Sabtu 17 Desember 2016, saya mengajak istri dan putra saya berlibur ke Blitar. Kota ini berada di sebelah barat daya Kota Malang dan ini adalah kunjungan liburan kami ke dua setelah Februari 2015 lalu. Dua kali kami ke sana, dua kali pula kami menaiki moda transportasi yang sama, yaitu kereta api. Memang mengasyikkan.
Berlibur ke Blitar tentu saja mengarah ke destinasi utama yaitu makam dan museum Bung Karno. Di sana, selalu ramai pengunjung atau peziarah terlebih di musim berlibur anak sekolah seperti saat kami ke sana.
Kami memulai perjalanan ke Blitar dari stasiun kereta api Waru, Sidoarjo. Seperti yang tertera pada tiket yang telah kami pesan seminggu sebelumnya, kereta api yang akan kami tumpangi bernama KA Penataran. Kereta api ini satu lini dengan kereta api Dhoho. Maksudnya, bila KA Penataran berjurusan Surabaya Blitar dengan terlebih dahulu melintasi Malang. Saat tiba di Blitar, kereta api akan melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan melintasi Tulungagung, Kediri, Kertosono hingga kembali ke Surabaya. Bila dilihat pada peta, maka akan terlihat jalur lintas kereta yang menyerupai huruf U.
Sesuai jadwal, KA Penataran akan berangkat pukul 18.10.
***
Sabtu itu, kereta api cukup penuh sesak oleh penumpang. Meski kami dapat slot tiket duduk, namun masih saja banyak penumpang yang berjejalan berdiri. Maklum saja, musim berlibur anak sekolah (apalagi saat itu malam minggu) membuat sebagian besar orang ingin bepergian ke luar kota. Salah satu transportasi jujukan mereka, ya kereta api.
Kereta api Penataran yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang menuju arah selatan. Beberapa stasiun kecil dan besar menjadi persinggahan sementara, sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Kami bertiga sangat menikmati perjalanan malam di kereta. Â Selain bisa bercengkerama dengan anak dan istri, kami pun bisa mengobrol dengan sesama penumpang yang duduk berhadapan dengan kami.
Pukul 22.30
Usai meninggalkan stasiun Garum, stasiun kecil sebelum memasuki stasiun Blitar Kota, kereta dengan laju sedangnya, melintasi rel, membelah persawahan, dan menembus gelap malam menuju stasiun akhir, yaitu Blitar Kota. Saya mengatakan stasiun akhir karena memang untuk jadwal perjalanan malam, KA Penataran hanya akan berhenti di stasiun Blitar.
Dan, tak sampai seperempat jam kemudian, kereta api sudah tiba di stasiun Blitar Kota. Kami bertiga dan penumpang lain bergegas mengemasi barang bawaan dan turun ke luar gerbong kereta. Hawa dingin angin malam menyergap kami. Untung saja, Nazhif, putra kami, memakai jaket penghangat.
Di depan stasiun, kulihat para penarik becak hanya terlihat beberapa orang saja. Kami memang membutuhkan angkutan roda tiga itu. Karena selain di Blitar belum ada angkutan umum dalam kota, saat kami tiba, waktu sudah mendekati tengah malam.