Mohon tunggu...
Junaedi Ghazali
Junaedi Ghazali Mohon Tunggu... -

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ketika Ridho Pergi

8 Mei 2010   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ridho akhirnya pergi. Setelah 2 tahun kami bisa membangun studio foto sederhana, akhirnya ia putuskan untuk tak lagi duduk di tempat yang sama. Pekerjaan menuntutnya pindah Ke Surabaya. Mungkin Yogyakarta tidak menjanjikan apa-apa selain kreatifitas juga kepandaian tanpa batas. Mungkin juga keluarga. Mungkin juga kehidupan tak seindah yang semua kira

"Aku punya mimpi juga kehidupan pribadi. Dan saat ini, bukan jalan berbeda yang memisahkan kita, tapi realita"

Itu kata terakhir yang diucapkan saat aku dan Seto mengantarnya ke Stasiun Tugu. Yang lain nggak ikut. Indra sedang menemani pacarnya belanja. Sementara Bobi mengambil gambar Konser Tika dan Frau di JNM. Aku yakin, itu hanya alasan. Kenyataannya mereka tak rela jika harus melihat Ridho pergi. Mungkin dia bukan salah satu fotografer terhebat yang dimiliki studio ini. Tapi, ia adalah satu pendiri studio hebat ini. Masing-masing memiliki peran berbeda. Dan semua menganggap, dialah yang bisa menyatukan kami semua.

Hari-hari tanpa Ridho serasa hampa. Tak ada lagi canda tawa saat mengambil gambar bersama. Tak ada lagi petuah-petuah bijak saat semua kehabisan tenaga dan emosi mudah menyala. Studio tak ubahnya tempat kerja tanpa rasa. Seni tak lagi menjadi suara dari hati. Pelanggan mulai hilang, dan uang menjadi persoalan. Tapi, semua mencoba tetap bertahan. Semua sadar, ada impian yang belum terwujudkan.

---

Mentari sedang menggulung siang saat itu. Menyisakan merah jingga di angkasa. Tinggal aku sendiri di studio. Maklum, malam minggu. Mendadak Ponsel berdering. Kulihat satu nama yang lama tak pernah kulihat muncul di layar.

"Aku sudah sampai di stasiun tugu. Bareng yang lain. Ketemu di Jendelo aja. Habis ini langsung ke situ"

Segera kurapikan peralatan untuk memotret. Setelah yakin semuanya beres, kupacu motorku ke Jalan Affandi. Studio kami ada di Jakal. Pelan-pelan kususuri jalan tikus yang membelah rumah-rumah rapat sekaligus kos-kosan di daerah Deresan. Aku yakin,jalan raya akan macet karena ini hari Sabtu. Selain karena kebanyakan mahasiswa keluar bermalam minggu, pengunjung dari luar kota juga akan menambah banyaknya kendaraan yang memadati jalan.

Ternyata benar. Yang lain baru sampai 15 menit setelah aku datang. Mukaku kubuat tampak kesal. Maklum, dari semuanya, cuma aku yang nggak tahu jika ia akan datang. Tampaknya semua memang sengaja membuatku tak tahu. Entah apa maksud mereka, yang jelas senyum malu-malu terukir.

"Aku yang meminta agar kamu tak tahu" Ia memulai pembicaraan

“Semua udah cerita apa yang terjadi. Setelah aku pergi, cuma kamu sendiri yang akhirnya tetap maksimal dalam mengelola studio. Sejujurnya, yang lain juga pengen seperti kamu”

Mataku kuedarkan pada wajah-wajah yang ada. Tak ada lagi raut muka bercanda lagi di sana. Semuanya tampak serius dan penuh perhatian. Ada sedikit perasaan bersalah yang disampaikan di pandangan teman-teman.

“Nggak papa kok. Aku nyantai aja. Semua kan punya kesibukan masing-masing. Dan aku memahami itu”

“Tapi kami nggak enak sama kamu. Udah waktunya buka mata, kalau memang kita semua punya mimpi yang berbeda” ujar Bimo

“Justru karena itu, lakukan yang kalian bisa untuk membuatku bangga punya teman kalian!”

Semua terdiam. Ada tetes mengalir dari wajah Bobi. Dia memang sedikit melankolis.

“Aku bangga kamu bisa menyikapi masalah ini dengan bijaksana” lirihnya.

Semua diam.

Ridho mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Brem Madiun.

“Dimakan, jangan cuma dilihat”

Usahanya memecah suasana berhasil. Pembicaraan terus mengalir. Semua keluh kesah akhirnya keluar. Juga saran dan kritik membangun dari setiap individu. Tembok kebekuan yang hadir setelah Ridho ke Surabaya sedikit demi sedikit runtuh. Kami saling terikat kembali

“Aku memang pergi, tapi bukan berarti aku tak peduli” kata Ridho setelah satu demi satu pulang. Tinggal aku dan dia

“Dan aku yakin, kamu bisa meneruskan apa yang kita bangun bersama”

Satu kata sebelum Sabtu malam ini berakhir membuatku terbangun. Aku bermimpi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun