Membaca buku ini, kita juga diajak memasuki ajaran "mindfulness" yang saat ini sedang marak digandrungi anak muda. Â Tujuan demotivasi, pada ujungnya adalah adalah juga bagaimana bisa mencapai kebahagiaan dan ketenangan jiwa. Bukankah itu makna kita hidup di dunia? Sukses, kaya, atau apapun kondisi kita, akan sia-sia bila hati tak tenang. Buku ini mengingatkan kita bahwa begitu banyak alasan untuk selalu bersyukur, dan merasakan keistimewaan untuk hidup biasa-biasa saja.
Bab doa-doa demotivasi secara kritis mengingatkan kita yang kerap lupa dengan kenikmatan-kenikmatan kecil yang diberikan Tuhan sepanjang hari. Pikiran kita seringkali terlalu jauh ke depan dan berdoa meminta hal-hal besar, kadang tak sadar seperti memberi instruksi pada Tuhan. Namun kita lupa mensyukuri hal kecil, kalau ban motor tidak kempes dalam perjalanan, baterai laptop tidak drop, pasangan kita sedang manis, adalah juga sebuah anugerah (hal 60).
Dan sebagaimana judulnya, buku ini juga berisikan kalimat-kalimat demotivasi yang mengundang senyum geli. Namun kalau dipikirkan secara mendalam, kita akan berkata, "Bener juga ya!". Misalnya: "Di balik setiap kesulitan, boleh jadi tersimpan kesulitan lain yang lebih besar", atau "Sukses bukan soal bakat, kerja keras, ataupun kemauan untuk belajar. Sukses sering kali bermula dari keadaan keluarga yang memang sudah sukses" (hal 54).
Dan juga, "Hidup itu seperti mengendarai sepeda: Sekuat apa pun kita mengayuhnya, tetap kalah cepat oleh motor" (hal 55).
Satu hal yang menjadi catatan dalam buku ini adalah kesannya yang menjadi terlalu berhati-hati dalam menyampaikan ide demotivasi. Berbeda dengan buku pertama yang terkesan lepas, di buku kedua ini, Syarif seperti ingin menegaskan demarkasi tentang siapa yang perlu menerima ajaran demotivasi ini. Hal ini ditegaskannya beberapa kali tentang siapa target buku ini (hal 37), hingga dibuatkan satu bab sendiri tentang kategori target sasaran buku ini (hal 75).
Menurutnya, "Demotivasi bukan untuk anak kecil, orang yang sudah sepuh, dan orang yang sedang sakit. Demotivasi cocok untuk anak muda yang terlalu bersemangat dan terlampau visioner" (hal 37). Penegasan ini kembali ditulis di bab "Sesudah Demotivasi" (hal 83) yang mengangkat tegangan pendulum antara motivasi dan demotivasi.
Pengingat dan demarkasi ini mungkin baik, karena kerapkali ide demotivasi ini salah sasaran apabila kita tidak dapat menerima dengan cukup matang. Namun, tentunya sesekali bisa juga dilanggar, khususnya bagi anak kecil yang terlalu ambisius, atau orang sepuh yang masih melihat hidup ini seperti perlombaan, mereka yang kerap membangga-banggakan diri, termasuk kesuksesan anak cucunya. Padahal itu bukan cerminan kebahagiaan.
Sebagai penutup, buku ini perlu dibaca sebagai penyeimbang kehidupan. Saya mengutip tulisan Prof. Driyarkara dari bukunya, Filsafat Manusia.Â
Inti pesannya kalau kita baca: "Bermainlah dalam permainan, tapi jangan main-main. Hidup ini cuma permainan. Mau tak mau kita harus bermain, tapi jangan cuma main-main. Seriuslah. Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh".Â
Dan Syarif Maulana mengingatkan kita kembali bahwa hidup ini memang cuma permainan, jangan terlalu serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H