Artinya, orang-orang ekstrover akan lebih mengalami tantangan dalam berhadapan dengan diri di kala BDR.
Hal inilah yang jarang dibahas atau dipertimbangkan ketika organisasi/lembaga/perusahan mendiskusikan atau meneliti soal kesehatan mental pekerja di masa BDR; oleh karena, boleh jadi, asumsinya adalah ekstroversi harus dipelihara.
Dalam hal ini, orang ekstrover dan introver perlu saling memahami. Sebagai contoh, ada gejala "ekstroverisasi" ruang-ruang online, misalnya dengan menanyakan kabar atau mengadakan koordinasi sosial secara "berlebihan" melalui berbagai sarana media sosial; ini merupakan ekstroverisasi yang masih menganut asumsi di atas.
Mengapresiasi gaya kerja dan gaya hidup setiap pekerja BDR atau work from home (WFH) merupakan sebuah keterampilan lembut (soft-skill) yang urgen untuk dikembangkan dalam organisasi saat ini. Hargai diversifikasi cara kerja, karena bukan saatnya berorientasi pada standarisasi pada masa BDR dalam situasi darurat pandemi.
Di samping itu, ada fase adaptasi yang tidak boleh kita lupakan. Manusia adalah makhluk yang kreatif yang dengan akalnya mampu menemukan cara-cara baru untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Kebingungan bahkan kecemasan dapat dipandang sebagai bagian integral dari proses adaptasi, yang tidak perlu lekas-lekas disangkal atau dicarikan "obat"-nya.
Dalam proses adaptasi ini, manusia bahkan bisa sampai pada tahap penerimaan dan pelampauan situasi yang membosankan bahkan membahayakan dirinya. Jangan anggap remeh potensi adaptif manusia!
Apa sajakah yang bisa dilakukan untuk meminimalisir stres akibat BDR? Saya menawarkan perspektif Psikologi Industri dan Organisasi (PIO) dalam hal ini: Perlu ada kerjasama yang baik antara perkerja BDR dengan organisasi/lembaga/perusahaannya (selain dengan keluarganya). Buat saya, kelelahan bahkan burnout pekerja adalah persoalan ekologis dunia kerja, bukan persoalan individual.
Organisasi/lembaga/perusahaan perlu memiliki kebijakan yang adaptif dalam situasi darurat yang sudah dinyatakan Presiden RI sebagai bencana nasional ini.
Temukan cara-cara kreatif untuk mengukur key performance indicators, cara untuk mencapai tujuan organisasi, bahkan meredefinisi visi-misi-nilai-tujuan organisasi bila diperlukan (Saya sempat membaca, bahkan ada perusahaan-perusahaan yang mengubah logonya. Komentar saya: "Ini PIO banget!") .
Cara-cara tersebut sebaiknya disepakati bersama antara pimpinan perusahaan dengan pekerja atau serikat pekerja (bukan hanya kemauan salah satu pihak saja). Pendekatan organisasional ini niscaya sangat berarti untuk meminimalisasikan stres akibat BDR.