Siapa yang tidak setuju bahwa korupsi adalah anti-Pancasila? Dan, siapa di negeri ini yang ingin disebut sebagai orang atau kelompok anti-Pancasila? Bila demikian, benarkah kita semua telah berusaha - sekuat pikir, rasa, dan karsa - untuk melindungi diri kita dari praktik koruptif?
Definisi yang disepakati mengenai korupsi, memang, adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan privat. Kendati demikian, dalam berbagai studi, ditemukan bahwa korupsi finansial, korupsi politik, korupsi jabatan, disumbangkan juga oleh mental yang korup, oleh psikologi-yang-korup (lihat juga: Psikologi Korupsi).
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengistilahkannya sebagai korupsi non-konvensional, yaitu "perilaku koruptif yang bukan hukum pidana, melainkan lebih dekat ke sosio-psikologis seperti arogansi, kesombongan, gila hormat yang berlebihan ...., minta dilayani dan bukan melayani, serta berbagai perilaku koruptif lainnya." (TribunNews, 30 Oktober 2018).
Jika kita simak daftar perilaku koruptif yang dicontohkan oleh Mahfud MD, bukankah hampir semuanya berbalut, berlumur --kalau bukan berpangkal dari-- kata-kata yang digunakan? Sebuah ungkapan bijak menyatakan, "Perhatikan pikiran Anda, dia akan menjadi kata-kata. Perhatikan kata-kata Anda, dia akan menjadi tindakan. Perhatikan tindakan Anda, dia menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaan Anda, dia menjadi karakter. Perhatikan karakter Anda, itu akan menjadi takdir Anda". Memang, "Pada mulanya adalah kata (logos), dan kata berarti sesuatu yang diucapkan, bersifat fonotok" (Yesmil Anwar & Adang, 2008, h. 257).
Bila setuju dengan berbagai ungkapan di atas, takdir bangsa ini sesungguhnya dikontribusikan oleh pikiran dan kata-kata. Ada pula dasar ilmiahnya. Sejumlah ahli menghipotesiskan bahwa tidak ada pikiran tanpa bahasa, dan bahwa berpikir sesungguhnya adalah berkata-kata walau dengan gerak lidah yang sangat halus dan tanpa suara. Pengetahuan kita akan hal-hal ini sesungguhnya memberikan optimisme tersendiri bagi kita, yakni bahwa korupsi dapat dicegah sejak dari kata-kata!
Kita sudah lama mengenal istilah "korupsi waktu". Tetapi kita mungkin sering tidak menyadari bahwa "korupsi kata-kata" eksis di lingkungan sekitar kita. Ya, hoaks adalah contoh nyata dari korupsi kata-kata. Dengan hoaks, orang menyimpangkan fakta, makna, dan kebenaran di hadapan publik untuk maraih kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Efek merusak dari hoaks menjangkau berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga hankam. Haoks bekerja melalui berbagai jaringan dengan membingkai paragraf, membingkai suara, sampai dengan membingkai gambar, vlog, dan sebagainya. Kepala berbagai negara dan pemerintahan pun mengaku telah dibuat resah, kelabakan, bahkan jatuh dengan hoaks.Â
Para kaum oposisi pun mengaku telah menjadi korban hoaks. Kita kini menjadi sering gamang, bagaimana meyakini bahwa ini atau itu hoaks atau bukan hoaks, apa atau siapa yang menjadi sumber inspirasi, yang merancang, yang memproduksi, yang mereproduksi, yang memasarkan, yang menikmati, yang korban, yang mengail di air keruh, yang intensional, yang aksidental, dan seterusnya. Waktu dan energi kita tersita luar biasa mulai dari memikirkan, memeriksa, meladeni, memitigasi sampai dengan menanggulangi dampak dari hoaks.
Jikalau korupsi merupakan "kejahatan luar biasa", maka dengan mengaplikasikan paralelisme antara hoaks dan korupsi, dapat dipahami usulan untuk menjadikan hoaks sebagai kejahatan luar biasa.
Yang lebih penting adalah bagaimana membadankan pengertian dalam diri setiap kita masing-masing bahwa hoaks adalah praktik koruptif. Bahwa "Hoaks = Korupsi kata-kata".Â
Dalam sebuah studi mengenai representasi korupsi pada masyarakat Indonesia, J. Abraham & Y. Pradipto (2016)Â menemukan bahwa gagasan "Berkenaan/berhubungan dengan orang lain" (related to others) merupakan pemaknaan yang paling merasuk dalam benak orang Indonesia ketika ditanya "Apa yang terlintas ketika mendengar kata 'korupsi'?". Publikasi hasil riset empirik tersebut menyarankan, bahwa, agar lebih efektif, kampanye anti-korupsi perlu menekankan pesan-pesan seperti "With Corruption Everyone Pays".Â
Nah, sekarang bagaimana kalau kita usung juga, "With Hoax Everyone Pays" ("Hoaks = Korupsi kata-kata. Semua membayar hoaks-mu").
Bila setuju dengan gagasan ini, bagaimana kalau kita buatkan pemetaan secara lebih tersistem tentang: Apa saja yang sudah (dan sedang) dibayar (material dan non-material) oleh bangsa ini dari hoaks yang ada? Bagaimana bangsa ini sudah (dan sedang) membayarnya (atau bahkan terlibat hutang karenanya)? Harapan saya, tumbuh empati-empati yang tepat dari masyarakat yang--katanya--kolektivistik dan interdependen ini sebelum berpartisipasi dalam apapun mengenai potensi dan aktualita hoaks.
Penumbuhan empati-empati tersebut nyatanya bukan soal sederhana. Para pakar tentang empati sampai menyatakan bahwa empati merupakan kerja keras ("Empathy is hard work"; Cameron et al., 2018) .
Menjadi Pancasilais memang tidak butuh slogan, melainkan butuh kerja keras. Kerja keras di antaranya mulai dengan membadani bahwa hoaks adalah korupsi. Lagi, dengan menumbuhkembangkan empati agar orang lain tidak menjadi susah dengan membayar hoaks kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H