"No, Sir. I am studying here under the scholarship from a Dutch NGO."
Tiba-tiba pandangan matanya melunak, lalu ia mengembangkan senyum.
"Welcome to Kolkata. I wish you enjoy the city."
"Thank you, Sir."
Tapi kedatangan saya segera disambut insiden kecil. Bagasi saya hilang! Semua penumpang telah mendapatkan bagasinya masing-masing dan bandara menjadi sepi. Saya pun panik ketika sadar bahwa tinggal saya sendiri yang belum mendapatkan bagasi. Seorang backpacker dari Jepang juga terlihat sedang termangu, mungkin menunggu bagasinya juga seperti saya. Untung ada teman, pikir saya. Panik saya sedikit berkurang. Sang backpaker, yang bernama Masako, berasal dari Jepang. Kami menunggu lebih dari setengah jam, sampai akhirnya seorang petugas bandara mendekati dan memberitahu tentang dua bagasi yang tercecer. Ah, syukurlah.
Petugas itu lalu mengingatkan bahwa bandara akan segera ditutup. Saya baru sadari, saat itu tak seorang penumpang pun tersisa, kecuali Masako dan saya. Pesawat yang kami tumpangi ternyata pesawat terakhir yang beroperasi hari itu. Masako memutuskan tinggal di sekitar bandara sampai pagi. Saya tak mampu membayangkan apa yang mungkin terjadi ... semoga Masako baik-baik saja, do'a saya dalam hati.
Sementara itu kegalauan tak juga beranjak dari hati saya. Sebelum keluar terminal, saya sempat melirik jam dinding besar yang terletak di dekat pintu keluar, jam 2.15. Tak ada satu pun kios di terminal yang masih terlihat buka, tidak juga kios taxi carteran bandara. Saya melangkahkan kaki keluar dengan sepenuh kecemasan. Ini adalah puncak dari seluruh rasa cemas yang mencengkeram saya sejak saya memulai perjalanan dari Jakarta.
Di luar terlihat sepi. Hanya seorang laki-laki berkumis sedang berdiri dan membawa kertas di depan dadanya. Hei, itu kan nama saya yang ditulis di kertas itu! pikir saya. Saya dibuat tercengang. Bersyukur atas apa yang saya dapatkan.
Namaste, kata saya. Orang itu membalas dengan senyuman. Setelah mengangkat satu kopor saya yang setengah kosong, mobil pun bergerak menjauhi bandara. Saya mencoba mengajukan beberapa pertanyaan, tapi balasannya hanya Hé dan goyangan kepala khas India. Tebakan saya, dia tidak berbicara dalam bahasa Inggris. Selanjutnya perjalanan kami isi dengan diam. Saya sendiri sibuk mencoba menebak-nebak apa yang akan terjadi kemudian.
Dari jendela mobil, saya melihat bangunan tersusun kotak, sempit, dan tinggi memanjang tampak di sisi kanan dan kiri jalanan yang lengang. Rumah kardus serta gubug dari kayu dan papan bekas menyeruak di antara bangunan beton yang angkuh. Bertelekan aspal, orang-orang tidur di jalanan yang berdebu dengan lelap, seakan-akan tidur di atas kasur busa berpegas. Di salah satu sudut kota, saya disambut dengan bau sampah yang menyengat yang muncul dari perumahan kumuh. Menara masjid menyembul dari tengah-tengah pemukiman tersebut. Inilah Kolkata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H