Mohon tunggu...
Ahmad Junaedi
Ahmad Junaedi Mohon Tunggu... penyunting naskah -

seorang pecinta sejarah NKRI, sastra Arab, selalu antusias dengan segala hal yang berbau sejarah (kecuali perdukunan) dan pelintas dimensi kultur kuno hingga modern

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Gili Labak, Gili di Selat Madura yang Bikin Mata Terbelalak

31 Januari 2017   15:50 Diperbarui: 31 Januari 2017   19:49 2807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yeeaah..persiapan akhir sebelum berangkat. Dua bocah terlihat girang begitu tahu perahu motor sudah menanti di bawah.

Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki gerbang Kota Sumenep. Dari arah kota, kami meneruskannya hingga Dermaga Kalianget. Di sana, sudah ada Mas Soni yang sudah menunggu kedatangan kami semua. Mas Soni adalah seorang juru atur perjalanan wisata kami ke Gili Labak. Dialah yang mengatur segala keperluan kami selama berwisata. Mulai menentukan waktu keberangkatan penyeberangan kami menuju pulau terumbu karang itu, hingga menyediakan perangkat pengaman bagi kami, seperti pelampung air. Setiba di Kalianget, kami langsung disambut ramah oleh Mas Soni, lalu diajak ke rumahnya untuk sejenak melepas peluh. Kami bisa menggunakan kesempatan sebaik mungkin untuk beristirahat hingga pagi hari, jelang berangkat mengarungi Selat Madura menuju spot Gili Labak.

Azan subuh bertalu pukul empat pagi. Hawa dingin masih merayapi setiap tubuh kami bersembilan. Seketika Mas Soni membangunkan kami semua. Dia meminta kami bersiap-siap diri jelang berangkat ke Gili Labak. Menurutnya, kondisi cuaca saat itu sedang tidak baik. Dia mengkhawatirkan bila keberangkatan kami berlangsung hingga pukul tujuh, bahkan lebih, maka akan ada ombak besar yang bisa membahayakan keselamatan kami di lautan. Tak pelak, kami mau tak mau harus mematuhi arahannya.

Yeeaah..persiapan akhir sebelum berangkat. Dua bocah terlihat girang begitu tahu perahu motor sudah menanti di bawah.
Yeeaah..persiapan akhir sebelum berangkat. Dua bocah terlihat girang begitu tahu perahu motor sudah menanti di bawah.
Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, kami pun lekas-lekas menuruni bukit kecil berbatu yang berada di belakang rumah Mas Soni, menuju perahu motor yang sedang bersauh. Di sana sudah ada dua orang kru kapal yang sedang menunggu kami. Mereka berdua adalah anak buah Mas Soni yang bertugas mengemudikan perahu motor dan mengantarkan keberangkatan kami ke pulau berpasir putih nan indah itu. Perahu motor yang kami naiki tak hanya membawa rombongan kami saja. Di sana, juga ada sekelompok, mungkin sekitar enam orang, anak muda lain yang bertujuan sama. Pukul lima pagi lewat sepuluh menit, mesin kapal meraung-raung. Keheningan yang sesaat sebelumnya terasa, pecah seketika. Dua orang kru melepas jangkar yang tertambat di dasar air, lalu menariknya dan ditaruhnya di atas geladak kapal, tepat berada di bagian paling atas di antara tumpukan tali-tali tambang. Wajah-wajah periang di atas perahu bermunculan. Harapan ingin segera menikmati alam yang terhampar di Gili Labak, membuncah ruah. Tak tertahankan.

