[caption id="attachment_148683" align="aligncenter" width="450" caption="Pertunjukan grup taiko Jepang, KODO / courtesy of KODO"][/caption]
Awalnya saya agak enggan saat diajak seorang kawan untuk menyaksikan atraksi Taiko, atau beduk ala Jepang. Tapi ia meyakinkan bahwa ini adalah atraksi yang “ciamik” dan masuk dalam kategori “must see” kalau ke Jepang. Grup yang akan tampil adalah “Kodo”, atau kelompok taiko terkenal Jepang yang sudah berusia 30 tahun.
Kodo juga telah manggung di puluhan negara, lima benua, serta meraih banyak penghargaan internasional. Musik Kodo pernah dipakai sebagai soundtrack untuk dua film Hollywood, serta menjadi official theme untuk Piala Dunia FIFA Jepang-Korea tahun 2002 lalu. Kodo juga telah merilis lebih dari 20 album dalam bentuk CD maupun DVD.
Mendengar reputasi mereka yang mendunia tersebut, tentu saya jadi penasaran untuk melihat penampilan mereka secara langsung. Rasanya ingin tahu seperti apa penampilan grup gebuk drum yang mampu tampil mendunia itu. Akhirnya, kamipun bertemu di Aoyama Hall, daerah Shibuya, untuk menyaksikan penampilan Kodo, dalam konser keliling dunianya yang bertajuk One Earth Tour 2011.
Popularitas Kodo rupanya sangat tinggi di Jepang. Aoyama Hall yang luas nampak padat oleh penonton. Pertunjukan yang dimulai pukul 18.30 telah dipenuhi penonton sejak pukul 17.30. Ruang hall juga terisi penuh, hampir 100 persen.
Grup Taiko Kodo tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang permainan drum bagi rakyat Jepang. Taiko atau drum adalah salah satu alat musik tertua di Jepang. Taiko kerap digunakan dalam setiap upacara ataupun festival memeringati musim maupun menghormati leluhur.
[caption id="attachment_148684" align="alignleft" width="300" caption="Penabuh Taiko KODO / courtesy of KODO"][/caption] Para pemain drum Kodo berasal dari sebuah desa kecil bernama Kodo di kepulauan Sado, Jepang. Sampai saat ini mereka masih tinggal di sana sebagai satu komunitas masyarakat. Keseluruhan pemain drum Kodo ada 48 orang, yang tinggal dan bekerja bersama, di pulau Sado.
Grup Kodo dibentuk pada tahun 1981 dan memulai debutnya di Berlin Festival. Selama 30 tahun, para pemain drum pulau Sado ini terus menerus memainkan drum, dan mendidik generasi mudanya untuk menjadi pemain drum taiko. Sejak dari Berlin itulah mereka membetot perhatian dunia. Selama tujuh tahun kemudian, Kodo berkeliling dunia untuk menampilkan seni pertunjukan drum Jepang, mulai dari Eropa, hingga Amerika Latin.
Malam itu, di Aoyama Hall, Shibuya, saya untuk pertama kalinya menyaksikan Kodo tampil live. Dan tak dapat dipungkiri, sungguh luar biasa penampilannya. Bermodalkan pengalaman mereka selama 30 tahun, Kodo menunjukkan kelasnya sebagai grup tabuh beduk kelas dunia.
Tamasaburo Bando, direktur artistik Kodo yang baru, dalam sambutannya mengatakan bahwa Kodo tampil dengan terus menggabungkan atraksi seni tradisional dengan kreativitas modern. Penggabungan kedua unsur itu membawa Kodo pada sebuah pertunjukan seni visual yang sangat apik. Gebukan drum ditampilkan secara kreatif, konsisten, disiplin, dan komunikatif dengan penonton.
Seni pertunjukan Kodo menampilkan keserasian, kedisiplinan, dan kekuatan fisik, tanpa menghilangkan unsur estetika dan sensitivitas. Sekitar 50 orang menggebuk drum secara serasi dan disiplin. Hal tersebut juga menunjukkan kekuatan akar budaya Jepang yang berakar dari keserasian yang terus menerus antara unsur kemanusiaan (humanity) dan alam semesta (nature).
Saat salah satu musik yang bertajuk “Yatai Bayashi” ditampilkan, para pemain memukul secara konsisten sambil bergeletak di lantai. Sebuah atraksi yang sulit dan menuntut disiplin tinggi. Para pemain ini, melatih diri mereka dengan bertani dan melaut. Dengan kehidupan tersebut, mereka menyatu dengan alam, bukan hanya melatih logika, namun juga fisik mereka.
Terkait dengan fisik yang prima tersebut, satu hal yang menarik dari penampilan Kodo adalah saat para pria muda menabuh drum dengan hanya mengenakan kain penutup bagian bawah. Atraksi ini menampilkan tubuh mereka yang kekar. Saya melihat beberapa penonton yang tampak menjerit tertahan saat para pria kekar tersebut tampil dan turun mendekati penonton.
Namun ketertiban dan kedisiplinan para penonton di Jepang sangat luar biasa. Mereka tidak berteriak atau menyoraki para pemain, melainkan hanya memberi tepuk tangan pada saat-saat yang tepat. Atraksi Kodo membutuhkan konsentrasi serius. Para penonton dilarang berbicara, makan, minum, dan mengambil gambar selama pertunjukan. Suasanapun sangat senyap di Aoyama Hall, terutama saat jeda antar drum.
Dari pertunjukan KODO, saya mencatat satu hal menarik, bahwa upaya melestarikan seni dan budaya tradisional adalah sebuah proses yang terus menerus. Ia harus bergerak sesuai jaman, dan didukung segenap elemen bangsa. Pada saat bersamaan juga ia harus mampu menyesuaikan dengan kemajuan seni dan menjadikannya modern, tanpa kehilangan unsur tradisional.
Dengan itu, seni tradisional dapat bertahan, bahkan tampil mendunia.
Salam dari Tokyo.
[caption id="attachment_148688" align="aligncenter" width="553" caption="Pemain KODO usai pertunjukan / foto Junanto"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H