudayaan China di Tanjungpinang dan Pulau Bintan. Bangunan ini diperkirakan sudah berusia hingga 304 tahun, yang mana dahulu sering menjadi lokasi pertemuan awal warga China perantauan di Bintan melakukan ibadah sekaligus merangkai rasa bercerita tentang perjalanan hidup di tanah seberang. Maka dari itulah Klenteng Senggarang ini juga disebut-sebut sebagai Negara China.
Arsitektur bangunan ini menampilkan ciri khas Tionghoa dengan atap pelana dan ragam hias tradisional. Selain itu, bangunan ini juga menunjukkan pengaruh lokal melalui penggunaan material setempat dan adaptasi terhadap iklim tropis. Keberadaan kelenteng ini menjadi bukti eksistensi komunitas Tionghoa di wilayah tersebut sejak ratusan tahun lalu.
Kelenteng Senggarang ini sendiri memiliki wujud yang khas dengan arsitektur vernakular Tionghoa. Yaitu, ciri utamanya dengan gerbang megah berwarna merah dengan atap bertingkat yang melengkung di ujungnya, dihiasi ornamen naga dan motif tradisional. Atap bangunan utama juga memiliki desain serupa, menambah kesan artistik dan sakral. Model ini mencerminkan perpaduan harmonis antara budaya Tionghoa dan lokal.
Pada dahulu kala, klenteng ini menggunakan bahan yang sederhana dalam pembangunannya, yaitu bahan material kayu. Namun, pada dasarnya bahan kayu tidak dapat bertahan lama, apalagi iklim pulau Bintan yang lembab dan kawasannya yang dekat degan laut, serta kurangnya perawatan pada fisik bangunan yang membuatnya sempat roboh.
Namun, dengan inisiatif dari warga sekitar, klenteng ini kemudian direnovasi kembali menggunakan perpaduan material yang lebih kokoh dan menggabungkannya dengan bahan-bahan lokal disekitar pulau Bintan. Bangunan yang memiliki kisah yang panjang ini dapat kembali berdiri dengan kokoh.