Kota Surabaya memang penuh dengan cerita bersejarah. Mulai era imperium Majapahit yang kala itu kota Surabaya masih bernama Ujung Galuh, era Kerajaan Mataram, periode masuknya penjajah Belanda hingga perjuangan para tokoh pergerakan kemerdekaan. Bentangan kisah-kisah sejarah nan panjang tersebut, pada akhirnya menggiring kemauan pribadi saya untuk menelusuri setiap jejak peninggalan leluhur masa lalu di kota ini. Tentu saja, bingkai kesejarahan yang masih kuat melekat pada kota Surabaya, mewujud ke dalam berbagai hal di dalamnya. Kebanyakan memang berupa bangunan-bangunan bergaya klasik.
Setiap babakan sejarah yang terbentang di kota Surabaya, memiliki berbagai kisah tersendiri. Dan, salah satu babak sejarah yang berbicara di kota ini, lahir di sebuah rumah sederhana di kampung Peneleh. Kampung ini berada tak jauh dari Jalan Pahlawan; lokasi Tugu Pahlawan (sekarang) yang dahulu pernah menjadi area berdirinya gedung Voolksraad di era Pemerintah Kolonial Belanda.
Rumah sederhana yang berada di sebuah gang di Peneleh tersebut, adalah bekas rumah seorang tokoh nasional, bernama Haji Oemar Said Cokroaminoto. Dia lahir di Tegalsari, Ponorogo, 16 Agustus 1882. Tokoh nasionalis ini orang yang berkecimpung di dunia politik. Dia pun dikenal sebagai muassis atau pentolan organisasi politik, Sarikat Islam.
[caption caption="Rumah inilah yang pernah menjadi tempat kos Sang Proklamator RI, Sukarno"][/caption]
Mengunjungi bekas rumah seorang Pahlawan Nasional seperti Pak Cokro, menyisakan kekaguman tersendiri. Bentuk rumah yang penuh dengan nuansa Jawa ini, bagi sebagian orang kini, mungkin hanyalah sepetak rumah biasa saja; sekaligus warisan leluhur yang patut dijaga serta dilestarikan. Namun, di balik kesederhanaan dan kebisuan rumah beliau ini, tersimpan ribuan cerita perjuangan dari anak-anak muda yang menjadi muridnya dan kelak bermetamorfosis menjadi orang penting di negeri ini.
Saat saya kesana di awal Februari 2015 silam, ada perasaan senang bercampur kagum melihat langsung rumah peninggalan seorang pendiri organisasi politik sebesar SI. Rumah itu dibangun pada sekira tahun 1870 dengan nuansa budaya Jawa yang khas. Di bagian depan, ada pagar setinggi sekira 1 meter yang terbuat dari kayu, dengan dilengkapi empat pilar yang terbuat dari bahan serupa, menyokong bagian atap. Lantai rumah yang berwarna kuning kecokelatan bercampur merah marun, turut menjadi penghias rumah lawas namun tetap bersahaja itu.
Begitu kita masuk ke dalam ruang tamu, rasanya kita sedang berada di zaman saat beliau masih hidup. Empat buah kursi kuno; yang berbahan jati, serta meja pelengkap, dengan bahan serupa, tersusun rapi di sebelah kanan ruangan. Sebuah rak peralatan rumah tangga sederhana yang juga dibuat dari kayu jati, berada di dekat kursi tamu dan berhimpit dengan tembok. Di bagian atas rak, ada 5 buah foto kuno. Tentu saja, semua foto memperlihatkan aktivitas beliau semasa aktif di Sarikat Islam.
[caption caption="Ruang tamu yang cukup luas; di dindin yang saling berhadapan, ada pajangan sejumlah foto Pak Cokroaminoto saat masih aktif di Sarekat Islam"]
[caption caption="kursi tamu beserta meja yang keduanya terbuat dari kayu jati berkualitas"]
[caption caption="Foto H.O.S Cokroaminoto semasa muda"]
Rumah sederhana yang sarat sejarah ini, dulunya terbilang memanjang ke belakang. Di bagian tengah, ada dua buah pintu yang terhubung langsung ke lorong yang ada di dalamnya. Menurut seorang juru kunci rumah Pak Cokro, saat masih dihuni, rumah ini memanjang hingga beberapa meter ke belakang. Di ujung belakang, dulu, ada sebuah kandang kuda. Sesekali, kuda-kuda itu dipakai untuk mengikuti sebuah perlombaan balap kuda, begitu ujar sang juru kunci rumah. Siapa yang merawatnya? Selain tuan rumah, yaitu Pak Cokro, biasanya kuda-kuda beliau dirawat oleh anak-anak muda yang indekos disana. Masih di ruang tamu, di dinding searah susunan kursi kayu jati, ada beberapa foto yang menggambarkan kegiatan Pak Tjokro semasa hidupnya. Atap rumah yang terbuat dari sesek (bambu) semakin meninggalkan nilai-nilai klasik rumah yang sebelum dihuni oleh keluarga Pak Cokro, merupakan hunian seorang pedagang Tionghoa.