Ternyata apa yang dikatakan Mas Soni tentang kondisi cuaca yang sedang tidak baik, memang benar adanya. Selama perjalanan laut, perahu motor berkali-kali terombang-ambing ombak laut. Sejak lepas sauh hingga perairan bagian tengah, perahu seperti sedang menahan amarah laut. Angin kencang di pagi hari yang mendung itu menyergap kami semua. Atap perahu yang berbahan terpal pun, harus menahan kuat-kuat terpaan kencangnya. Belum lagi suara hantaman ombak ke lambung perahu, yang benar-benar terdengar keras. Gulungan ombak pun kian deras menghempas. Tak ayal, perahu motor tumpangan kami acapkali oleng ke kanan, maupun ke kiri. Baru kali ini saya, terutama, naik perahu motor dengan jarak cukup jauh, dengan iringan cuaca yang tidak mendukung. Walhasil, rasa takut menyergap tiba-tiba. Terlebih perjalanan yang kami tempuh butuh waktu yang tak singkat; dua jam. Doa-doa kami panjatkan, sebisa kami masing-masing. Semua demi meraih keselamatan dan kenyamanan saat berlayar.

Sebuah Bagan Tancap, alat penangkap nelayan tradisional, yang berdiri kokoh di antara puluhan alat serupa di sepanjang jalur berlayar kami menuju Gili Labak.
Sebuah Bagan Tancap, alat penangkap nelayan tradisional, yang berdiri kokoh di antara puluhan alat serupa di sepanjang jalur berlayar kami menuju Gili Labak.

Setelah sekian lama bersabar menghadapi gemuruh ombak, tibalah kami semua di pulau dengan hamparan padang yang berpasir putih bersih. Gili Labak. 

***

Sejauh pandangan mata, hanya terlihat perairan, tidak lagi tampak daratan Madura, meski hanya berupa siluet tipis.
Sejauh pandangan mata, hanya terlihat perairan, tidak lagi tampak daratan Madura, meski hanya berupa siluet tipis.
Gili Labak memang hanya sebuah pulau kecil di perairan Selat Madura. Dari kejauhan, pulau ini menghadirkan rasa kagum. Sejauh mata memandang, Gili Labak bagai sebuah benda besar yang mengapung-apung di lautan lepas. Di bagian bawah, ada garis putih memanjang mengitari sekujur tubuhnya yang tampak mungil tersebut. Itulah padang luas yang berpasir putih nan indah.

Dua orang bocah ini, selalu terlihat senang bermain-main dengan air.
Dua orang bocah ini, selalu terlihat senang bermain-main dengan air.
Setiba di sana, hal pertama yang kami lakukan, yaitu berfoto-foto sebentar. Ada banyak titik yang bisa dijadikan jujukan obyek fotografi. Titik paling riuh untuk bahan berfoto selfie, yaitu di bawah plakat tulisan “Gili Labak”, pada sebuah kayu berlukis warna, yang disusun secara berkait menjadi tiga buah menggunakan tali tampar dan saling terikat pada dua buah pohon. Saat kami tiba, waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Menit ke sepuluh. Tak lebih, dan tak kurang. Langit di atas pun masih menyembunyikan pendaran mentarinya yang hangat.

Sarapan dulu...
Sarapan dulu...
Usai berfoto, kami melanjutkannya dengan menikmati sarapan pagi. Selain ransum makanan yang telah kami bawa, di sana kami juga membeli sarapan. Sepiring nasi bercampur mie goreng instan, ditambah telur ceplok sebagai sajian pelengkap, sudah cukup mengenyangkan perut. Untuk memupus dahaga, sajian Degan segar dengan pangkasan di bagian sabut, lalu dihidangkan secara langsung, semakin memanjakan kami bersembilan orang ini. Harga kedua menu tersebut berbilang sama, yaitu sepuluh ribu.

Wisatawan yang berkunjung sepagi itu, masihlah sepi. Namun, beberapa jam kemudian, Gili Labak menjelma bak sebuah magnet besar, menarik kuat-kuat banyak orang untuk mendatanginya. Sebab meskipun kulihat ombak di tengah laut sedang “mengamuk”, tetap saja banyak perahu motor yang bersedia mengantarkan para penikmat wisata pantai itu mendatangi pulau yang berpenduduk tak lebih dari 35 kepala keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun