Tulisan ini membahas secara khusus keterkaitan erat antara pendidikan, profesi, dan layanan psikologi di Indonesia, dalam rangka mengelaborasikan pernyataan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjafudian, baru-baru ini (Kamis, 4 November 2021) di Jakarta. Bahwa substansi RUU tentang Psikologi (yang menjadi Prolegnas Prioritas 2021) akan mengatur dimensi dari hulu (pendidikan) sampai ke hilir (layanan jasa dan praktik psikologi).
Kiprah psikologi di Indonesia sudah dimulai sejak penyerahan de facto kedaulatan Negara Indonesia pada awal 1950-an. Hal ini merupakan awal dari bertumbuhnya kebutuhan akan fungsi-fungsi psikologi sebagai ilmu pengetahuan maupun praktiknya sesuai dengan tuntutan kebutuhan negara pada waktu itu.
Dalam terminologi global, hal itu dikenal sebagai "the scientist-practitioner model" (model ilmuwan-praktisi). Model ini menggambarkan bahwa seorang tenaga psikologi harus mampu mengintegrasikan penelitian keilmuan dan praktiknya dalam mengaplikasikan maupun mengembangkan psikologi.
Model tersebut sudah tampak dalam sejarah awal pertumbuhan Psikologi di Indonesia:
Tahun 1950, Lembaga Psikoteknik Tentara (LPT) didirikan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Dr. Soemantri Hardjoprakoso, untuk menggantikan Leger Psychologische Diens (Dinas Psikologi Militer) yang ditugaskan untuk melaksanakan praktik psikologi di lingkungan militer, khususnya Angkatan Darat, antara lain dengan melakukan seleksi bagi calon perwira dan demobilisan tentara pelajar.
Berdasarkan pertimbangan perlunya Indonesia memiliki lebih banyak tenaga yang memiliki keahlian di bidang psikologi, maka sejumlah perwira bekas Tentara Pelajar diberikan tugas untuk mengikuti pendidikan psikologi di Belanda. Oleh karena suasana hubungan Indonesia-Belanda pada waktu itu memburuk, maka para siswa tersebut dipindahkan ke Jerman Barat dan Swiss, antara lain Kapten Soemitro Kartosoedjono, Dipl.Psych. (kemudian Mayjen TNI, KaDisPsiAD/Kapusbintal ABRI), Kapten Soemarto, Dipl.Psych. (kemudian Brigjen TNI/KadisPsiAD/Anggota MPR RI), Kapten Bob Dengah, Dipl.Psych. (kemudian Kolonel TNI/DisPsiAD), Kapten John S. Nimpoeno, Dipl.Psych. (kemudian Prof. Dr., Dekan Fakultas Psikologi UnPad), Kapten Sarjono, Dipl.Psych. (kemudian Kolonel Tni/DisPsiAD), dan lain-lain.Â
Mereka sempat ditarik sementara ke Indonesia pada sekitar tahun 1957 untuk berkontribusi dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, sebelum akhirnya lulus sebagai sarjana psikologi pada 1959-1960-an. Pada 1961, mereka menggagas pendirian semacam Akademi Psikologi di lingkungan Angkatan Darat. Panglima Angkatan Darat waktu itu, Letjen Ahmad Yani, menganjurkan, "Kalau mau mendirikan pendidikan tinggi psikologi lebih baik di lingkungan universitas setempat, jangan di lingkungan militer."Â
Atas pertimbangan itu, maka Universitas Padjadjaran dimintakan untuk bersedia mendirikan Fakultas Psikologi di lingkungannya. Rektor Universitas Padjadjaran pada waktu itu, Prof. Mr. Iwa Kusumasumantri (kemudian Menteri PTIP/Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, Menteri Negara Penasehat Presiden), bekerja sama dengan Psikologi Angkatan Darat membentuk Panitia Pembentukan Fakultas Psikologi Unpad, dengan menugaskan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unpad, Prof. Sadarjoen, untuk membantunya. Terbentuklah Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran pada tahun 1961 sebagai fakultas psikologi yang sejak awal sudah berdiri dalam bentuk organisasi pendidikan fakultas di Indonesia.
Pada tahun 1951 dalam waktu hampir bersamaan, di lingkungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) -- sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) -- berdiri pula Balai Psikoteknik dengan tugas awal melakukan seleksi psikologi bagi para pelajar eks-tentara pelajar untuk disalurkan pada bidang-bidang pendidikan dan pekerjaan yang diperlukan untuk menjadi personil kepegawaian jawatan-jawatan di lingkungan pemerintahan Republik Indonesia.
Kemudian, Balai Psikoteknik ini dikembangkan sebagai wadah pembelajaran psikologi. Oleh karena Slamet Iman Santoso, sebagai penanggung jawabnya pada waktu itu beranggapan bahwa Indonesia membutuhkan psikolog seutuhnya, dan bukan "tukang tes", sehingga beliau meminta Prof. L. D. Teutelink, seorang psikolog dari Belanda, sebagai pengajar pada beberapa bidang kuliah psikologi.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Indonesia, pada Dies Natalis UI tahun 1952 di Fakultas Pengetahuan Teknik UI di Bandung; Slamet Iman Santoso mengemukakan, "Yang kita perlukan sekarang adalah menempatkan manusia di tempat yang tepat (the right man in the right place)." Slamet menegaskan pula bahwa "kebutuhan akan psikolog (adalah) untuk mendiagnosis kesesuaian orang dengan pekerjaannya". Dan itu harus dilakukan oleh tenaga psikologi yang terdidik dengan baik.