[caption caption="Foto Pak Cokro saat mengikuti kegiatan Sarekat Islam pada 1923"]
[caption caption="Bung Karno (duduk paling depan sebelah kiri memakai sarung) bersama teman-temannya di HBS"]
[caption caption="Semaun, seorang teman indekos Bung Karno di rumah Pak Cokro"]
Melongok ke ruang berikutnya, kita akan menemui dua kamar yang saling berhadapan. Di sisi kiri, ada kamar yang dahulu merupakan kamar kos. Pak Cokro memang dahulu menjadikan sebagian kamar di rumahnya sebagai tempat indekos. Rata-rata mereka kaum pelajar yang datang dari berbagai kota. Pada arah hadap yang sama, ada kamar keluarga Pak Cokro bersama istrinya, RA Suharsikin dan anak-anaknya. Di dalamnya, ada sebuah cermin kuno. Kaca cermin ditopang kokoh oleh sebuah kotak jati yang bernilai seni tinggi. Di lorong, jalan antara dua kamar, ada almari dan kursi yang juga peninggalan keluarga Pak Cokro, masih berdiri kokoh. Diam membisu menjadi saksi sejarah yang terhimpun di dalam rumah kuno itu.
[caption caption="Ruang pribadi keluarga Pak Cokroaminoto; tampak foto berdua bersama sang istri di dinding sebelah kanan yang mendapat sorot lampu; di atas kotak berkaca cermin, ada kain berpigora dengan logo PSII (Partai Sarikat Islam Indonesia)"]
Berjalan menyusuri ke belakang, kita akan melihat kumpulan foto anak muda yang indekos di sana. Ada foto Bung Karno, Muso, Semaun, dan Kartosuwiryo. Seruang dengan foto-foto, ada kamar mandi dan dapur. Uniknya, ada sebuah kamar yang menyatu dengan bagian atap. Kata sang juru kunci rumah, itulah kamar tidur Bung Karno. Selain sebagai ruang tidur, dulunya Pak Cokro sering mengajar murid-muridnya di ruang tersebut. Untuk bisa mengetahui “jeroan” ruang atas, ada sebuah tangga. Sayangnya, saat itu saya tidak sempat menaikinya.
[caption caption="Pintu masuk menuju lorong dalam rumah yang terhubung pula dengan kamar-kamar, dapur, kamar mandi, hingga ruang belajar di atap"]
[caption caption="inilah anak tangga penghubung lantai dasar dan ruang belajar tersembunyi sekaligus--sebagaimana dikatakan sang juru kunci rumah--sebagai kamar pribadi Bung Karno"]
[caption caption="salah satu perkakas rumah tangga peninggalan keluarga Pak Cokro"]
Di zaman itu, Bung Karno selalu bersemangat belajar di ruang atas. Bung Karno, Muso, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka maupun Kartosuwiryo, adalah kumpulan murid Pak Cokro. Kelak, karena perbedaan ideologi dalam berpolitik, mereka pun punya takdir lain. Jalan yang mereka tempuh berbeda. Sukarno misalnya, kelak menjadi seorang nasionalis dan proklamator RI. Muso yang pernah hidup lama di Soviet, pada akhirnya menjadi seorang penggerak Pemberontakan PKI 1948 di Madiun.
Semaun pernah menjadi tokoh penting di awal PKI tumbuh. Kartosuwiryo merupakan pendiri Negara Islam Indonesia (NII) pada 1949. Tan Malaka dikenal publik sebagai aktivitas pergerakan untuk kemerdekaan. Di rumah sederhana itu, mereka sering berkumpul untuk berdikusi, berdebat, bercengkerama maupun belajar ilmu agama dari sang mentor, yaitu Pak Cokro.
Waktu berjalan begitu cepat saat saya menyusuri sudut demi sudut rumah tersebut. Jam di dinding sudah berangka 3 lebih 20 menit di sore hari. Hari makin sore, sang juru kunci rumah pun masih bersemangat bercerita. Beliau melanjutkan ceritanya, bahwa dulu Pak Cokro memang dikenal pribadi yang vokal, lantang, dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. Terlebih bila kebijakan tersebut, berat sebelah atau hanya menguntungkan pihak penjajah. Di sisi lain, dia dikenal sebagai sosok relijius.
Agama, merupakan penopang paling utama dalam setiap gerakan maupun organisasi yang dia jalankan. Agama pula yang menjadi landasan paham nasionalisme dan sosialisme yang dia miliki. Keduanya menyatu dalam dirinya; menggerakkan setiap orang untuk mewujudkan rasa cinta tanah air sekaligus melahirkan segala bentuk resistensi terhadap bangsa penjajah dan penindas.
***
[caption caption="Berfoto sejenak sesaat sebelum meninggalkan situs sejarah di gang VII Peneleh"]
[caption caption="sebuah plakat cagar budaya oleh Pemerintah Kota terhadap rumah peninggalan Pak Cokro"]
Rumah Pak Cokro ini bisa kita tempuh cukup mudah. Bila kita tempuh dari terminal Bungurasih, kita bisa naik bus kota dengan rute Jembatan Merah. Selanjutnya, kita naik mikrolet dengan trayek Keputih. Mikrolet atau bemo akan melintasi kawasan Jembatan Peneleh, dan mintalah untuk berhenti di sana. Dari jembatan Peneleh, kita langsung saja mencari lokasi utama, yang berada di gang Peneleh 7 nomor 29-31.
Rumah Pak Cokro memang tampak sangat sederhana. Namun, kesederhanaan rumah itu mampu melahirkan tokoh-tokoh besar negeri ini di kemudian hari nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H