Mohon tunggu...
Ahmad Junaedi
Ahmad Junaedi Mohon Tunggu... penyunting naskah -

seorang pecinta sejarah NKRI, sastra Arab, selalu antusias dengan segala hal yang berbau sejarah (kecuali perdukunan) dan pelintas dimensi kultur kuno hingga modern

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gili Labak, Gili di Selat Madura yang Bikin Mata Terbelalak

31 Januari 2017   15:50 Diperbarui: 31 Januari 2017   19:49 2807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah Bagan Tancap, alat penangkap nelayan tradisional, yang berdiri kokoh di antara puluhan alat serupa di sepanjang jalur berlayar kami menuju Gili Labak.

img-20170131-083523-5890425cab927314079f24d6.jpg
img-20170131-083523-5890425cab927314079f24d6.jpg
Senangnya rame-rame...
Senangnya rame-rame...
Di Gili Labak, kami bisa bersenang-senang; dengan air pantainya yang bening hingga apapun yang ada di dasarnya, terlihat jelas. Kumpulan terumbu karang, ikan-ikan yang berwarna-warni, dan bintang laut yang menggemaskan. Kami pun bisa menikmati kesenangan itu bersama keluarga tercinta. Itu memang pengalaman luar biasa. Selain bermain air pantai bersama keluarga, di sana kami bisa pula berayun kaki mengelilingi pulau yang masih perawan tersebut. Gugusan pasir yang berwarna putih bersih, benar-benar memanjakan kami.

Bintang laut yang masih hidup, terdampar di padang berpasir putih nan bersih.
Bintang laut yang masih hidup, terdampar di padang berpasir putih nan bersih.
Di Gili Labak, tak lebih dari seratus orang warga yang mendiaminya. Sepanjang yang kami amati, memang terdapat permukiman penduduk. Beberapa di antaranya, dilengkapi pula dengan antena parabola yang dialiri arus listrik melalui sebuah piranti panel surya yang terpasang pada hampir rumah-rumah penduduk. Tak hanya berfungsi sebagai penghantar listrik bagi parabola. Alat tersebut juga berfungsi sebagai tenaga listrik untuk penerangan terutama saat malam hari. Maklum saja, di sana belum ada aliran listrik yang bisa mengakomodasi kebutuhan sehari-hari penduduknya.
Panel surya terpasang di atas genting salah satu rumah penduduk
Panel surya terpasang di atas genting salah satu rumah penduduk
sebuah antena parabola, berdiri kokoh di depan sebuah rumah.
sebuah antena parabola, berdiri kokoh di depan sebuah rumah.
Seorang penduduk terlihat sibuk mengolah lahan jagungnya.
Seorang penduduk terlihat sibuk mengolah lahan jagungnya.
Balai-balai bambu yang juga difungsikan untuk tempat bersantai wisatawan, sekaligus tempat alat melaut nelayan setempat ditempatkan.
Balai-balai bambu yang juga difungsikan untuk tempat bersantai wisatawan, sekaligus tempat alat melaut nelayan setempat ditempatkan.
Ladang jagung milik penduduk setempat
Ladang jagung milik penduduk setempat
Sehari-hari, penduduk Gili Labak bekerja di sektor nelayan. Hasil tangkapan melaut mereka jual pada pengepul yang biasa datang ke sana. Selain ikan, tentu saja ada rajungan sebagai hasil olah tangkap lautnya. Dalam sehari, enam hingga lima belas kilogram rajungan berhasil mereka tangkap. Sebagai alat tangkap, mereka menggunakan perangkap rajungan yang bernama bubu. Meski pekerjaan mereka sebagai pelaut, di beberapa tanah tegalan milik penduduk juga tertanami jagung, maupun buncis.

Gili Labak memang memesona. Daya tariknya mampu membuat puluhan bahkan ratusan pasang mata yang kesana, untuk tak tahan ingin memotret segala penjuru tempatnya. Surga di timur Madura itu kini menjelma sebagai ikon wisata Madura. Bukan hanya bukit kapur Jeddih dengan danau air birunya di Bangkalan, bukan pula Pantai Slopeng dan Pantai Lombang di Sumenep utara, atau air terjun Toroan di Ketapang, Sampang. Gili Labak dengan segala potensi wisatanya, diharapkan bisa menjadi pemberdaya ekonomi penduduk sekitar, utamanya bagi mereka yang bekerja sebagai penyewa perahu motor yang bisa digunakan sebagai moda transportasi wisatawan menuju ke sana.

dscn4653baru-58904ecf4f7a617532cafee9.jpg
dscn4653baru-58904ecf4f7a617532cafee9.jpg
dscn4668baru-58904f85109773d106fa4638.jpg
dscn4668baru-58904f85109773d106fa4638.jpg
Pukul setengah sebelas, kami meninggalkan pulau kecil nan indah itu, sesuai saran juru kemudi perahu motor kami. Seperti halnya saat berangkat, kepulangan kami menuju Kalianget juga disambut gulungan ombak-ombak cukup tinggi. Angin kencang tetap tak mau berhenti, barang sejenak saja. Atap terpal perahu motor mengibas-ibas keras, terpontang-panting oleh angin yang sedang memuntahkan “amarah”-nya. Suasana sedikit mencekam menghampiri kami, saat awan mendung hitam berarak pelan tepat di atas perahu kami. Bayangan hujan deras di tengah ombak air laut dalam, bergelayut dalam benak kami. Tetapi, untung saja, tak ada gemuruh petir, ataupun sambaran kilat yang bisa mengagetkan kami semua. Guncangan ombak yang kian kuat telah membunuh ketenangan kami selama berlayar kembali menuju dermaga. Benar-benar pengalaman yang susah dilupakan. Tetapi, pengalaman berperjalanan seperti itu, memang mengasyikkan, adrenalin menjadi teruji, dan mental berlayar pada kondisi cuaca demikian bisa terlatih.
dscn4674baru-58904d77f37a618507f1d96c.jpg
dscn4674baru-58904d77f37a618507f1d96c.jpg
Keping-keping kenangan tentang keindahan Gili Labak, bertebaran dan menyesaki ruang ingat. Datang tiba-tiba. Dan rupanya, sekarang pun masih enggan untuk beranjak keluar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun