Mohon tunggu...
Junanto Herdiawan
Junanto Herdiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Kelompok Kompasianer Mula-Mula

Pemerhati Ekonomi, Penikmat Kuliner, Penulis Buku, dan Pembelajar Ilmu Filsafat. Saat ini bekerja sebagai Direktur Departemen Komunikasi BI dan menjabat sebagai Ketua Ikatan Pegawai BI (IPEBI). Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempatnya bekerja. Penulis juga tidak pernah memberi janji atau menerima apapun terkait jabatan. Harap hati-hati apabila ada yang mengatasnamakan penulis untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Antara Piala Eropa dan Pandemi Covid-19

12 Juli 2021   12:53 Diperbarui: 13 Juli 2021   03:16 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di balik kemenangan Italia pada Euro 2020 (Football is Coming Rome), dan juga Argentina di Copa America 2021, saya teringat satu buku lama yang berjudul "How Soccer Explains the World". 

Buku itu ditulis pada tahun 2004 dan berisikan tentang pengalaman Franklin Foer, sang penulis, yang mencoba menjelaskan teori globalisasi melalui kaca mata sepak bola. Membaca kembali buku ini, seolah mengingatkan kita bahwa sepak bola lebih dari sekedar permainan.

Menurut Franklin Foer, tim sepak bola bukan hanya mewakili kota atau negara, tetapi juga mewakili kelas sosial, ideologi politik, dan keimanan serta agama. Kekuatan ekonomi suatu negara juga bisa tercermin dari sepak bola. 

Dalam buku itu, Foer menjelaskan tentang bagaimana perseteruan sengit supporter satu klub sepak bola dengan yang lainnya bukan hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi, tetapi juga politik bahkan agama. Buku itu juga menjelaskan bagaimana ketimpangan global dapat dijelaskan melalui industri sepak bola di negara maju dan berkembang.

Buku ini bisa sangat relate dengan kondisi dunia sekarang yang sedang dilanda pandemi Covid-19. Dari kedua kejuaraan di atas, sepak bola seolah menjelaskan bagaimana satu negara menyikapi pandemi Covid-19. 

Saat beberapa negara masih menutup stadion dan kompetisi sepak bola, Eropa justru mengadakan pertandingan akbar yang mengundang keramaian. 

Meski keduanya dapat dianalisis secara berbeda, Eropa dan Amerika Latin telah berhasil menyelenggarakan turnamen akbar sepak bola.

Di Final Euro 2020, kita melihat stadion Wembley (dan juga pada pertandingan lain di 12 kota Eropa), dipenuhi oleh penonton. Meski kehadirannya dibatasi dan diatur dengan ketat, posisi para penonton terlihat rapat dan ramai. Jarang sekali kita melihat penonton yang memakai masker. 

Sebaliknya dapat kita lihat di Piala Copa 2021, hampir di semua pertandingan, penontonnya relatif kosong. Hanya di Stadion Maracana, Brazil, saat final digelar, penonton diperbolehkan masuk dengan kehadiran 10% kapasitas stadion. 

Memang dilaporkan adanya peningkatan penularan Covid-19 di Eropa saat terjadinya Euro, tetapi UEFA tetap menjalankan pertandingan final, dengan menerapkan protokol dan meningkatkan kesadaran warganya. Kita bahkan melihat Pangeran William dan Kate Middleton bersama putra mereka hadir secara fisik di podium kehormatan.

Kemampuan satu negara dan masyarakatnya menyikapi pandemi tentu berbeda. Sangat tergantung pada pemerintah dan masyarakatnya. Sepak bola sedikitnya bisa menjelaskan itu. 

Eropa dan Amerika Latin terlihat berbeda dalam menjalankan dua kejuaraaan tersebut. Dari situ dapat kita lihat bahwa Eropa lebih maju dalam penanganan Covid dibandingkan Amerika Selatan. 

Saya tidak ingin membahas lebih jauh, karena untuk itu masih membutuhkan pembuktian dan analisis mendalam dari sisi medis dan ahli epidemi. Namun ini hanyalah sebuah  permenungan dari kaca mata sepak bola. 

Secara global kita melihat terdapat ketimpangan dalam penanganan pandemi antara negara maju dan berkembang. 

Beberapa negara maju sudah lebih cepat dalam penanganan pandemi, melakukan vaksinasi kepada sebagian besar penduduknya, dan memperkuat penanganan kesehatan.  Sementara banyak negara masih berjuang untuk dapat mengendalikan penyebaran penularan virus.

Di saat negara maju sudah kembali merayakan kebersamaan secara fisik,  banyak negara berkembang masih bergulat dengan pandemi, kesulitan mencari Rumah Sakit, antre tabung oksigen, kepanikan mencari obat dan vitamin, dan masih adanya masyarakat yang tidak percaya vaksin atau covid, bahkan secara terang-terangan melanggar protokol kesehatan.

Saat Eropa mengisi hari dengan kegembiraan sepak bola, hari-hari kita masih diisi dengan Innalillahi.

Semoga Sepak Bola mengingatkan kita tentang pentingnya empati, solidaritas, dan kebersamaan dalam menghadapi pandemi. Ini bukan hanya tugas Pemerintah, tetapi kesadaran kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun