Mohon tunggu...
Jundana Yahya Anas
Jundana Yahya Anas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidikan Sosiologi UNJ 2020

Amatir

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketidaknormalan Pendidikan Karakter di Indonesia dalam Prespektif Sigmund Freud

26 Desember 2021   22:20 Diperbarui: 22 Desember 2022   15:35 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Latar Belakang

Kisah pendidikan karakter selalu diawali dengan potret moral buruk seseorang. Pendidikan karakter dipandang sebagai konsep yang tepat yang mampu menganalisis dan memecahkan masalah tersebut. Abuddin Nata menjelaskan bahwa rendahnya moral masyarakat saat ini sangat memprihatinkan (Nata, 2003). Kejujuran, Kebenaran, Keadilan, Bantuan, dan Kasih Sayang telah ditutupi oleh banyak tindakan pelecehan, penipuan, penindasan, penyerangan, dan saling menyakiti. Banyak terjadi tindakan tawuran dan fitnah, menutup-nutupi, penipuan, perampasan hak orang lain  dan tindakan tidak etis lainnya. Karakter bangsa telah terkoyak oleh krisis multidimensi (Yuliana, 2010). Keruntuhan moral  akibat emansipasi budaya ternyata berdampak pada masyarakat Indonesia. Pengaruh negatif globalisasi juga menyebabkan bergesernya pola kebiasaan, perilaku, dan interaksi sosial masyarakat (mahasiswa) yang bertentangan dengan norma agama, sosial, dan kebangsaan. Oleh karena itu, pendidikan karakter ini mutlak perlu dihidupkan kembali, agar masyarakat dapat terhindar dari serangan budaya yang tidak sesuai dengan norma budaya Pancasila, moralitas suatu negara, serta norma dan aturan agama

Secara teknis, pendidikan karakter bukan hanya  tanggung jawab sekolah. Pendidikan karakter merupakan tanggung jawab bersama, dimulai dari keluarga, meluas ke lingkungan, umat beragama, organisasi, pemerintah bahkan media. Yang terpenting, pendidikan karakter akan efektif jika ada kerjasama yang erat antara orang tua dan sekolah. Keluarga dan lingkungan berperan penting dalam menentukan apakah kepribadian terinternalisasi dalam kepribadian anak. Tidaklah cukup untuk memberikan pengetahuan (teoretis), tetapi juga membuat cinta menjadi kesadaran bersama untuk diwujudkan dalam praktik. Oleh karena itu, lingkungan keteladanan dan mendukung sangat penting dalam upaya pembentukan karakter yang baik.

Analisis Penyimpangan Pendidikan Karakter Menurut Freud

Dalam pandangan teori konflik kepribadian Freud, pendidikan karakter sebagai sarana penanaman nilai-nilai moral (Super Ego) dari masyarakat sosial yang lebih luas seperti keluarga, masyarakat, negara dan masyarakat.agama tetap penting karena terkait dengan keseimbangan. dari kepribadian manusia. diri. Super Ego harus ada dengan Id dan Ego pada manusia. Tanpa Super Ego, kepribadian manusia akan tidak seimbang karena perilaku manusia akan lebih didominasi oleh keinginan liar (Id). Pendidikan karakter merupakan salah satu cara untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam tubuh manusia. Dalam diri seseorang kemudian terletak makna pendidikan karakter

Namun, perlu dicatat bahwa terlalu banyak dan terlalu tinggi nilai ideal sebagai representasi dari Super Ego juga berisiko terhadap gangguan jiwa manusia. Jika hasil usaha yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai ideal yang diharapkan, Super Ego biasanya menghukum Ego dengan perasaan bersalah, maka ia akan mengalami kecemasan moral. Jika rasa bersalah itu bertambah dan menumpuk karena banyak nilai. tercapai, kondisi  ini dapat mengganggu jiwa manusia, yang risiko maksimumnya dapat berupa keputusasaan, depresi, dan bahkan gangguan mental.

Dengan demikian, proses penanaman nilai-nilai moral juga harus ditaksir dan diukur, agar tidak terbebani, yang justru dapat berdampak negatif bagi manusia itu sendiri. Seperti dalam konsep pendidikan karakter di negara kita (Indonesia), nilai-nilai karakter yang akan ditanamkan kepada siswa terkesan terlalu banyak dan sangat kompleks, oleh karena itu menurut penulis, kompleksitas dan terlalu banyak nilai karakter yang yang akan ditanamkan dalam kepribadian siswa justru membuat pelaksanaan pendidikan karakter tidak efektif dan juga cenderung gagal.

Selain terlalu banyak nilai yang ditanamkan, strategi penanaman juga kurang efektif. Pemahaman ini saja tidak cukup untuk menanamkan nilai-nilai karakter. Namun pada kenyataannya, hal inilah yang mendominasi praktik pendidikan karakter. Selain membuat masyarakat memahami nilai-nilai kebaikan, hal ini juga penting dan perlu kita libatkan bagaimana rasa cinta akan kebaikan dapat tumbuh dalam diri siswa (Lickona, 2013). Dan yang terpenting setelah dua perikop sebelumnya (pengertian dan cinta) adalah mengamalkan kebaikan dalam kehidupan nyata. Untuk langkah terakhir ini, model dan lingkungan yang menguntungkan akan menentukan keberhasilannya. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa tidak efektifnya pendidikan karakter lebih banyak dipengaruhi oleh tidak adanya lingkungan keteladanan dan kondusif jelas atas kesadaran bersama. Namun intinya pendidikan karakter masih teguh pada tataran teoritis, pendidikan karakter masih sebatas kegiatan transfer ilmu.

Idealnya, Ego lebih kuat daripada Super Ego. Mengapa? Karena Ego adalah dinamisator yang bekerja untuk mendamaikan berbagai kebutuhan Id, Super Ego dan realitas eksternal. Ketika Id atau Super Ego lebih dominan, kepribadian pria akan menjadi timpang dengan berbagai efek negatif. Semakin dominan Id, maka yang muncul adalah perilaku liar, karena Id semata-mata didasarkan pada prinsip kesenangan dan kepuasan. Sedangkan jika Super Ego lebih dominan (nilai ideal terlalu tinggi), namun pada kenyataannya diri gagal mencapai nilai ideal tersebut, maka akan berdampak pada kecemasan moral.

Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, karena pada dasarnya Ego adalah bagian dari Id yang telah dimodifikasi oleh pengaruh langsung dari dunia luar (Freud mengatakan, Ego juga merupakan representasi akal dan makna umum.) jika akal dan akal sehat bekerja dengan baik dan optimal. Mengoptimalkan fungsi akal adalah kunci agar Ego berfungsi secara optimal dan pendidikan harus memenuhi fungsi ini, yaitu memperkuat kemampuan nalar dan menggunakan akal sehat. Melalui pengetahuan, moralitas juga dapat dibentuk, seperti dalam budaya Yunani dan Eropa modern. Bagi mereka (Yunani dan Eropa modern), moralitas merupakan implikasi dari pengetahuan (dalam arti luas, tidak buruk dalam standar moral). Pengetahuan membutuhkan rasionalitas (penalaran bekerja dengan baik dan optimal), karena pengetahuan merupakan hasil interaksi akal dengan realitas (alam). Oleh karena itu, untuk membentuk kepribadian manusia sebaiknya memperkuat nalar atau dimensi rasionalitas yang melandasi adalah Ego.

Solusi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun